Politik itu Kotor, Ya?


Identitas Buku

Judul: Il Principle (Sang Pangeran)
Pengarang: Niccolo Machiavelli
Penerjemah: Dwi Ekasari Aryani
Penerbit: Narasi
Tahun Terbit: 2008
Jumlah Halaman: 184 halaman

Platon, filsuf Yunani kuno, menyebut kodrat manusia adalah bernegara, hidup dalam masyarakat polis –negara-kota. Dia menyebut manusia merupakan zĂ´ion politikon, sering diterjemahkan sebagai makhluk sosial, namun lebih tepat diartikan sebagai makhluk politik; manusia adalah makluk (ber)politik dalam kesehariannya. Tentang politik, Platon menulis buku berjudul Politeia; The Republic dalam bahasa Inggris. Politeia Platon, secara umum, memuat tentang ide-ide negara ideal --yang oleh Bertrand Russell disebut negara utopis. Mulai dari tentang bagaimana konsep negara yang ideal, bagaimana negara ideal harus disusun, hingga siapa yang seharusnya memimpin negara.

Berbeda dengan Platon, Niccolo Machiavelli (1469-1527), filsuf yang hidup dalam zaman Renaisans, tidak lagi mengkonsepkan suatu negara ideal. Melainkan, dia mendeskripsikan realitas nyata dalam (ber)negara. Dengan kalimat lain, Platon bertitik tolak pada eidos untuk kemudian memunculkan konsep negara ideal, Machiavelli berangkat dari realitas kehidupan politik dalam negara untuk menentukan bagaimana negara seharusnya dijalankan.

Jika Platon mempunyai Politeia, Machiavelli mempunyai Il Principle; Sang Pangeran atau The Prince dalan versi Inggrisnya. Melalui buku ini, Machiavelli mendeskripsikan realitas dinamika politik pada masanya secara gamblang dan tanpa tedeng aling-aling. Misalnya adalah keniscayaan untuk bermuka dua –bertindak kejam sekaligus lemah lembut— dalam  politik. Tidak hanya mendeskripsikan, Machiavelli juga merefleksikannya sehingga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi politik untuk suatu negara, lebih tepatnya untuk penguasa negara.

Buku ini ditulis dengan kejujuran dan “kepolosan”. Jika ada orang yang sangat jujur dan “polos” dalam mendeskripsikan kehidupan dunia politik, maka itulah Machiavelli. Bahkan lebih jujur dan “polos” dari seorang Soe Hok Gie yang menulis dalam catatan hariannya: “Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lampu-lampu yang kotor” dan seorang Iwan Fals dalam lirik-lirik lagu bertendensi kritik sosial-politik.

Yang perlu diperhatikan dari pemikiran filsafat politik Machiavelli adalah dia berbicara pada tataran apa yang senyatanya ada dalam politik, bukan apa yang seharusnya ada.


Intrik (Ber)Politik

Dalam buku ini, Machiavelli menampilkan wajah politik yang penuh dengan intrik, tipu muslihat, dan main sikut serta bermuka-dua. Semua tindakan, dalam politik, halal dan absah-absah saja. Bahkan kategorisasi tindakan baik dan buruk, moral dan amoral hampir kabur dan tidak ada garis demarkasi yang jelas. Melukai bahkan membunuh kawan dan lawan, mempertahankan persahabatan, bersikap bijaksana sekaligus kejam, menjadi dermawan sekaligus kikir, menjajah dengan kekerasan, menipu adalah makanan sehari-hari dunia politik dengan tujuan melanggengkan kekuasaan (hlm. 62-63). Dengan kalimat lain, Machiavelli melakukan, tidak hanya, pendobrakan legitimasi religius, tapi juga pendobrakan legitimasi moral dalam politik.

Tidak ada yang baku dan statis dalam (ber)politik. Politik adalah proses menjadi. Jalan yang tak berkesudahan. Pada mulanya, politik merupakan jalan menuju kekuasaan. Setelah kekuasaan dicapai, politik bertransformasi menjadi semacam “petugas keamanan” yang berupaya mengamankan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara dan tindakan tiada batas.

Di jalan menuju kekuasaan, ada main sikut, intrik-intrik, dan tipu muslihat. Juga saat menduduki kekuasaan, ada hasrat, keinginan serta upaya mempertahankan dan mengamankan kekuasaan dari ancaman dengan kekerasan. Mengintimidasi, menindas, menyiksa, memberedel pers, dan membumihanguskan buku-buku yang dapat menggoyangkan kursi kekuasaan, serta tidak segan-segan menjadi “Malaikat Izrail” yang dengan serampangan mencabut nyawa manusia.

