Mistisisme: Mengungkap Kebenaran yang ‘Tak Terungkap’


Pada mulanya adalah mitos, kemudian lahir logos. Dari logos kemudian lahir filsafat dan ilmu pengetahuan lain. Logos –sejauh dipahami sebagai nalar atau rasio— dituahkan, menyingkirkan mitos. Dengan logos, manusia menafsiri alam secara berbeda; mencari archè, prinsip pertama realitas dengan tidak menyandarkan pada dewa-dewa. Kita mengenal Thales dengan dunia Air-nya, Anaximandros dengan to apeiron-nya, pertentangan antara Heraklitos dengan pantha rei kai uden menei-nya dan Parmenides dengan dunia statis-nya, dan lain sebagainya. Habis mitos, terbitlah logos, begitulah kira-kira.

Dengan logos pula, kehidupan manusia dinamis, berkembang. Terciptalah mesin-mesin dan teknologi yang ditujukan mempermudah kehidupan manusia. Dan dari logos pula, kehidupan manusia disibukkan dengan kebenaran yang tidak puas hanya diyakini saja. Manusia mencari kebenaran, menemukannya, dan meskipun ujung-ujungnya diyakini juga. Tidak sebatas diyakini, kebenaran dipertentangkan dengan kebenaran lain, maka terjadilah gesekan, perselisihan, kemudian perang yang memusnahkan manusia, sang pencari sekaligus penemu kebenaran.

Jika ujung dari kebenaran adalah “menyingkirkan” manusia, bukankah kebenaran itu mitos belaka: tentang ‘siapa’ pemilik hak prerogatif kebenaran dan kebenaran macam ‘apa’ yang sesungguhnya benar. Di balik kebenaran, sebenarnya ada logos sekaligus mitos yang bercokol. Bahkan andai hendak ‘diprosentasekan’, mitos mempunyai proporsi lebih ketimbang logos. Dalam konteks ini, mitos diasosiasikan dengan misteri, ketakterungkapan.

Ya, mitos, misteri, dan (kemudian) mistisisme adalah “sebelas-dua belas”, mirip. Berasal dari bahasa Yunani musteion, yang artinya menutup mata atau mulut. Ketiga kata tersebut berakar  dalam pengalaman tentang kegelapan dan kesunyian [1]. Dalam perkembangannya, ketiga kata tersebut dikonotasikan secara negatif. Kadang diartikan kebohongan; misalnya politisi atau pejabat yang diberitakan korup akan membela diri dengan mengatakan “itu hanya mitos belaka”. Kadang juga diartikan dengan dunia lain (ghaib), semacam takhayul dan klenik dalam terminologi Jawa.

Sekarang, lupakan tentang mitos, karena mitos tetaplah mitos, penuh misteri dan hal-ihwal ketakterungkapkan. Mari merapat kepada kebenaran yang manusia telah memastikan dan meyakini keberadaannya. Walaupun ujung-ujungnya adalah misteri. Manusia hanya bisa merapat kepada kebenaran. Merapat serapat-rapatnya, hingga tak ada celah. Saat celah itu tiada dan manusia menyatu dengan kebenaran, disitulah kiranya akhir dari kehidupan.

Dalam urusan rapat-merapat, manusia (setidaknya) telah ‘menemukan’ tiga teori tentang kebenaran. Sebagaimana sudah dipaparkan panjang lebar oleh Nanang dalam diskusi sebelumnya. Sebagian orang (pertama) menganggap kebenaran adalah kesesuaian (kecocokan) antara apa yang ada dalam pikiran (subjek) dengan kenyataan objektif yang di luar pikiran. Inilah yang disebut Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth).

Sebagian orang (kedua) menganggap kebenaran merupakan penalaran rasional yang mengharamkan inkonsistensi atau kontradiksi proporsi dalam konsep. Teori ini disebut Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth). Sebagian orang (ketiga, terakhir) juga ‘mengkonsepkan’ kebenaran, namun sangat berbeda dengan teori yang pertama dan kedua. Sebagian orang ini menegasken bahwa kebenaran ditentukan oleh akibat praktisnya, terutama kebermanfaatannya. Kebenaran adalah kemanfaatan atau kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat-akibat yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini diberi nama Teori Pragmatik (Pragmatic Theory of Truth).

