Dua Mimpi

Dua hari terakhir ini aku mimpi tidak enak –untuk tidak mengatakan mimpi buruk.  Yang pertama kemarin siang (23/01/2016). Sekitar pukul 11.00-13.00 WIB. Karena aku tidur pada rentang jam segitu. Ikut-ikut kata orang-orang. Bahwa tidur jam segitu menyegarkan nan menyehatkan. Memang, berkali-kali, malah sangat sering, aku tidur jam segitu. Kecuali ada kuliah atau kerjaan apa kek di kampus. Tapi, tidak untuk tidur kali ini. aku mimpi tidak enak. Lalu, kebawa sampai saat ini. Mimpinya penuh teka-teki. Sampai saat ini, aku masih merenung, hendak memecahkan teka-teki itu. Apa gerangan dibalik mimpi itu?

Aku beri judul mimpi yang pertama ini “Musuh dalam Selimut”. Mimpinya begini. Kurang lebih begini.

Aku tidur santai di kamar kontrakan, di lantai dua. Tidur-tiduran sambil main hape. Tiba-tiba ada beberapa orang masuk ke dalam kamar. Tanpa pemisi, tanpa ketok pintu, tanpa salam. Dua dari beberapa orang itu aku kenal. Sementara yang lainnya tidak. Aku menduga, mereka adalah teman yang dua orang ku kenal itu.

Masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba. Langsung memelukku. Lebih tepatnya menyergapku, laiknya Polisi menangkap penjahat atau perampok memangsa sasarannya. Aku tak berkutik. Tak bisa bergerak. Aku heran. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba terjadi? Apa yang telah aku perbuat? Hanya hati yang mampu berbicara. Keadaan mencekam. Aku getir. Takut terjadi kenapa-napa.

Orang-orang itu membawa senjata tajam. Segala senjata tajam. Ada palu-arit khas PKI. Ada kapak dan parang khas materi joke Abdur di Stand Up Comedy. Dan yang paling menakutkan adalah senjata ninja. Berbentuk bintang. Yang sering digunakan ninja untuk melukai musuh dalam jarak jauh. Entah kenapa, aku sangat takut dengan senjata ninja ini. Padahal, aku tak pernah melihat ninja secara riil. Hanya melihatnya di film dan sinetron.

Salah seorang dari mereka –aku kenal orangnya— menggertakku. Sambil menekan tubuhku ke lantai kamar, ia mengancamku dengan senjata ninja itu. Aku tertegun. Berpikir sejenak di antara rasa takut dan kemungkinan mencari solusi agar selamat.

Aku pilih jalan diplomatik, jalan menyelamatkan diri. Menuruti kemauan mereka. Mereka menginginkan aku untuk tidak sok-sok-an, di atas angin, dan sombong, sebagai kakak angkatan di kampus. Aku mengiyakan. Menyanggupi permintaan mereka.

Saat sepakat, deal, aku bebas. Badanku bebas dari tangan-tangan mereka. Ketakutanku mulai lepas seiring dengan lenyapnya senjata-senjata itu. Di saat yang sama, warga berdatangan. Banyak. Memenuhi kamar dan halaman depan kamar. Bukan hendak membantu. Tapi menasehatiku, seperti beberapa orang tadi itu “menasehatiku”.

“Orang-orang itu telah bersekongkol dengan warga,” pikirku.

Warga mengerumuniku. Salah satu warga mengambil satu buku. Tebal. Buku kesukaanku, karena begitu yang kurasakan dalam mimpi: merasa kehilangan. Aku tak tahu persis judul buku itu. Yang jelas, buku itu adalah buku terakhir dari kelanjutan dua buku sebelumnya. Trilogi buku lah.

Lalu, orang itu membawa pulang itu buku. Warga yang lain meniru, mengambil buku, kemudian membawanya pulang. Tidak hanya dewasa, anak-anak juga ikutan.

Aku tak berdaya. Menatap raibnya buku-bukuku. Aku berteriak seraya memberi isyarat untuk mengembalikan buku-bukunya. Seakan-akan berteriak: “kembalikan buku-bukunya!!”. Salah seorang dari warga –dari raut wajah dan cara berpakaiannya, dia orang yang dituahkan—paham maksudku. Dia beranjak, pergi ke masjid. Mengumumkan apa yang aku inginkan: mengembalikan buku dengan segera, karena dibutuhkan.

Seketika, warga berdatangan. Mengembalikan buku. Aku menghela napas, lega. Sambil tangan kanan memegang dada. Aku terbangun. Mimpi selesai. Maksud dibalik mimpi belum selesai.

Mimpi yang kedua terjadi tadi pagi dini hari (24/01/2016). Sekitar pukul 03.00-08.30 WIB. Aku tidur dalam jangkar jam segitu, tepat setelah aku menceritakan mimpi yang pertama kepada tiga rekanku.

Dalam mimpi ini, ada tiga tokoh: aku, ustad langgêr (sebut saja Ustad A), dan seorang rekanku (panggil saja Budi). Latar tempatnya di kampungku. Ceritanya begini.

Aku membeli dua bungkus mie instan. Membawanya ke langgêr (surau atau musolla tempat anak-anak kampung belajar ngaji). Di langgêr itu sudah ada Budi. Seorang diri. Sedang mengaji, membaca Al-Qur’an. Dia melihat sekilas kedatanganku, kemudian melanjutkan mengaji.

Aku masih menenteng dua bungkus mie instan. Satu aku buka, aku makan tanpa direbus terlebih dahulu. Satunya lagi aku taruh di atas rak tempat menyimpan Al-Qur’an.

Beberapa saat kemudian, Budi berdiri. Melihat ada mie instan di atas rak, dia memandang ke arahku. Lalu, berujar dalam bahasa Madura, “mie nah beghi engkok yeh?” (mie instan ini buat aku ya?)

Ella, engkok satiyah ghik tak endik pesse gebey ngakan?” (Jangan, aku sekarang gag punya uang buat makan?) Jawabku dengan refleks. Juga memakai bahasa Madura.

Setelah “transaksi gagal” tersebut, aku keluar. Menuju halaman belakang langgêr. Budi juga mengikuti. Di halaman belakang, sudah ada alat masak. Kompor gas dan wajan sudah siap pakai

Aku memasak mie, yang tersisa satu bungkus itu. Sementara Budi, berdiri, memperhatikan aku. Mie belum matang, tiba-tiba Ustad A datang. Membawa piring lengkap dengan nasi dan lauknya. Ustad A mengambil posisi di dekat Budi. Lalu makan tanpa bicara apapun, sambil berdiri.

Mie sudah matang. Aku meniriskannya. Menaruhnya di piring. Kemudian aku makan. Juga tanpa menawarkan kepada Budi dan Ustad A.

Anehnya, rasa mienya tak seperti mie pada umumnya: kenyal-kenyal. Aku seperti makan belahan bambu. Di rumah menyebutnya bêllêt. Tidak enak. Mulut kering, perut panas. Kering dan panasnya menjalar ke seluruh tubuh.

Aku terbangun dari tidur. Dengan keadaan rada-rada gag enak badan. Mulut, kerongkongan, dan perut serta sekujur tubuh serasa kering. Mengering. Tapi tidak begitu panas. Aneh, memang.
Lagi, mimpi selasai. Tapi dibalik mimpi belum selesai.

Blunyahrejo, 24/01/2016

Comments