Kebebasan dan Upaya Melawan Dominasi

Data Buku

Judul: Perihal Kebebasan
Penulis: John Stuart Mill
Penerjemah: Alex Lanur
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 1996
Jumlah Halaman: xxi + 183 halaman
ISBN: 9794611375

Dalam sejarah, wacana kebebasan senantiasa berbenturan (dan dibenturkan) dengan kekuasaan, meskipun, keduanya hidup dan tumbuh secara niscaya-bersama. Di mana ada kekuasaan, di situ ada wacana kebebasan. Kekuasaan, dengan penguasa dan pejabatnya, mengontrol –untuk tidak mengatakan ‘mengungkung’— kebebasan warganya dalam upaya mengamankan dan mempertahankan kekuasaan. Karena persoalan kekuasaan (politik), seperti disampaikan Machiavelli, adalah persoalan mengamankan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun.  

Sejarah, dengan segala peristiwanya, telah menceritakan kepada kita tentang bagaimana orang-orang atau golongan yang mengancam kekuasaan dilenyapkan dan dibunuh, serta buku-buku yang dianggap menggoyahkan kekuasaan dibumihanguskan. Tidak hanya oleh penguasa yang sudah benar-nyata despotis, penguasa yang liberal sekalipun akan bertindak demikian: mengontrol kebebasan warganya atas nama stabilitas. Karena, lagi-lagi, persoalan kekuasaan adalah persoalan melanggengkan kekuasaan.

Ancaman terhadap kekuasaan adalah hal yang harus disingkirkan, atau setidaknya dikendalikan. Kebebasan, dalam konteks ini, adalah ancaman yang serius terhadap kekuasaan. Karena di balik kebebasan, ada ruang-ruang tersembunyi, tak terjangkau oleh tangan-tangan penguasa. Kebebasan merupakan arena segala kemungkinan: benih-benih pembaharuan dan perlawanan bermunculan. Menciptakan ruang kebebasan berarti membatasi kekuasaan penguasa. John Stuart Mill (1806-1873) –seorang filsuf politik sekaligus penebar benih-benih liberalisme— membahasakannya dengan sangat bagus dalam bukunya On Liberty: “Kebebasan dimaksudkan sebagai perlindungan melawan kekejaman penguasa politik.”

Atas dasar pentingnya kebebasan itulah, Mill mengutuk keras yang namanya ‘intervensi’ atau ‘campur tangan’ yang tak dapat dibenarkan, lalu mengonsepkan ‘kebebasan’ dalam bukunya On Liberty. Tulisan ini adalah catatan penulis atas pembacaan terhadap buku Mill tersebut.

Yang dimaksud kebebasan di sini, sebagaimana diutarakan oleh Mill, bukanlah kebebasan kehendak (Liberty of the Will), melainkan kebebasan sipil atau kebebasan sosial (Mill, 1996: 01). Yakni tentang hubungan individu (perseorangan) dengan masyarakat dan negara: sejauh mana individu bertindak atas dasar kebebasan di tengah-tengah masyarakat dan sejauh mana negara memiliki legitimasi untuk mencampuri urusan individu.

Kebebasan Individu, Masyarakat, dan Negara

Dalam kehidupan sosial, masyarakat adalah kumpulan pelbagai individu (perseorangan). Adanya masyarakat karena adanya individu-individu yang berkumpul, berserikat dan bersepakat untuk hal-hal tertentu, baik secara implisit atau eksplisit melalui apa yang dinamakan ‘kontrak sosial’. Dengan kalimat lain, masyarakat ‘ada’ sebagai konsekuensi adanya individu.

Oleh karena masyarakat berangkat dari individu, maka masyarakat mempunyai kewenangan terbatas atas individu. Batas wewenang masyarakat atas individu dan hubungan individu dengan masyarakat dapat dijelaskan dengan satu prinsip: sejauh tidak menyangkut dan merugikan orang lain, invdividu berhak atas kebebasannya dan perbuatannya. Mill mengatakan: “Kebebasan individu harus dibatasi; dia tidak boleh membuat dirinya menjadi gangguan untuk orang lain (Mill, 1996: 82).”

