Dakwah HMI untuk Islam Indonesia yang Rahmatan Lil 'Alamin


ABSTRAK
Artikel ini berangkat dari maraknya tindakan kekerasan dan aksi terorisme atas nama Islam. Tindakan dan aksi sepihak terhadap pihak atau golongan yang berbeda tersebut tidak hanya meresahkan masyarakat, tapi juga mengusik keharmonisan dan kebhinekaan Indonesia. Dampak yang sangat siginifikan adalah saat Islam diasosiasikan dengan kemarahan, kekerasan dan terorisme. Padahal, sejatinya, Islam adalah agama damai dan cinta-kasih serta rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Sebagai organisasi tertua dan terbesar di negara ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memiliki peran dan tugas untuk menangkal anggapan bahwa Islam identik dengan kekerasan dan terorisme pada satu sisi, dan mencegah retaknya persatuan Indonesia pada sisi lain. Karena, dalam sejarahnya, HMI tidak mempertentangkan, apalagi mempersoalkan, keislaman dan keindonesiaan. Artikel ini bertujuan untuk menganalis nilai-nilai Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di HMI dan aspek-aspek penerepannya, sehingga melahirkan kader dan alumni yang menebarkan benih-benih cinta-kasih dan perdamaian serta toleran terhadap perbedaan.

Kata kunci: HMI, Islam Indonesia, dan Rahmatan Lil ‘Alamin
Pendahuluan

Indonesia merupakan sebuah negara yang heterogen. Terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, ras, keyakinan keagamaan serta kebudayaan yang sangat beragam, yang tersebar dan terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku bangsa, bahasa, ras, agama, dan budaya mempunyai keunikan dan karakteristik yang berbeda-beda. 

Perbedaan, dalam konteks Indonesia, adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Adanya Indonesia sebagai sebuah negara adalah adanya perbedaan suku, bahasa, ras, agama, dan budaya yang bersatu. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu jua), bangsa Indonesia diikat oleh spirit persatuan. Perbedaan tidak dipersoalkan, melainkan kekuatan yang harus dirawat betul-betul. Perbedaan bukan halangan untuk bersatu dan hidup harmonis.  

Sehingga, setiap usaha dan tindakan yang mempersoalkan perbedaan, memecah-belah bangsa, dan memicu konflik harus dihindari. Namun, akhir-akhir ini, permusuhan dan konflik sering terjadi di bumi petiwi ini, baik atas nama suku, ras, dan lebih-lebih agama. Kasus Sunni-Syiah di Sampang, Insiden Tolikara, kerusuhan di Aceh Singkil, dan pembakaran pemukiman eks-Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat adalah beberapa contoh kasus konflik dan permusuhan yang berpotensi meretakkan kesatuan dan keutuhan Indonesia.

Selain itu, di Indonesia, dewasa ini, berkembang kelompok-kelompok intoleran terhadap perbedaan, yang suka menggunakan sentimen keagamaan. Dalam konteks Islam di Indonesia, terdapat –apa yang dimaksud— Islam Radikal yang suka mengkafirkan dan memusuhi orang atau golongan lain. Bahkan tidak segan-segan menggunakan jalan kekerasan dalam menindak pihak yang berbeda dengan dirinya, misalnya terorisme. Di tingkat global, ada kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang suka menebar teror dan kekerasan, bahkan tidak segan-segan membunuh orang di luar golongannya.

Meskipun, dalam sejarah agama Islam, kekerasan turut mewarnai. Juga di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat perang. Tapi, menurut Asghar Ali Engineer, harus dibedakan mana yang empirik dan mana yang ideologi. Ayat-ayat perang, dalam konteks ini, adalah yang empirik, memotret situasi sosial dan politik  yang berlaku pada waktu itu. Kekerasan merupakan empirik dan kedamaian adalah ideologi. (Engineer, 2004: 183)

Sikap intoleran, memusuhi dan mengkafirkan, tindakan kekerasan terhadap orang atau golongan yang berbeda, serta aksi terorisme mencoreng wajah Islam yang sejatinya agama cinta-kasih. Dampaknya, Islam identik dengan terorisme dan kekerasan. Islam diasosiasikan dengan kemarahan, bukan keramahan. Tidak hanya berdampak pada “citra” Islam, juga berimplikasi pada keutuhan, keharmonisan, dan persatuan Indonesia yang meniscayakan kemajemukan keberagamaan.   