Machiavelli, dalam buku ini, mencontohkan kisah Oliverotto da Fermo dalam upaya merebut kekuasaan Giovanni Fogliani yang notabene pamannya sendiri. Dikisahkan bahwa setelah kematian ayahnya, Oliverotto diasuh oleh paman dari pihak ibunya, Giovanni. Giovanni membesarkannya, menyekolahkannya, dan mengirimnya ke akademi kemiliteran. Singkat kata, saat usia sudah matang, Oliverotto berupaya menggeser kedudukan Giovanni sebagai penguasa di Fermo Italia. Oliverotto mengawalinya dengan mengundang Giovanni dan jajarannya dalam jamuan makan malam dan mengakhirinya dengan pembunuhan massal oleh Oliverotto dan pasukannya. Giovanni meninggal dan Oliverotto naik tahta menjadi penguasa serta menciptakan ketakutan dalam pemerintahan dengan kekerasan demi mempertahankan kekuasaannya. (hlm. 68-70)

Begitulah politik. Membunuh kerabat sendiri adalah keniscayaan jika memang betul-betul harus dilakukan dan tidak ada jalan lain. Seperti ungkapan Machiavelli, dalam buku ini, yang sangat sering dikutip khalayak umum: “Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; kesemua ini tidak dapat digolongkan tindakan bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan ketakutan, namun bukan kemuliaan (hlm. 67).

Politik yang penuh intrik, tipu muslihat dan kebohongan juga mewarnai kehidupan Nusantara. Misalnya dalam Kerajaan Majapahit, bagaimana Dyah Halayudha menyebar berita bohong, menghasut dan mengadu domba panglima-panglima besar nan berjasa Majapahit. Kelicikan Halayudha ini menjadi sebab kematian para pahlawan pendiri Majapahit, seperti Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi.    

Menjadi Diktator yang Merakyat

Michael H. Hart, penulis buku best seller, The 100: a Ranking of The Most Influential Persons in History, memasukkan Machiavelli sebagai salah satu dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia dan menjuluki buku ini, Il Principle, sebagai “Buku Pedoman Para Diktator”. Konon, Hitler, Lenin, dan Stalin merupakan pembaca sekaligus pengagum buku ini. Bahkan Napoleon selalu tidur bersama buku ini dengan menaruh di bawah bantal. Dan hanya Bennito Mussolini yang secara eksplisit dan terang-terangan menyatakan diri sebagai pengagum Machiavelli.

Tidak salah memang julukan Michael H. Hart terhadap buku ini. Setidaknya penguasa menemukan legitimasi tekstualnya atas segala bentuk tindakan diktatorialnya lewat buku ini. Karena bagaimanapun juga, politik adalah persoalan kepentingan dan keuntungan. Dan melalui buku ini, para penguasa memperoleh keberpihakan kepentingan dan keuntungan bagi keberlangsungan kekuasaanya. Jangankan hanya memanfaatkan sebuah buku dengan menafsirinya secara sepihak, memanfaatkan undang-undang dan agama demi mengamankan kekuasaanya, dalam politik, adalah wajar-wajar saja. Sebagaimana menurut Machiavelli, agama harus di bawah negara karena mempunyai fungsi politis-pragmatis; untuk mengintegrasikan dan mempertahankan kesatuan negara.

Dalam menjalankan kediktatorialnya, penguasa terlebih dahulu dan paling awal harus mempunyai fondasi kuat. Ibarat membangun rumah, fondasi rumah harus kuat supaya bagian-bagian rumah yang lain kuat dan tak cepat ambruk serta bertahan lama. Syukur-syukur dapat dinikmati anak cucu. Begitu pula dalam membangun negara. Bagi Machiavelli, fondasi negara adalah undang-undang dan pasukan handal (milisi) yang berpihak dan loyal kepada kepentingan penguasa (hlm. 89), serta ditambah rakyat (hlm. 75).

Pasukan yang handal dimaksudkan untuk menjaga, mempertahankan, dan mengembangkan (melakukan ekspansi) negara. Pasukan akan senantiasa berguna untuk mencegah dan mengantisipasi upaya-upaya menggoyahkan kekuasaan dan menghancurkan negara, baik berupa faktor internal, misalnya pemberontakan dari kalangan bangsawan, dan faktor eksternal seperti perang dengan negara lain. Dalam konteks ini, pasukan adalah tangan kanan penguasa untuk melakukan tindakan kekerasan; mengintimidasi, menindas, dan membunuh pemberontak, demi mewujudkan keberlangsungan kekuasaan.

Karena kedudukan pasukan sangat penting dalam negara, penguasa harus pandai-pandai mengambil hati pasukan. Sikap ini bukan berarti merendahkan harga diri penguasa, tapi untuk tujuan lain yang lebih tinggi, penting dan berguna, yakni menjaga loyalitas pasukan dalam mempertahankan kekuasaan penguasa.

Sehingga, reward dan punishment dapat menjadi jalan penguasa mengambil hati pasukan. Bukan hanya pasukan, tapi juga mengambil hati menteri (pembantu penguasa) dan rakyat. Reward (penghargaan) untuk mengapresiasi dedikasi bawahan (pasukan, menteri, dan rakyat). Seperti kata Machiavelli dalam buku ini: “Sang Pangeran (baca: Penguasa), untuk mempertahkan kesetiaan menterinya, menghormati dan memperhatikan kesejahteraanya, melakukan hal yang baik kepada menterinya, dan menghadiahinya ... sehingga ... tidak akan menyebabkan dia (menteri) untuk menginginkan kebesaran dan kekayaan lain, ... (hlm. 163).

