Memaknai Ulang Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin
Suasana diskusi 'Islam Agama Perlawanan'. Foto diambil dari akun facebook hmi fisipol ugm. |
Selama ini, Islam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin diterjemahkan sebagai agama cinta kasih,
perdamaian, dan toleransi. Rahmatan lil ‘alamin semata-mata diartikan sebagai ‘say no to violence and hostility’ (katakan tidak pada kekerasan dan
permusuhan). Kekerasan dan permusuhan bukanlah bagian dari ajaran Islam. Sehingga,
setiap ada permusuhan, baik antar sesama muslim ataupun non-muslim, Islam
berdiri pada barisan paling depan yang mengutuknya.
Penafsiran seperti ini
akan menggiring Islam sebagai semata-mata obat penenang atas ‘penyakit-penyakit
kehidupan’. Padahal, tak semua penyakit harus (dan dapat) ditenangkan dengan
slogan. Ada penyakit yang harus dijadikan musuh dan dilawan serta dilenyapkan supaya
tidak merembet dan menggerogoti bagian tubuh lain yang baik-baik saja. Penyakit
kehidupan itu adalah kapitalisme yang di dalamnya mengandung unsur penindasan,
dan Islam tidak boleh berdamai dan bertoleransi dengannya atas nama rahmatan
lil ‘alamin. Kapitalisme adalah musuh dan kita, umat muslim, harus melawannya.
Kiranya begitu yang
saya tangkap dari diskusi ‘Islam sebagai Agama Perlawanan’ yang diadakan oleh
HMI Komisariat Fisipol UGM bekerjasama dengan Jamaah Muslim Fisipol (JMF)
dengan Muhammad Al-Fayyadl sebagai pemateri utamanya. Tulisan ini adalah
catatan saya atas diskusi tersebut.
Menurut Al-Fayyadl, umat
Islam Indonesia selama ini terjebak pada jargon ‘perdamaian’. Setiap
‘perlawanan’ adalah penegasian atas ‘perdamaian’. Tidak sekadar ‘penegasian’,
upaya perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam acapkali dilabeli aksi
terorisme atau fundamentalisme Islam. Jargon ‘perdamaian’ yang selama ini
digaung-gaungkan adalah makna yang dangkal. Padahal, sejatinya, makna
‘perdamaian’ tidak sedangkal itu. Islam sebagai agama perdamaian memang tidak
dapat disangkal. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist menerangkan hal ini.
Tetapi, perdamaian yang dimaksud di sini adalah proses terus menerus melawan
kebathilan (penindasan). Damai berarti keadaan tidak ada penindasan.
Lantas, kapan
perdamaian dapat tercapai? atau kapan kita, terutama umat Islam, berada dalam
keadaan damai? Tidak ada jawaban yang mutlak-pasti. Jelasnya, perdamaian adalah
usaha terus menerus (proses menjadi) melawan kebathilan (penindasan). Memang,
pemaknaan ini terkesan utopis. Utopia harus dimaknai sebagai cita-cita dengan
dorongan dan motivasi serta proses terus menerus untuk menggapainya. Dengan
kata lain, selama ada kebathilan (penindasan), kita, umat Islam, harus memusuhi
dan melawannya demi sebuah cita-cita.
Dalam diskusi yang
dihelat di Fisipol ini, Al-Fayyadl mengajukan 4 (empat) persoalan dasar dalam
memaknai Islam sebaga agama perlawanan, yakni: (1) Kenapa kita, umat Islam,
harus melawan?; (2) Untuk apa kita melawan?; (3) Apa yang kita lawan?; dan (4)
Dengan cara apa kita melawan? Keempat pertanyaan ini, pada nantinya, mengafirmasi
Islam sebagai agama perlawanan, yang berujung pada pemaknaan ulang atas slogan
‘Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin’.
Pertama,
kenapa
kita, umat Islam, harus melawan? Jika maqosidus
syari’ah (tujuan-tujuan mulia agama) dilanggar dan diganggu oleh pihak atau
orang lain, maka umat Islam harus melawan.
Ada 5 (lima) maqosidus syari’ah yang harus dijaga. Pertama, menjaga agama (hifdzud din). Artinya, segala yang
kait-kelindan dengan agama harus dilindungi. Gus Dur menerjemahkan hifdzud din dengan “melindungi kebebasan
beragama”. Hal-hal yang mengancam kebebasan beragama harus dikecam dan dilawan.
Sebagai contoh, pelarangan melaksanakan ibadah, pengrusakan tempat ibadah, dll.
