Menjadi Ateis
‘Tak peduli seberapa banyak kebajikan yang kamu perbuat sebelum meninggal, jika kamu bukan seorang Muslim, kabar buruk akan menimpamu. Karena hal itu, aku mempunyai permasalahan dalam menerima beberapa bagian ajaran agama’
Artikel ini merupakan terjemahan dari artikel berbahasa Inggris karangan Aditya Nandiwardhana di rappler.com pada 24 September 2015.
“Di akhirat, hanya Muslim yang masuk surga”
Itulah perkataan dari
guru ngajiku ketika aku kelas empat. Saat dia menceritakan padaku tentang hal
itu, aku sangat-amat terkejut.
Aku terlahir sebagai
orang Muslim. Sebagaimana anak kecil Muslim di Indonesia, aku harus belajar
membaca Al-Qur’an. Ayahku mendatangkan guru ngaji padaku. Aku menghabiskan 2
jam per hari selama tiga hari dalam seminggu. Tidak hanya belajar tentang
bagaimana membaca Qur’an, aku juga belajar tentang Islam secara umum; tentang
seperti apa Islam (setidaknya Islam menurut guru ngajiku) mengajarkan kepada
kita.
Salah satu hal yang aku
pelajari dari guru ngajiku adalah masuk surga merupakan keistimewaan seorang
Muslim. Tak peduli seberapa banyak kebajikan yang telah kau lakukan sebelum
meninggal, jika kamu bukan seorang Muslim, kabar buruk akan menimpamu.
Karena hal itu, aku
mempunyai permasalahan dalam menerima beberapa bagian ajaran agama.
Beginilah
permasalahannya. Aku terlahir dalam tradisi Muslim. Ayahku seorang Muslim.
Bagaimanapun juga, tidak hanya tradisi yang menakdirkanku.
Ibuku seorang penganut
Katolik yang sangat taat. Ketika kecil (kanak-kanak), aku menghabiskan banyak
waktu dengan eyangku dari garis ibu. Mereka mengasuhku karena kedua orangtuaku
bekerja.
Eyangku punya banyak
ornamen Katolik di rumahnya –salib di dinding, patung Bunda Maria, foto-foto
pendeta, dan banyak lagi. Mereka menceritakan padaku tentang Yesus. Dan aku
suka cerita-cerita itu.
Ketika aku tidak diasuh
oleh mereka, ayahku biasanya mengajakku untuk melakukan shalat. Aku tidak tahu
bagaimana sesungguhnya melaksanakan shalat, tapi aku hanya mengikuti
gerakan-gerakan ayahku.
Semua itu masa
kanak-kanakku. Aku tahu bahwa orangtuaku mempunyai latar agama yang berbeda.
Aku tak ada masalah menerima fakta itu. Semua itu dapat ku pahami. Aku juga
tahu bahwa ada banyak orang dengan kepercayaan keagamaan yang berbeda di luar
sana. Aku pikir semua kepercayaan yang berbeda itu adalah absah seperti
kepercayaanku. Jika orang lain menanyaiku perihal agamaku, aku menjawab: Islam.
Aku tak pernah berpikir
bahwa agamaku superior dari yang lain. Sampai guru ngajiku mengajarkanku
sebaliknya.
Menjadi
Agnostik
Aku kira ini adalah
perjalanan awal yang membawaku menjadi seorang agnostik-ateis.
Aku mempunyai masalah
dalam menerima doktrin superioritas Islam diatas kepercayaan agama lain. Bahwa hanya
Muslim bisa masuk surga. Aku mencintai eyangku dan tidak adil jika mereka masuk
neraka hanya karena mempercayai Tuhan dalam jalan yang berbeda denganku.
Seiring dengan pertumbuhanku, aku mulai bertanya-tanya terkait aspek lain dari
Islam, seperti peran perempuan dalam pandangan tradisional Islam dan hak-hak
kaum LGBT. Tapi, aku juga takut implikasi dari pertanyaan tersebut. Aku tidak
ingin masuk neraka hanya sebab meragukan keimananku.
Sampai dua tahun di
perguruan tinggi, aku akhirnya memutuskan untuk berhenti mempraktekan ajaran (baca:
ritual-ritual) Islam. Aku berhenti shalat, pergi ke masjid setiap hari Jum’at,
dan berpuasa selama bulan Ramadhan. Aku tidak lagi mengidentikkan diri sebagai
Muslim. Aku belum menjadi atheis pada waktu itu. Semacam deis, masih
mempercayai “kekuatan yang lebih tinggi”. Yang jelas, aku telah menjadi seorang
yang murtad.
Aku tidak terbuka
dengan orangtua terkait hal ini. Aku tinggal di kos di Yogyakarta ketika pertama
kali berhenti mengindentikkan diri sebagai Muslim. Sementara orangtuaku tinggal
di Jakarta, sehingga keadaan ini mempermudahkanku. Tapi setiap pulang ke rumah
orang tua di Jakarta, aku berpura-pura sebagai (masih) Muslim.
Aku akan mencoba keluar
rumah setiap tiba waktu shalat, karena tidak ingin shalat dengan ayahku.
Tentunya aku tidak bisa selalu keluar rumah selama waktu shalat, jadi aku harus
berpura-pura shalat dengan ayahku selama kesempatan tersebut.
“Krisis utama yang dihadapi kemanusiaan saat ini bukanlah agama, sebagaimana banyak atheis menganjurkan. Adalah stuktur kekuasaan yang menindas orang-orang LGBT, agama minoritas (termasuk tapi tak terbatas pada ateis), perempuan, buruh, dan kelompok tertindas lain.”
