Syi’ah Hanya Gagal Move On


Di Jogja, akhir-akhir ini, saya kerap menjumpai spanduk-spanduk bertuliskan “Syi’ah Bukan Islam”, bertebaran di beberapa ruas jalan di Jogja. Sebagai pengendara sepeda motor yang senantiasa mengamalkan nilai-nilai Pancasila, saya membatin dalam lubuk hati yang paling dalam: “Tambah ke belakang, orang kok tambah ketularan virus #JombloHaters. Cukup kaum jomblo sajalah yang dikucilkan. Biarkan yang lain bebas mengekspresikan bapernya.

Karena memang hanya dan hanya kaum jomblo yang tahan banting, tahan cercaan, dan tangguh (men)tahan air mata. Hal ini tidak terlepas dari jomblo sebagai anak zaman yang basah akan pengalaman kehidupan, walaupun kering persoalan percintaan; ditempa dalam kesunyiaan, dihadapkan dengan persoalan dalam seorang diri, dan dipenuhinya kebutuhan hidup dengan mandiri di kamar mandi.

Kembali ke soal spanduk. Sungguh se-begitu seriuskah persoalan keberadaan Syi’ah di Indonesia sehingga beberapa orang mengklaim bahwa “Syi’ah Bukan Islam”? Jawaban saya: tidak se-begitu serius amat kok. Nyatanya, tak ada pengaruh apa-apa dalam keseharian saya. Saya masih tetap menjadi mahasiswa yang mandiri, merdeka, dan bebas dari belenggu pasangan.

Malahan saya kok berpikiran bahwa orang yang bikin itu spanduk adalah orang yang kurang kerjaan dan tentunya kurang piknik. Dari saking kurang kerjaan dan piknik sehingga pohon yang tak berdosa dipaku secara tak pohoni hanya untuk gantungan spanduk lebay nan alay itu. Bayangkan jika pohon itu adalah hati orang, sakitnya tuh bukan cuman di sini tauk!!!

Andai saya tahu siapa orang yang menaruh spanduk itu, saya akan menjadikannya putra mahkota jika laki-laki dan permaisuri jika perempuan. Biar mereka tahu sakitnya hidup bersama –bukan berpasangan lho ya— dengan segala bentuk penerimaan terhadap perbedaan.

Bagi saya, soal dan masalah bedanya Syi’ah dengan aliran mainstream di Indonesia, katakanlah Sunni, bukanlah perkara yang layak untuk diseriusi. Sekali lagi: hanya orang-orang yang kurang kerjaan dan kurang piknik yang menganggapnya serius. Padahal masalahnya sangat simpel dan santai: Syi’ah hanya gagal move on.

Ya, Syi’ah hanya sulit, bahkan tak dapat move on. Masih ingat kan bagaimana Syi’ah itu terbentuk. Percayalah bahwa Syi’ah lahir karena semata-mata kepentingan politik sewaktu Perang Siffin, kemudian merembet ke kontroversi hati, sehingga menimbulkan baper-baperan di antara pihak yang bertikai.

Yang Muawiyah dengan pengikutnya baper. Yang Ali dengan Syi’ah sebagai pengikutnya baper. Dan yang Khawarij, sebagai penentang kedua kubu (kubu Muawiyah dan Ali), juga main baper-baperan. Oleh karena main baper-baperan, yang ada hanyalah salah paham belaka dan berujung pada sulitnya move on dari kubunya masing-masing.
Nah, dari peristiwa ini sesungguhnya asal-muasal kata baper dan move on. Hanya saja sangat disayangkan baru akhir-akhir ini populer.
Seiring dengan bertambahnya kaum jomblo, cuman Syi’ah yang mampu bertahan dan mengekspansi ke seluruh penjuru dunia sampek di Indonesia juga ada. Setidaknya yang saya dengar seperti itu.
Syi’ah memang sungguh-sungguh pengikut Ali tulen. Dari namanya saja sudah jelas, Syi’ah, artinya: pembela. Dalam hal ini Ali dan keluarga serta keturunannya yang dibela. Tidak hanya membela biasa, tapi juga dilandasi kesetiaan beserta ke-baper-an. Sehingga, Syi’ah adalah pengikut setia Ali dan ahlul bait-nya.
Kesetiaan kaum Syi’ah masih bertahan sampai detik ini. Bahkan terus meningkat. Dari saking setianya dan baper-nya sampek sulit untuk move on dari Ali dan keluarga serta keturunannya.  
Masihkah Kalian amat begitu serius mempersoalkan keberadaan Syi’ah? atau masih mau buat lagi spanduk “Syi’ah Bukan Islam” di jalanan?

Sudahlah. Belajarlah pada kaum Syi’ah tentang kesetiaan. Tapi barangkali tidak untuk perihal move on atau jika Kalian siap untuk dihantui kenangan masa lalu bersama mantan. 

Comments