Keutamaan Berpikir: Menegakkan Makruf dan Mencegah Mungkar

Aku tidak sedang di Jogja. Walaupun begitu, aku tetap harus shalat Jum’at. Demi khotbah; menulisnya dan mempublikasikannya di blog pribadi.

“Biar keren, biar disangka anak soleh, biar mudah dapet istri solehah”, kata teman kampusku saat ditanya mengapa kita, pemuda muslim yang mahasiswa, harus rajin shalat Jum’at.

Kebetulan, dalam kurun waktu seminggu, aku ada di rumah. Di desa, di kampung halaman. Sangat berbeda sekali dengan nuansa dan atmosfer Yogyakarta yang (katanya) kota istimewa itu. Demikian pula khotbah Jum’atnya, sangat berbeda.

Di Jogja, aku menebak saja, khotbah Jum’at kali ini tidak jauh dari seputar LGBT dan bahayanya serta kurang lengkap jika tidak disertai mengharamkannya. Sangat aktual, up to date, dan kontemporer. Maklumlah, para khotibnya kebanyakan kalangan menengah ke atas progresif.

Tentu tak semua masjid di Jogja khotbanya aktual, up to date, dan kontemporer. Aku tak bermaksud menggeneralisasi. Hanya berdasarkan pengalaman saja.

Jogja memang istimewa. Istimewa kotanya, istimewa khotbah Jum’atnya.

Di desaku, tak ada khotbah yang menanggapai isu-isu aktual-nasional. Semuanya berisi hikmah-hikmah dalam mengarungi belantara kehidupan. Sepengetahuan dan sepengalamanku begitu. Jum’at kali ini pun begitu. Yakni tentang keutamaan berpikir: amar makruf dan nahi mungkar.

Di sampaikan dengan bahasa Madura dengan intonasi yang tak seperti orasi serta tidak berisi kafir-mengkafirkan. Menyejukkan hati dan menenangkan pikiran.

Dalam khotbahnya, khotib menyampaikan keunggulan dan kekhasan manusia dibanding makhluk atau ciptaan Allah yang lain, yakni akal. Akal sebagai alat. Akal tidak sebagai organ, tapi sebagai semangat untuk terus-menerus berpikir. Dengan kata lain, berpikir adalah mengadanya manusia.

Dengan berpikir, manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mempermudah kehidupan manusia sendiri. Manusia membuat kendaraan (pesawat, kapal, mobil, motor, kereta api, dll.) untuk bepergian jarak jauh namun dengan waktu yang singkat. Manusia menggarap lahan, lalu menanaminya dengan pelbagai tumbuhan untuk dimakan. Akal adalah ketakterbatasan yang terbatas, mengisi sisi-sisi keterbatasan kebertubuhan manusia.

Secara moralitas, akal merupakan alat untuk menentukan pertimbangan baik-buruk dalam mengarungi kehidupan. Akal adalah jalan berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan orang lain tanpa orang lain merasa terganggu.

Karena akal pulalah, manusia dapat menegakkan kebajikan (makruf) dan mencegah kemungkaran di dunia. Sebagai contoh, kita lihat di bumi pertiwi ini, penolakan warga atas kesewenang-wenangan korporasi dan penguasa yang lalim. Di Rembang, Urut Sewu, Karawang, Banyuwangi, dsb., misalnya. Karena mereka –para warga— menggunakan akal: bahwa penguasa dan korporasi harus dididik dengan penolakan.

Tentu isi khotbah dan berbagai perumpamaan serta contoh-contohnya dalam tulisan ini adalah berasal dari penulis. Semata-mata dari aku.

Di desa, aku melepas rindu. Semuanya adalah kerinduan yang jika dikunjungi menjelma kesejukan: suasana, bentang alam, rumah-rumah, pepohonan, jalan-jalan, kendaraan, dan tentunya khotbah Jum’atnya.

Pasnan, 29 Januari 2016

Comments