Ramadhan adalah
tantangan terberat bagiku. Aku harus berpura-pura puasa dan berpikir bagaimana
caranya menyelundukkan secara diam-diam makanan ke dalam kamarku tanpa
ketahuan. Setiap pulang ke Jakarta saat liburan kuliah, aku tidak bisa menunggu
untuk kembali ke kosku di Yogyakarta.
Mendalami
Buddhisme
Aku mulai penasaran
tentang Buddhisme saat tahun pertama kemurtadanku. Aku membaca banyak tentang Buddhisme
dan pergi ke candi Buddhis dekat kosku. Aku terbiasa bermeditasi secara rutin,
dan sampai saat ini masih mencobanya.
Untuk sementara waktu, aku
sungguh tertarik terhadap Buddhisme, sampai kemudian aku skeptis terhadap aspek
supernaturalnya. Aku masih menganggap Buddhisme adalah spritualitas amat penuh
makna. Kamu pun boleh menganggapku seorang Buddhis-ateis atau buddhis-sekuler. Aku
merasakan kesukaran untuk mempercayai aspek supernatural Buddhisme atau supernatural
secara umum.
Yang membuat aku
menjadi lebih skeptis terhadap supernaturalisme adalah karya Richard Dawkins
dan tokoh lain terkemuka dari ateisme kontemporer. Aku membaca buku “The God Delusion” dan menonton pidatonya
di YouTube. Ketahuilah, Buddhisme adalah agama non-theistik. Meskipun
sebelumnya telah menjadi atheis ‘kaffah’, aku mempunyai permasalahan dengan
konsep antropomorfisme.
Satu hal yang membawaku
ke dalam Buddhisme adalah tidak adanya kepercayaan akan Tuhan tertentu. Aku mulai
lebih dan lebih skeptis lagi terhadap segala klaim supernatural --termasuk
aspek supernatural Buddhisme--, saat tertarik pada atheisme kontemporer secara
umum.
Menjadi
Ateis
Menjadi ateis bukanlah
keputusan yang disengaja. Tidak sebagaimana halnya aku bangun pada suatu pagi
dan berkata pada diriku, “Aku pikir aku ingin menjadi ateis!”. Tidak ada momen
yang tepat ketika aku tahu aku adalah ateis. Menjadi ateis adalah akumulasi
dari sebuah proses pemikiran yang panjang dalam pengalamanku. Ketika sadar,
secara teknis, aku bergabung dengan grup ateis Indonesia di Facebook.
Ketika mulai mengindetikkan
diri sebagai seorang ateis, aku cenderung masuk dalam pergerakan ateisme
kontemporer. Ya, aku adalah ateis
jenis tersebut pada waktu itu, dan sekarang aku menjadi sungguh malu. Aku telah
dicap sebagai Islamophobia, sebagian karena kemutadanku. Aku diisolasi oleh
hegemoni Muslim di Indonesia, terutama karena berpura-pura mempercayai Islam di
depan keluarga.
Sebagian besar ateis
yang aku ketahui lewat grup Facebook adalah mereka yang arogan, ateis militan,
yang mempengaruhiku untuk berubah menjadi seseorang yang lain.
Seseorang yang tertarik
pada diskursus sayap kiri, khususnya anarkisme, yang membuatku secepatnya
menyingkirkan ateisme kontemporer. Aku sadar bahwa ateis kontemporer terkemuka
seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens adalah pembela
imperealis U.S. Aku juga belajar tentang feminisme, yang mengantarkanku pada
kesimpulan bahwa Dawkins adalah seorang seksis --diskriminasi gender, terutama
terhadap perempuan.
Aku masih seorang
ateis, lebih tepatnya agnostik-ateis. Aku tidak mengklaim mengetahui bahwa
Tuhan tidak ada. Aku hanya skeptis bahwa Tuhan ada. Bagaimanapun juga,
sekarang, aku adalah seorang ateis yang berbeda dengan aku sebelumnya. Daripada
menghabiskan energi untuk memperdebatkan agama orang bahwa mereka salah dalam
berTuhan, aku lebih tertarik dan menaruh perhatian terkait isu-isu penting
seperti gender, ras, kelas, lingkungan, dan hak asasi manusia.
Aku juga telah berhenti
membuat generalisasi tergesa-gesa tentang orang beragama, sebagaimana
kecenderungan banyak ateis. Aku mengetahui banyak orang beragama, yang juga
feminis dan pendukung LGBT, di saat yang lain terdapat banyak ateis yang
seksis, rasis, dan klasis. Hal ini membuktikan fanatisme tidak hanya tertutup
pada orang beragama.
Aku tidak menyangkal
bahwa banyak orang beragama menggunakan agama sebagai justifikasi untuk
mengekalkan penindasan, tapi ada juga orang beragama menggunakan interpretasi
keagamaannya sendiri untuk memerangi penindasan. Agama adalah tentang
interpretasi; kamu dapat menggunakan interpretasi untuk mendukung status quo, atau kamu gunakan untuk
menentangnya.
Krisis utama yang
dihadapi kemanusiaan bukanlah agama, sebagaimana banyak ateis menganjurkan.
Adalah struktur kekuasaan yang menindas LGBT, agama minoritas (termasuk tapi
tak terbatas pada atheis), perempuan, buruh, dan kelompok tertindas lain. Semua
orang, apapun agama, ras, ataupun latarbelakang nasionalnya, harus bekerja
bersama untuk membongkar struktur kekuasaan yang menindas.
Comments
Post a Comment