Padahal, sejatinya Islam adalah agama cinta-kasih dan damai, sebagaimana semboyan yang terkenal: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Islam masuk dan menyebar di Nusantara dengan cara damai dan jauh dari jalan kekerasan. Kita lihat bagaimana upaya dakwah Walisongo melalui jalan kesenian dan kebudayaan, semisal, Sunan Bonang dengan pembaharuan gamelan jawa dan Sunan Kalijaga dengan tembang Ilir ilir dan Gundul-gundul pacul. Alhasil, Islam berkembang, menyebar, dan menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam dengan segala unsur dan komponennya adalah penjaga keutuhan, persatuan, dan keharmonisan Indonesia. Dalam konteks inilah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) --sebagai organisasi mahasiswa islam tertua di Indonesia, dengan jutaan kader dan ribuan alumni— berperan dalam membumikan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dan mencegah konflik dan permusuhan yang memecah-belah bangsa. Karena dalam sejarahnya, HMI sangat berkontribusi dalam menentukan corak pemikiran keislaman-keindonesiaan yang toleran, damai, dan cinta-kasih.   

Keislaman-Keindonesiaan HMI

HMI lahir pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Diprakarsai oleh Lafran Pane, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII), dengan beberapa rekannya dan memanfaatkan jam kuliah Tafsir dari Bapak Husein Yahya. Di awal berdirinya, HMI bertujuan untuk: mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. (Sitompul, 2008: 13-14)

Sejak awal perdirinya, pemikiran keislama-keindonesian bukan hal asing. HMI tidak mempertentangan keislaman dan keindonesiaan: ikut berjuang “memegang senjata” untuk mempertahankan Indonesia. Baik keislaman dan keindonesiaan tak dapat dipisahkan dari sejarah HMI dari masa ke masa. Sampai detik ini pun, HMI turut aktif berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara. Hal ini dibuktikan dengan banyak alumninya yang menempati posisi strategis di negara ini dan mengabdikan diri demi kemaslahan umat dan kemajuan Indonesia.

Pemikiran keislaman-keindonesiaan telah mendarah daging di tubuh HMI. Ibarat bernafas, keislaman, keindonesiaan, dan HMI adalah satu tarikan nafas. Sebagaimana disampaikan oleh Nurcholis Madjid –cendekiawan muslim Indonesia dan alumni HMI— bahwa: dalam HMI, keislaman-keindonesiaan telah terpadu secara utuh, sehingga dalam mengekspresikan keislamannya HMI telah sekaligus menyatakan keindonesiaannya (Sulastomo, 2010: 154).

Berdasarkan pernyataan Cak Nur –sapaan akrab Nurcholis Madjid— di atas, keislaman dan keindonesiaan, bagi HMI, adalah dua sisi dari sekeping mata uang. Ketimpangan atau bahkan meniadakan salah satunya menyebabkan tidak bernilainya “mata uang” tersebut.

Pemikiran keislaman-keindonesiaan adalah doktrin perjuangan HMI. Sebagaimana doktrin, ia harus dipahami, dihayati, dan dipraktekan dalam keseharian oleh kader dan alumni HMI. Melalui doktrin ini, pada dasarnya, HMI hendak mendidik dan membimbing para kader secara khusus dan umat Islam secara umum bahwa beragama adalah perihal nilai, substansi, dan spirit. Dengan kata lain, Islam ala HMI adalah Islam substansial yang tidak terkukung dan tergantung dengan ritual dan atribut formal-simbolik keagamaan.

Sehingga, HMI dalam setiap kebijakannya berpatokan pada pemikiran keislaman-keindonesiaan, misalnya, tidak memaksakan Islam sebagai dasar negara. Walaupun, menurut Dahlan Ranuwiharjo dan Sulastomo, HMI pernah keluar dari Mainstream pemikiran ideologis HMI, yakni pada Kongres ke-5 HMI di Medan 1957, HMI turut mendukung Islam sebagai dasar Negara Republik Indonesia, karena terpengaruh dinamika politik nasional pada waktu itu (Alfian, 2013: 63-64).