Perkataan Mill tersebut mengisyaratkan adanya saling membatasi antara individu dan masyarakat. Kebebasan individu terbatas dan tindakan masyarakat atas individu juga terbatas. Kebebasan individu dibatasi oleh individu lain dalam sebuah masyarakat. Saling membatasi antara individu dan masyarakat adalah sebutan lain dari pembagian peran dan fungsi kontrol dalam kehidupan manusia. Pembatasan (atau pembagian) ditujukan untuk keseimbangan, ketertiban, dan kedamaian kehidupan manusia.

Tidak boleh ada dominasi, apalagi pemaksaan, oleh masyarakat terhadap individu. Tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang sehingga mengganggu dan merugikan orang lain dengan dalih kebebasan. Apabila hal itu (mengganggu dan merugikan orang lain) terjadi, maka masyarakat dibenarkan melakukan intervensi atau ikut campur sebagai wujud kontrol dalam upaya menjaga keseimbangan. Intervensi dapat berupa sanksi sosial (moral), celaan atau gunjingan dari masyarakat, dan atau sanksi ganti-rugi (Mill, 1996: 116).

Terkait dengan ‘merugikan orang lain’, Mill membedakan antara: pertama, tindakan-tindakan yang nyata-nyata merugikan orang lain; dan kedua, kejahatan moral yang berasal dari sifat moral yang buruk. Keduanya dapat mengganggu ketentaraman atau kehidupan dan merugikan orang lain. (Mill, 1996: 115-116) Sebagai contoh, melanggar hak orang lain, menipu, mencuri, dan lain sebagainya.

‘Merugikan orang lain’ tidak terbatas pada tindakan dan sikap secara langsung. Ada juga tindakan dan sikap tidak langsung yang merugikan orang lain. Mill mencontohkan: “apabila seseorang, karena tingkah laku yang melulu menyangkut dirinya, membuat dirinya tidak sanggup menjalankan suatu kewajiban tertentu yang dibebankan padanya oleh masyarakat, maka ia bersalah karena melakukan kejahatan sosial. Tidak seorang pun boleh dihukum karena mabuk; tetapi seorang tentara atau polisi harus dihukum karena mabuk pada saat menjalankan tugas (Mill, 1996: 121).”

Dalam konteks ini, masyarakat adalah organisasi sosial dengan jenjang struktural, tugas, dan fungsi yang berbeda. Di dalamnya terdapat individu-individu yang mendapat kepercayaan untuk menjalankan sistem organisasi. Kelalaian akan stuktur (jabatan), tugas, dan fungsi berimplikasi pada kecacatan dan ketidakteraturan masyarakat sebagai organisasi sosial. Sehingga, kelalaian dapat berarti merugikan orang lain dan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan hubungan individu dan negara, persoalanya adalah: seberapa besar atau atas dasar apa negara diperbolehkan mengintervensi warganya? Jawaban Mill atas persoalan ini sangatlah “sederhana” –seperti halnya persoalan individu dan masyarakat-- yakni kembali kepada prinsip kebebasan: Anda diperbolehkan membatasi kebebasan bertindak seseorang hanya jika orang itu dapat membahayakan orang lain (Wolff, 2013: 172).

Yang perlu digarisbawahi dari perkataan Mill tersebut adalah kata “membahayakan”. Bisa saja negara mendefinisikan kata “membahayakan” secara sepihak. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat rezim Orde Baru, di mana hal yang berbau komunisme, marxisme, dan leninisme dilarang karena dianggap “berbahaya” dan “membahayakan”. Tidak sekadar dilarang, tapi juga ada pembunuhan dan pembuian bagi orang yang mempunyai kaitan dengannya. Sampai hari ini, di era reformasi, warisan Orde Baru itu masih dilestarikan dan direproduksi oleh beberapa kalangan.

Tetapi, “membahayakan” dalam pemikiran Mill tidak datang dari tafsir legal-formal negara melalui undang-undang. Lantas, apa yang dimaksud Mill dengan kata “bahaya”? Menurut Mill, “membahayakan” adalah merusak, menganggu dan merugikan kepentingan orang lain. Jonathan Wolff menafsirkan kepentingan bukan semata-mata atas dasar kejengkelan dan ketidaksukaan, melainkan hal yang lebih hakiki, yakni: membahayakan kepentingan finansial, keamanan, dan keselamatan (Wolff, 2013: 184).

