Perjuangan dan Kedewasaan dalam Hidup



Data Buku

Judul: Suti
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: November 2015
Tebal: viii + 192 halaman
ISBN: 9789797099862

Novel adalah salah satu karya sastra yang banyak diminati. Selain menyuguhkan cerita yang mengasikkan nan mengesankan pembaca, novel juga, dalam ceritanya, mengandung pesan moral yang hendak disampaikan penulis. Membaca novel seperti menyelam sambil minum air; menikmati cerita sekaligus memetik pesan moral di dalamnya. Begitulah kiranya manfaat membaca novel berjudul Suti karya Sapardi Djoko Damono ini.

Novel ini menceritakan tentang kehidupan Suti yang penuh liku-liku. Suti adalah gadis remaja yang dinikahkan oleh ibunya dengan Sarno, laki-laki setengah baya yang pernah kawin tetapi tidak punya anak.

Orang-orang sekitar menggunjing pernikahan Suti dengan Sarno. Tapi, ibu Suti punya alasan tersendiri mengapa mengawinkan lekas-lekas anaknya dengan Sarno; takut kalau oleh orang kampung dianggap tidak laku, takut kalau dianggap ibunya tidak becus mencarikan suami untuk anaknya, dan khawatir anaknya tersesat ke dalam dunia yang tidak benar (hlm. 2-3).

Setelah pernikahan dengan Sarno, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Suti. Sarno dan Suti saling cuek satu sama lain. Tiada ikatan cinta antara keduanya. Kehidupan Suti yang monoton dan menjemukan tersebut seketika berubah seiring dengan kedatangan keluarga Den Sastro. Sebuah keluarga priyayi yang awalnya tinggal di kota, kemudian memutuskan pindah ke pinggiran kota Solo, tepatnya di Desa Tungkal (hlm. 14).

Keluarga Den Sastro terdiri dari 4 (empat) anggota keluarga, yakni: Pak Sastro dan Bu Santro beserta dua anak laki-lakinya, Dewo dan Kuswanto. Di keluarga baru itulah Suti bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Pada awalnya, Suti bekerja sebagaimana pembantu rumah tangga pada umumnya; memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, dsb. Namun, lambat laun, Suti sudah dianggap sebagai anggota keluarga, sebagai anak angkat. Maklum, dalam keluarga Den Sastro tidak ada anak perempuan. Kehadiran Suti di keluarga ini membawa kebahagiaan tersendiri, terutama di hati Bu Sastro. Suti merasa lebih betah dan nyaman tinggal di keluarga ini ketimbang ketimbang di rumahnya sendiri.

Di keluarga “barunya” ini, Suti sering diajak Bu Sastro pergi belanja ke kota setiap bulannya. Sesekali Bu Sastro membelikan Suti kutang, celana dalam, dan rok. Bu Sastro memanggil Suti dengan panggilan cah ayu –panggilan dalam bahasa Jawa untuk anak gadis yang cantik dan menawan (hlm. 59-60). Di keluarga ini, Suti tidak dianaktirikan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Suti mulai jatuh hati kepada dua lelaki sekaligus dalam keluarga Den Sastro, yakni kepada Kuswanto dan Pak Sastro. Dengan Kunto, panggilan akrab Kuswanto, Suti sering jalan berdua: nonton film di bioskop,   kethoprak, dan makan malam berdua. Sehingga, saat Kunto pergi cukup lama ke Yogyakarta untuk kuliah, Suti merasa sedih.

Kepada Pak Sastro, Suti telah jatuh hati semenjak awal kedatangannya di desa Tungkal. “Ganteng banget priayinya, edan tenan! Cakrak seperti Prabu Kresno hehehe,” cerita Suti pada sahabatnya, Tomblok, saat pertama kali melihat wajah Pak Sastro (hlm. 1). Di masyarakat sekitar, Pak Sastro dikenal suka berhubungan dengan banyak perempuan.  

Pernah suatu waktu, Pak Sastro yang baru pulang dinas dari Jakarta, didatangi, lalu dipukuli oleh beberapa orang sehingga babak belur. Saat kejadian, di rumah hanya ada Pak Sastro dan Suti. Sedangkan anggota keluarga yang lain berada di luar kota. Akhirnya, Suti merawat Pak Sastro sendirian. Bahkan, keduanya juga sesekali bermesraan.

Setelah kejadian itu, Bu Sastro menyuruh Suti menemani sekaligus merawat Pak Sastro selama perjalanan ke dan tinggal di Jakarta. Di ibu kota Indonesia inilah, hubungan Suti dan Pak Sastro tambah erat.

Novel ini diakhiri dengan cerita: kematian Pak Sastro dengan wasiatnya berupa permintaan maaf kepada Bu Sastro karena tidak bisa memberikan anak perempuan (hlm. 170) dan pernikahan Kunto dengan sepupunya di Surabaya. Bagaimana dengan Suti? Suti telah mempunyai anak perempuan bernama Nur. Bersama Bu Sastro dan Dewo, Suti ziarah ke makam Pak Sastro. Di makam itu, Nur berkata pada Suti: “Ini ayah, ya Bu?” Bu Sastro mendekat, lalu mencium dan membisiki Nur. Saat itulah, Suti seakan mendengar suara bisikan itu, Bapak telah memenuhi janjinya memberiku anak perempuan (hlm. 191).


Gaya bercerita yang sederhana dan alur kronologis memudahkan pembaca untuk memahami setiap rangkaian cerita. Novel ini memberikan banyak pelajaran tentang kehidupan; bahwa kita harus mampu bergaul dengan siapa saja dan berjuang melaksanakan apa pun yang bisa mendewasakan dan mencerdaskan diri kita. Semua itu (suka bergaul dan senantiasa berjuang) ada pada diri Suti.

Comments