Jenuh
Aku di antara tiang
penyangga bangunan yang sehari-hari digunakan untuk kuliah. Tiang yang renta.
Lusuh. Penuh dengan bekas tangan tak bertuan. Hampir tak terawat. Semenjak
menginjakkan kaki di kampus ini setahun yang lalu, aku belum pernah melihat
tukang cat memperbarui warna tembok yang kian hari kian memudar. Hanya karyawan
kebersihan yang sesekali membersihkan bhêng-sabhêng
di langit-langit. Menggunakan sapu ijuk yang disambungkan dengan galah
supaya dapat menjangkau ketinggian.
Di selasar, aku melihat
lalu-lalang mahasiswa. Ada yang berjalan beriringan berpasangan. Entah, apakah
pasangan benaran atau sekedar teman biasa. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Ada
pula yang berjalan sendirian sembari menghisap rokok, menaiki tangga dan hilang
di pangkal tangga. Ada juga yang tergesa-gesa. Mungkin ada keperluan mendadak.
Dan sangat mungkin terlambat masuk kuliah.
Di kelas, dosen masih
tahan mengajar. Berbekal beberapa slide power point yang entah tahun kapan
dibuatnya. Dari tahun ke tahun, tidak ada perubahan berarti. Hanya sesekali
merubah font; dari Times New Roman ke Calibri, dan design backgorund-nya. Lalu
mendengarkan ceramah dan membuat makalah.
Hampir setiap hari aku
merasakan suasana demikian. Seragam. Tak ada sentakan. Tak ada kejutan.
Apa aku sedang jenuh?
Entahlah. Kalau tidak ada jenuh, tidak bakal ada juga keceriaan. Kegembiraan.
Kesenangan. Bukankah kehidupan demikian? Diciptakan berpasangan-pasangan.
Seperti beberapa mahasiswa tadi yang berjalan beriringan. Sesuatu selalu
meniscayakan sesuatu yang lain, lawannya. Hitam-putih. Setan-malaikat.
Kebaikan-keburukan. Kejenuhan-keceriaan. Lulus-tidak lulus. Dan lain
sebagainya.
Apa tidak ada
alternatif lain di antara kejenuhan dan keceriaan? Mungkin ada, mungkin juga
tidak. Atau mungkin kita belum menemukan kata untuk melafalkannya. Bukankah kata
memang membatasi ide?
Aku sendiri belum
menemukan alternatif. Semacam jalan tengah. Hanya saja saat aku bertanya kepada
orang-orang, jawabannya sangatlah diplomatis. Adakalanya jenuh. Ada kalanya
ceria. Tergantung kita bagaimana memposisikan dan mengatur diri.
Satu lagi, bukankah
keceriaan adalah jenuh jika senantiasa dialami terus-menerus. Tanpa jeda.
Jenuh tak bisa dilawankan dengan apa saja. Ia adalah suasana hati. Relatif. Tergantung.
Comments
Post a Comment