Demokrasi Musiman
Selembaran ini saya temukan setahun yang lalu beberapa saat setelah gelaran Pemilwa di berbagai tempat di ugm |
Berbeda
dengan bunga Amaryllis yang kehadirannya semerbak mewangi nan menyejukkan mata,
Pemilwa di UGM --alih-alih menebarkan keelokan— malah menambah kotor saja
dengan atribut kampanyenya. Dengan poster-poster di dinding, papan informasi,
dan selembaran berserakan. Isinya ‘hanya’ foto diri dengan sedikit sentuhan photoshop dan kalimat ‘pilih aku ya!’. Yang ditonjolkan adalah keelokan rupa
dan tubuh, tapi miskin visi-misi.
Sebagai
mahasiswa UGM, terus terang saya sangat setuju dengan demokrasi secara umum dan
Pemilwa secara khusus. Pemilwa adalah hajatan akbar tahunan (pesta demokrasi) untuk
memilih presiden dan senat mahasiswa sebagai salah satu manifestasi dari
pendidikan (ber)demokrasi dan (ber)politik sejak dini di kampus. Tapi, apakah
Pemilwa di kampus (katanya) kerakyatan ini sudah mencerminkan pendidikan
(ber)demokrasi dan (ber)politik?
Saya
kira jawabannya: tidak. Alih-alih mencerminkan pendidikan (ber)demokrasi dan
(ber)politik, Pemilwa justru mempersempit makna demokrasi dan menjerumuskannya
pada makna baru: bahwa demokrasi adalah Pemilwa. Demokrasi adalah berdurasi
satu-dua bulan saja; pendaftaran, kampanye, lalu pencoblosan.
Di
luar bulan tersebut, yang ada hanyalah diam. Tiada kabar. Tiada kinerja. Kalaupun
ada kinerja, paling sering ya bikin
acara gede dan menjadi Event
Organizer (EO).
Lihat
saja nanti. Setelah perhelatan Pemilwa, Partai Mahasiswa (ParMa) sebagai
kendaraan politik untuk menempati kedudukan presiden dan senat mahasiswa akan
segera menepi. Minggir sepinggir-pinggirnya sampai tak kelihatan. Mungkin saja
bersemedi. Menunggu ilham datang dan dawuh perintah untuk perhelatan Pemilwa
selanjutnya.
Demokrasi
dipersempit. Pemilwa hanya rame pada bulan itu saja.
Setelah
mereka menjadi presiden dan senat mahasiswa, yang ada hanyalah menjadi –semacam
kursus kilat-- Event Organizer. Ya, itulah
kerjaan utama BEM KM UGM. bagaimana dengan senat? Nah, senat ini lebih gag jelas lagi. Kerjaannya hanya membuat
(katanya) undang-undang dan mengawasi kinerja BEM. Itupun hanya satu tahun
sekali. Selebihnya bobok manis di kos sambil nonton serial tivi ‘Anak Jalanan’.
Bagi
saya, pendidikan (ber)demokrasi dan (ber)politik yang diwujudkan melalui Pemilwa
tak ubahnya Pilkada serentak tahun ini. Sebatas euforia dan rame-rame saja pas
menjelang dan saat pemilihan. Setelah itu, partai –termasuk partai mahasiswa—menghilang
entah kemana.
Sehingga tak heran jika di UGM terdapat kelompok yang tidak setuju dengan Pemilwa dan BEM KM serta Senat. Tak heran juga jika partisipasi pemilih di hampir setiap Pemilwa berkisar di angka 30 persen. Bukti bahwa mahasiswa UGM terdidik dengan tidak serta merta menyerahkan kedaulatannya kepada perorangan atau golongan tertentu
Comments
Post a Comment