Konsekuensi dari pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI adalah menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tidak sebatas menerima, tapi juga meyakini dan mempraktekan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa dan bernegara. Menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian berarti mengejawantahkan pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI.

Dahlan Ranuwiharjo, Ketua Umum PB HMI Periode 1951-1953, berpendapat bahwa dasar yang paling tepat bagi Negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Pancasila sebagai titik temu bangsa Indonesia. Dan pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI, secara ideologis, sangat sesuai dengan Pancasila. (Alfian, 2013: 66-68)

Akar dari pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI adalah kesadaran akan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia. Perbedaan suku, bahasa, ras, agama, dan budaya adalah keniscayaan bangsa Indonesia yang harus diterima sebagai karakteristik dan keunikan tersendiri. Kesadaran bahwa Indonesia terdiri dari banyak faktor dan komponen pendukung yang berbeda-beda mengantarkan HMI pada pemikiran keislaman-keindonesiaan: memilih Pancasila dan menolak Islam sebagai dasar negara.

Kesadaran akan kemajemukan, pluralitas, dan keberagamaan tidak sebatas kesadaran semu. Ia telah mendarah daging, menjadi ruh, dan menggerakkan roda himpunan. Karena HMI tidak berafiliasi dengan satu aliran atau madzhab dalam Islam, melainkan mengakomodasi semua aliran atau maszhab. Asalkan beragama Islam, seseorang dapat bergabung dengan HMI. Tidak peduli apakah dia Sunni, Syi’ah, Wahabi, atau berasal dari NU, Muhammadiyah, dsb. Hal ini tertuang dalam azas HMI yang berazaskan Islam.

Di samping itu, HMI sebagai organisasi nasional tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Secara otomatis, kader HMI berasal dari suku, bahasa, ras, dan budaya yang berbeda. Sehingga, setiap daerah (cabang dan badko) mempunyai pertautan pemikiran keislaman dengan kearifan lokal yang berbeda nan unik, lalu diasosiasikan dengan konteks keindonesiaan. Kondisi seperti ini menguntungkan HMI sebagai organisasi kepemudaan yang nantinya melanjutkan estafet kepemimpinan. Tak berlebihan jika mengatakan, HMI adalah miniatur Indonesia. Kemajemukan, pluralitas, dan perbedaan adalah bagian integral dari ke-HMI-an.      

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, akar dari segala akar –atau dalam bahasa filsafat sistematik disebut landasan ontologis— dari pemikiran keislaman-keindonesiaan HMI adalah konsekuensi logis dari ketauhidan: penegasan akan keesaan Tuhan. Selain itu, tauhid, bagi HMI adalah jalan pembebasan, yakni membebaskan manusia dari tuhan-tuhan (dengan ‘t’ kecil), lalu mengafirmasi Tuhan (dengan ‘T’ besar) yang Sebenar-benarnya Pencipta. Landasan ontologis ini dijelaskan secara jelas dan padat di Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP).

NDP sebagai Ideologi HMI

NDP HMI dikompilasi oleh Nurcholish Madjid, Endang Saifuddin Anshari, dan Sakib Mahmud. NDP mengandung Islam secara substansial. Di NDP --yang juga sering disebut ideologi HMI-- tauhid mendapat penekanan dan porsi besar dalam dinamika ber-HMI. Sebagaimana yang diucapkan oleh Zezen Zaenal Muttaqien bahwa inti NDP adalah tauhid (Zezen Zaenal Muttaqien, 2008: 94). HMI mempercayai satu Tuhan yang benar-benar Tuhan Yang Sakral dan patut serta pantas disakralkan.

Betapa pentingnya mempercayai dan menyembah Tuhan yang benar, sampai HMI dalam NDP-nya menaruh ulasan singkat dalam Bab I paragaraf 1, yaitu:
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Dalam teks di atas, mempercayai Tuhan yang salah mempunyai konsekuensi yang berbahaya. Dampak yang paling nyata adalah klaim kebenaran yang membabi buta sehingga dengan mudah mengkafirkan orang yang bukan golongannya. Bahkan memerangi orang atau kelompok di luar mereka merupakan keharusan. Kepercayaan akan Tuhan yang salah berujung pada intoleransi terhadap perbedaan.