Kedua, menjaga diri (hifdzun nafs). Diartikan sebagai
perlindungan atas hak-hak individual. Meskipun, bagi saya, apa itu hak-hak
individual dan apa saja yang masuk di dalamnya masih debateble. Ketiga, menjaga
akal (hifdzul ‘aql), dalam pengertian
melindungi kebebasan berpikir sebagai sumber perkembangan, kemajuan, dan
peradaban manusia. Keempat, menjaga
harta (hifdzul mal). Al-Fayyadl
menerjemahkan hifdzul mal: –dengan
meminjam istilah marxisme— Islam melindungi alat-alat produksi. Menjaga harta
berarti melindungi hak milik (kepemilikan) dari rampasan atau rampokan pihak
atau orang lain yang tak berwenang. Sehingga, katakanlah, saat rakyat Rembang
melindungi tanahnya, sebagai kepemilikan dan sumber penghasilan, dari
kesewenang-wenangan korporasi, maka itulah salah satu pengejawantahan hifdzul mal. Dan itu termasuk jihad. Kelima, menjaga keturunan (hifdzul nasl) sebagai upaya regenerasi
dan keberlangsungan kehidupan.
Kedua,
untuk
apa kita melawan? Melawan, dalam arti, menjaga dan melindungi maqosidus syari’ah untuk tujuan
‘perdamaian’. Sekali lagi, seperti diutarakan di muka, ‘perdamaian’ harus
dimaknai secara mendalam, yakni: usaha terus menerus yang panjang (becoming process) melawan kebathilan
(penindasan). Hal ini terkait dengan pertanyaan selanjutnya.
Ketiga,
apa
yang kita lawan? Lawan dari umat Islam adalah kebathilan atau penindasan, baik
penindasan langsung, penindasan fisik misalnya, atau penindasan tidak langsung
melalui struktur dan sistem. Penindasan, dalam konteks kekinian, terjadi
melalui sistem dan struktur serta banyak dilakukan oleh negara dan pasar. Yang
pertama terkait dengan kekuasaan dan pengamanan atasnya, sedangkan yang kedua
terkait dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme dipahami sebagai sistem
ekonomi yang melegitimasi kepemilikan modal (kapital) sebanyak-banyaknya dan
sebesar-besarnya. Pemilik modal (kapital) adalah (ber)kuasa, bahkan terkadang
melebihi kekuasaan negara. Sehingga, kapitalisme mengakibatkan kesenjangan
sosial di masyarakat: yang kaya (pemilik kapital) semakin kaya, yang miskin
(buruh dan pekerja, misalnya) semakin miskin. Antara negara dan pasar
(kapitalisme) acapkali “berkompromi” dalam melakukan penindasan demi
kepentingannya masing-masing.
Keempat,
dengan
cara apa kita melawan? Hal ini terkait dengan strategi. Jelasnya, melawan
penindasan tidak dengan kompromi. Negosiasi dibutuhkan, namun jangan sampai
berujung pada kompromi.
Keempat persoalan dasar
beserta jawabannya tersebut mengafirmasi Islam sebagai agama perlawanan dalam
arti Islam yang berorientasi pada pembebasan dan kebebasan (Islam pembebasan). Islam
pembebasan adalah Islam yang sebenar-benarnya rahmatal lil ‘alamin, yang
melindungi kaum atau golongan yang dilemahkan (mustadl’afin) oleh sistem atau struktur. Dalam konteks ini, Islam
sebagai agama perlawanan yang ‘membebaskan’ tidak sekadar mencocokkan secara
arbitrer dengan mencomot, lebih tepatnya menggabungkan, Islam sebagai agama dan
marxisme dengan pembebasannya sebagai ideologi.
Al-Fayyadl memberi
landasan ontologis dan epistemologis yang jelas. Yakni dengan membedakan Islam
sebagai ‘sumber’, ‘sarana’, dan ‘tujuan’. Sebagai ‘sumber’, Islam adalah agama
dengan nilai-nilai yang selama ini diyakini dan dilaksanakan. Pada ranah ini, tidak
ada titik temu dengan ideologi-ideologi lain. Yang ada adalah (mengupayakan)
titik temu aliran-aliran dalam Islam untuk merumuskan musuh bersama.
Islam sebagai ‘sarana’
berarti menjadikan Islam sebagai identitas, baik identitas personal maupun
kolektif. Sedangkan sebagai ‘tujuan’, Islam berorientasi pada pembebasan;
membebaskan dari penindasan. Pada ranah ‘tujuan’ ini, Islam bertemu dengan
ideologi-ideologi lain yang linier, yang bertujuan pada pembebasan.
Dalam konteks saat ini, tugas umat Islam adalah merumuskan titik temu untuk mencapai kesepakatan bersama akan ‘Islam sebagai agama perlawanan, pembebasan, dan perdamaian’ di antara aliran-aliran dalam Islam. Hal ini mengingat, kondisi hari ini di antara aliran-aliran dalam Islam masih terdapat jurang pemisah yang cukup lebar.
Comments
Post a Comment