Menafsirkan “membahayakan” sebagai merusak kepentingan umum atau orang lain masih mengandung kemungkinan tafsir-tafsir lain. Masih ada celah untuk menafsirkannya secara politis. Bisa saja negara mengontrol kebebasan warganya dengan dalih membahayakan kepentingan umum (negara), padahal senyatanya adalah upaya mempertahankan kekuasaan (politik). Dalam konteks ini, Mill bersikap tegas, bahwa negara tidak dibenarkan mengontrol kebebasan warganya, terutama kebebasan berpikir dan berdiskusi. Bahkan Mill membuat bab khusus dalam On Liberty berjudul ‘Kebebasan Berpikir dan Berdiskusi’ (Of the Liberty of Thought and Discussion). Apabila negara masih melakukan tindakan demikian, menurut Mill, percayalah, tindakan tersebut adalah percuma; karena kebebasan tidak akan tercerabut, ia terus mengakar dan menyebar secara tersembunyi (Mill, 1996: 47).

Bagi Mill, kebebasan berpikir dan berdiskusi adalah sesuatu yang mutlak dan harus ada dalam kehidupan manusia. Dengan kebebasan, segala kemungkinan kemajuan dan perkembangan peradaban manusia lahir, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan (Mill, 1996: 104). Membungkam dan menindas kebebasan berarti mengubur dalam-dalam asa kemajuan dan perkembangan peradaban manusia.

Tak peduli apakah pendapat (pemikiran) seseorang itu baik dan bermanfaat (benar) atau tidak (salah). Semua pendapat harus diapresiasi dan dihargai demi tercapainya kebenaran. Tidak dibenarkan melakukan penyepelean –apalagi pembungkaman— pendapat. Tak ada gunanya juga membungkam suatu pendapat. Pendapat yang benar adalah cara terbaik memperbaiki (introspeksi) kesalahan dan pendapat yang salah adalah cara terbaik untuk meragukan dan mempertimbangkan pendapat yang benar (Wolff, 2013: 174).  Keduanya ditujukan untuk kesempurnaan kebenaran.

Saat kebenaran, katakanlah, “ditemukan”, ia harus senantiasa didiskusikan dan didialogkan. Karena kebenaran yang tidak didiskusikan, sering kali dan tanpa rasa takut, kebenaran itu akan diterima sebagai dogma mati, bukan suatu kebenaran yang hidup (Mill, 1996: 51). Mill menentang kebenaran yang diterima sebagai dogma mati dan menyebutnya sebagai keadaan-tidak-dapat-salah (infalibility) yang berimplikasi sangat fatal.           

Upaya Melawan Dominasi

Mill tidak menghendaki dominasi, apa pun bentuk dan kedoknya. Dominasi harus dilawan dan kesetaraan harus dijunjung tinggi. Memberi ruang kebebasan individu adalah jalan meruntuhkan dominasi. Apapun bentuk dan kedoknya, dominasi merupakan pembungkaman minoritas dan pengekangan kebebasan. Sedangkan kebebasan, menurut Mill, adalah sumber kemajuan dan perkembangan peradaban manusia.

Dengan dominasi pula, baik oleh negara atau masyarakat, terdapat tendensi untuk “mendefinisikan” segala lini kehidupan manusia. Kebenaran didefinisikan, moralitas didefinisikan, agama didefinisikan, dan semuanya didefinisikan. Begitulah kecenderungan dominasi. Kata Mill: “Di mana pun terdapat suatu kelompok yang berkuasa (baca: mendominasi), sebagian besar berasal dari kepentingan dan rasa superioritas kelompok tersebut (Mill, 1996: 9).”   

Padahal, definisi bukan milik penguasa. Juga bukan milik mayoritas. Semua bebas, setiap individu bebas, setiap warga bebas, mendefinisikan dan meyakini serta melaksanakan definisinya selagi tidak beririsan satu sama lain.

Kebebasan adalah rumah definisi. Terdapat banyak definisi di dalamnya; tentang agama, moralitas, politik, kebenaran dan lain sebagainya. Setiap definisi setara dan sama baiknya. Tak ada definisi yang mendominasi, apalagi dianggap paling baik dan benar. Melalui kebebasan yang dijunjung tinggi, definisi kemajuan, perkembangan dan perlawanan akan terus-menerus bermunculan.      

Daftar Rujukan

Mill, John Stuart. 1966. Perihal Kebebasan. [penerj. Alex Lanur]. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wolff, Jonathan. 2013. Pengantar Filsafat Politik. [penerj. M. Nur Prabowo Setyabudi]. Bandung: Nusamedia.


Bisa dibaca juga di lsfcogito.org

Comments