Hujan di Malam Hari
Aku menyukai hujan di
malam hari. Turun lebih ikhlas ketimbang di siang hari. Perrjumpaannya dengan
atap rumah adalah perjumpaan penuh misteri; suara yang timbul, gemericik air,
keterjatuhannya ke tanah. Ibarat orkestra, ia adalah perjumpaan harmoni,
meskipun tanpa kata-kata. Apalah kata, selubung realitas. Aku ingin memandang
hujan turun dari langit, berjumpa dengan atap menimbulkan percikan, lalu turun
ke bawah hingga ceruk terdalam tanpa hendak kembali. Aku ingin mendengar
tetesan air hujan yang seharian telah dipanggang. Aku ingin mendendang dangdut
koplo, ceria bahagia dengan kopi lampung hitam dan rokok kretek.
Ketimbang siang, aku
menyukai hujan di malam hari. Tak ada bulan-bintang. Langit menampakkan
kekosongan-kepolosan. Hitam, petang, tak ada semburat cahaya alam. Di situ,
dalam kekosongan-kepolosan, aku mau memandang hujan, mendengar gemericiknya,
lalu mendendang sebuah lagu dangdut. Aku bebas melukis langit, tanpa terganggu
rasi bintang dan bulan sabit. Kan kulukis raut muka, jika tak, kan kuletakkan
pikiran di sana.
Comments
Post a Comment