Sedangkan punishment (hukuman) adalah untuk pemberontak dan pengkhianat yang mengancam stabilitas kekuasaan. Dengan hukuman dimaksudkan menimbulkan ketakutan di kalangan pemberontak dan pengkhianat, dan kemudian merembet ke yang lain. “Di pihak konspirator (pemberontak dan pengkhianat), tidak ada hal yang paling menakutkan selain ketakutan, kecemburuan, kecurigaan, dan hukuman berat, ... (hlm. 132). Jika sudah merekayasa ketakutan dengan jalan memberi hukuman seberat-beratnya, tidak akan ada seorang pemberontakpun yang berani memberontak (lagi). Karena masyarakat dalam hal ini tidak mungkin berada di pihaknya, bahkan justru menjadi musuhnya.

Di samping itu, penguasa harus dicintai dan ditakuti oleh rakyat. Jika tidak bisa keduanya sekaligus, penguasa mending ditakuti daripada dicintai. Sebab manusia tidak segan-segan membela yang ditakuti daripada yang dicintai. Rasa cinta diikat dengan rantai kewajiban; manusia pada dasarnya egois, maka pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rantai tersebut akan putus, namun berbeda dengan rasa takut yang dipertahankan dengan hukuman-hukuman menakutkan (hlm. 119).

Penguasa harus ditakuti pada satu sisi, dan tidak boleh dibenci dan dihina oleh rakyat pada sisi lain. Jalan yang dapat ditempuh penguasa, misalnya, dengan bertindak tegas, keras dan kejam atas segala tindakan yang menyimpang undang-undang. Nah, disinilah letak fungsional undang-undang untuk mengamankan dan melegitimasi segala tindakan penguasa. Lewat tindakan yang menemukan pembenaran dalam undang-undang, penguasa dapat menarik simpati rakyat atas ketegasannya dan karena ketegasannya pula rakyat merasa takut.

Tapi, pantangan yang harus dihindari penguasa agar tidak dibenci adalah mengambil wanita-wanita dan harta milik rakyat. Sebab manusia lebih mudah melupakan kematian ayah mereka daripada kehilangan warisan dari ayah atau leluhur mereka (hlm. 120). Penguasa juga tidak boleh dihina. Ia dihina apabila tidak memiliki pendirian, sembrono, lemah, penakut, dan tidak tegas (hlm. 130).                
Seperti itu wajah menjadi penguasa yang diktatorial. Ia harus bermuka dua: melakukan kekejaman sekaligus bermurah hati, kasar sekaligus santun, culas sekaligus lurus hati, dsb. Ia juga harus menjaga (atau setidaknya menstabilkan) kepuasan rakyat terhadap pemerintahannya, karena bertautan langsung dengan seberapa lama kekuasaannya. Dengan demikian, menjadi diktator harus dekat dengan rakyat, mengetahui permasalahan rakyat. Intinya adalah merakyat.

Jadilah diktator yang merakyat. Kiranya demikian pesan moral dari Machiavelli. Dalam konteks ini, saya kira, Machiavelli melihat rakyat sebagai suatu yang berbahaya, yang sewaktu-waktu dapat mengancam kekuasaan penguasa. “Pertahanan yang terbaik dapat ditemukan di antara cinta rakyat, karena benteng pertahanan apapun yang Anda (penguasa) miliki tidak akan menyelamatkan apabila dibenci oleh rakyat” (hlm. 153). Rakyat digerakkan oleh kejujuran akan keinginan untuk perdamaian dan minim dari kepentingan-kepentingan kekuasaan. Berbeda dengan pasukan (milisi) dan bangsawan yang tergantung pada negara dan mempunyai kepentingan akan negara.

Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas, melalui buku ini Machiavelli hendak menyampaikan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi kediktatoran. Manusia adalah egois, mementingkan kepentingan yang menguntungkan diri sendiri dan memaksakan kepentingannya dengan segala bentuk paksaan. Semua itu tak terlepas dari Machiavelli sebagai seorang realis; pengalaman sebagai politisi dan negarawan, menjadi dasar refleksinya atas realitas kehidupan politik.


Karya Machiavelli ini harus dilihat sebagai karya yang mendeskripsikan dan merefleksikan dinamika politik secara polos dan jujur. Membaca buku ini seakan-akan kita berada di dalamnya, di Indonesia, dalam percaturan politik yang penuh intrik, tipu muslihat, pencitraan, dan menghalalkan segala cara. Lalu, dengan ekspresi penuh kebingungan yang dilematis: antara terkejut dan heran, antara mengutuk keadaan dan ketidaktahuan untuk berbuat apa, kita mengatakan “Politik itu kotor, ya?” 

Dapat dibaca juga di lsfcogito.org  tanggal 18 November 2015     

Comments