Amal Saleh dan Maksiat
Suara adzan Jum’at
berkumandang. Aku masih belum siap-siap. Tiduran dengan dada telanjang, memakai
bawahan sarung yang sedikit kendor ikatannya. Sementara tangan masih asyik
menyentuh layar gadget, mata menatap dengan seksama laiknya membaca soal ujian
akhis semester.
Tidak ada tanda-tanda
persiapan bergegas ke masjid dalam diriku. Males. Belum juga mandi. Soalnya
baru bangun tidur. Aku mempertimbangkan: berangkat ke masjid atau tidak.
Kuputuskan untuk tidak. Kulakukan sesuatu. Menanak nasi. Saat membasuh beras,
aku masih kepikiran: berangkat ke masjid atau tidak. Keputusan awalku berubah.
Kuputuskan untuk ke masjid. Shalat Jum’at dan segala aspeknya. Ketimbang tidak
ngapa-ngapain menunggu beras menjadi nasi, lebih baik aku ke masjid, biar
menjadi anak saleh, biar dapet (segera) istri salehah juga. Begitulah kira-kira
pertimbanganku.
Aku berwudlu’. Ganti
pakaian. Aku semprotkan sedikit parfum.
Di masjid sudah banyak
orang. Berpakaian sebagaimana orang Jum’atan. Bagian depan sudah penuh. Aku
mengambil tempat di belakang. Rupanya di belakang sudah hampir penuh juga. Dengan
sedikit do’a yang kudapat dari orang tua, aku duduk. Menyimak khotib
berkhotbah.
Beginilah kira-kira isi
khotbahnya. Tentu dengan interpretasi dan bahasaku.
Tentang amal saleh dan
maksiat. Perbanyaklah amal saleh dan hindarilah maksiat. Mendekatkan diri pada
Allah dengan tekun dan rajin beribadah. Amal saleh adalah jalan mendekatkan
diri pada Allah sebagai Tuhan semesta alam. Sementara, maksiat adalah perkara
dan kelakuan yang menjauhkan diri dari Allah.
Sebagai mahasiswa
filsafat yang sok kritis, aku berpikir sejenak. Mengernyitkan dahi. Mencoba
menggali bacaan dan petuah-petuah dosen di kelas. Akhirnya ketemu satu
pernyataan: atas dasar apa kita membenci kesalahan dan mengagungkan kebenaran?
Kalok tidak salah, pernyataan ini adalah kata-katanya Nietzsche. Itu loh filsuf
atheis.
Jika dikaitkan dengan
khotbah Jum’at tadi, kira-kira begini bunyinya: atas dasar apa kita menghindari
maksiat dan memperbanyak amal saleh. Bukankah maksiat adalah jenis lain dari
amal saleh. Aku terdiam. Tambah pusing. Tak menemukan jawaban. Satu-satunya
jawaban adalah atas dasar agama, Om Nietzsche. Agama memerintahkan demikian.
Lalu, muncul pertanyaan lain: benarkah agamamu sesungguh-sungguhnyu agama?
Pusing. Sudahlah.
Daripada pusing, aku memutar tasbih. Menggerakkannya dari satu butir tasbih ke
butir yang lain. Sambil membaca do’a. Wiridan lebih tepatnya.
Ternyata, memutar
tasbih dan membaca wirid belum menyelesaikan keganjalan dibenakku. Tentang amal
saleh dan maksiat. Apa itu amal saleh dan apa itu maksiat?
Lamunanku pecah. Khotib
selesai berkhotbah. Kok sebentar, pikirku, biasanya khotbah di masjid ini lama.
Rupanya aku telat, terlalu terlambat sehingga tidak nututi sesi khotbah
seutuhnya. Kemudian shalat Jum’at berjama’ah.
Selepas shalat Jum’at,
aku langsung bergegas menuju depan pintu gerbang masjid. Di sana ada penjual
mie ayam langgananku. Setiap habis Jum’atan –jika kebetulan Jum’atan di
sini—aku selalu beli. Aku pesan satu. Dibungkus. Buat dimakan bersama nasi yang
kutanak tadi.
Aku serahkan uang, si
penjual menyerahkan sebungkus mie ayam. Ternyata, oh ternyata. Amal saleh itu
saat aku menyerahkan uang dan menerima mie ayam dengan senyum. Begitupula saat
si penjual menyerahkan mie ayam dan menerima uang dariku. Terjawab. Lalu, maksiat?
Saat tidak ada senyum di antara aku dan si penjual.
Jika kau bertanya apa
yang aku dapatkan dari shalat Jum’at? Mie ayam lengkap dengan senyumannya.
Begitulah jawabanku.
Blunyahrejo,
22/01/2016
Comments
Post a Comment