Untuk mencegah klaim kebenaran yang membabi buta serta intoleransi terhadap sesama, maka HMI memajukan tauhid yang murni. Tauhid ala HMI (dan juga Islam secara umum) diungkap dalam kalimat La ilaha Illa Allah, tiada tuhan selain Tuhan, tiada god selain God, atau tiada tuhan selain Allah. Ungkapan ini sering disebut dengan negasi (al-nafyu) dan afirmasi (al-isbat) (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 56).

Akibat proses negasi dan afirmasi ini akan “terungkap” entitas absolut yang dinamakan Tuhan Universal, Tuhan dari semua agama. Pada konteks ini, atas dasar pemahaman yang komprehensif, kita harus mengikuti pemikiran genuine Cak Nur tentang pembedaan aspek esoteris (al-bawathin) dan eksoteris (al-dzawahir) agama. Lebih lanjut, Cak Nur --sebagaimana dikutip oleh Azhari-- mengatakan bahwa yang berbeda di dalam kehidupan keberagamaan adalah pada sisi eksoterisnya (syari’at), sedangkan dari sisi esoterisnya, semua agama mengajarkan monoteisme (tauhid) dan sikap pasrah (Islam) itu sendiri (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 48).

Dengan demikian, memahami dimensi esoteris agama adalah mencari kalimah sawa’ (titik persamaan) antar agama yang tidak melulu mempersoalkan perbedaan eksoteris atau syari’at agama (termasuk ritual-ritual keagamaan). Pemahaman terhadap agama seperti ini akan mengantarkan manusia kepada toleransi terhadap perbedaan eksoteris. Karena mereka berpandangan bahwa dimensi eksoteris merupakan cara masing-masing agama menuju entitas tunggal: Tuhan Universal Yang Absolut.

NDP, memang, tidak hanya memuat ketauhidan. Namun, ketauhidan dalam NDP adalah landasan ontologis yang meng-ada-kan nilai-nilai lain (membuat nilai-nilai lain ‘ada’). Oleh sebab itu, ketauhidan dalam rumusan NDP diletakan di  bab pertama. Nilai-nilai lain berupa:  Universalitas Islam; Islam yang inklusif; Islam yang dialogis; Kemanusiaan/persaudaraan/hak asasi manusia (HAM); Islam sejalan dengan modernitas/progresivitas dan demokrasi; Islam yang tidak ekstrem (ummatan wasathan/umat yang mampu berdiri di tengah-tengah); dan  Islam yang toleran (M. Alfan Alfian dalam Opini Harian Republika, 04 Februari 2016).

Kesimpulan

Peran HMI saat ini adalah menyebarkan (berdakwah) Islam Indonesia yang Rahmatan Lil ‘Alamin, Islam damai dan cinta-kasih serta toleran terhadap perbedaan. Selain berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis, kader dan alumni HMI harus juga mengamalkan nilai-nilai ke-HMI-an –termasuk NDP dan pemikiran keislaman-keindonesiaan sebagai modal ideologis— dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di tengah-tengah berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia, HMI hendaklah menjadi anti-tesis dari tindakan kekerasan dan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Apalagi, HMI diuntungkan dengan kondisi faktual organisasi: jutaan kader dan ribuan alumni yang menempati posisi strategis di negara ini tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Harapannya, semoga HMI tetap menjadi cerminan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang bergerak untuk kemajuan dan keberadaban bangsa dan negara Indonesia.  

Daftar Pustaka

Alfian, M. Alfan. 2013. HMI 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara. Jakarta: Kompas.
Engineer, Asghar Ali. 2004. Liberalisasi Teologi Islam: Membangun Teologi Damai dalam Islam.Yogyakarta: Alenia. 
M. Alfan Alfian, Refleksi 69 Tahun HMI, dalam Opini Harian Republika, 04 Februari 2016.
Muttaqien, Zaenal Zezen. 2008. Sebuah Surat tentang NDP, Tauhid dan Sekularisasi. Dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. (Ed.), All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak Muda. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Tarigan, Akmal Azhari. 2007. Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Jakarta: Kultura
Sitompul, Agussalim. 2008 [cet. ke-2]. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975). Jakarta: Misaka Galiza.
Sulastomo. 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation. 

Comments