Begitulah kebenaran. Banyak orang telah merapat kepada kebenaran dengan jalan pendekatan yang sedemikian rupa. Tapi apakah kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran dikenal, diketahui ataukah ditemukan? Kebenaran absolut masih menjadi mitos dan misteri, masih belum terungkap atau (setidaknya) belum diketahui. Ketika kebenaran absolut masih misteri, satu-satunya jalan, saya kira, menuntut keterlibatan subjek, dengan subjek yang mengalami. Dan bukan pengalaman biasa, tapi pengalaman di luar kebiasaan yang mengatasi kebertubuhan manusia. Pengalaman itu, bagi saya, adalah jalan mistisisme atau dalam terminologi Islam, jalan sufisme. Tentu terlebih dahulu harus mengetahui landasan ontologis-metafisiknya.   

Jalan Mistisisme

Berbeda dengan ketiga jalan (teori) mainstream di atas, jalan mistisisme adalah perjalanan perlahan-lahan menuju kebenaran absolut. Tidak sekedar menuju, tapi menuntut kehadiran dan atau kesatuan dengan kebenaran absolut. Dalam perjalanan secara perlahan-lahan tersebut, biasanya, seorang mistikus –sapaan akrab pelaku jalan mistisisme— ditemani dengan kondisi keheningan dan kesunyiaan untuk mencapai ekstase.

Laku mistikal bukan laku ala kadarnya. Laku ini berangkat dari kepercayaan mendasar (basic belief) –bisa juga disebut landasan ontologis-- tentang kebenaran absolut. Yakni, Tuhan bagi kalangan mistiskus-agamawan atau to hen (Yang Esa) bagi Plotinus; yang akan diuraikan secara khusus pada bagian selanjutnya, atau realitas tertinggi, semacam idée fixe. Dan sudah sepatutnya, jalan mistisisme mempunyai tempat di dalam agama-agama. Bukankah agama adalah ruang di mana mistik dan sejenisnya tumbuh subur; karena memang agama diawali oleh pengalaman mistik. Kita tahu bagaimana ‘pengalaman mistis’ Musa menerima Taurat dari Tuhan di Gunung Sinai dan Muhammad menerima wahyu pertamanya saat menyepi di Gua Hira.

Dari landasan ontologis tersebut, para mistikus mulai berjalan langkah demi langkah, menelusuri jalan setapak untuk mendekati realitas tertinggi; mengharap kehadiran-Nya atau menyatu dengan-Nya. Tidak heran jika dalam perihal dekat-mendekati terdapat perbedaan jalan atau cara yang ditempuh di kalangan mistikus. Dan perbedaan ini tidak menjadi persoalan, apalagi perselisihan atas nama Tuhan yang berujung pada kekerasan fisik sebagaimana akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, bumi kita tercinta.

Katakanlah bagaimana Al-Hallaj, junjungan mistisisme dalam Islam, dihukum mati lantaran pernyataan fenomenalnya “Ana Al-Haqq” dan dia sendiri tidak membenci orang-orang yang menghukumnya. Bahkan dia memohon ampunan kepada Allah teruntuk mereka (orang-orang), sebagaimana tercermin dalam puisi yang ditulis menjelang kematiannya:
“Dan hamba-hamba-Mu ini berkumpul untuk membunuhku, dalam semangat membela agama-Mu dan ingin mencapai keridaan-Mu, ampunilah mereka, ya Allah, dan kasihanilah mereka; sebab jika sekiranya Engkau telah menampakkan kepada mereka apa yang telah Engkau tampakkan kepadaku, mereka tak akan melakukan apa yang telah mereka lakukan; dan sekiranya Engkau telah bersembunyi dari mereka, tentu aku tidak akan merasakan penderitaan ini. Kemudian ada pada-Mu dalam apapun yang Engkau lakukan, dan kemuliaan ada pada-Mu dalam apapun yang Engkau kehendaki. [2]
Begitulah perbedaan disikapi sebagai bukan persoalan oleh para mistikus. Sebab laku, jalan atau cara yang berbeda itu, pendefinisian mistisisme menjadi persoalan. Dengan kata lain, tidak ada definisi yang pas nan representatif tentang mistisisme. Seperti yang diungkapkan Gershom G. Scholem: “Terdapat beragam definisi mengenainya (mistisisme) yang hampir sebanyak jumlah penulisnya”[3].

Meskipun tidak mungkin menemukan definisi yang representatif, apalagi komprehensif, tentang mistisisme, saya coba untuk menghadirkan definisi-definisi yang telah diutarakan oleh baik mistikus sendiri dan para filsuf [4]. Dari definisi-definisi yang ada, harapannya dapat dikemukakan titik temu, semacam ‘kesepakatan’, yang dikehendaki.

Definisi yang pertama datang dari seorang teolog Inggris dan ketua Katedral St. Paul di London, William Ralph Inge, yang mengatakan bahwa inti terdalam dari mistisisme adalah “kesadaran akan realitas Yang Melampaui, Yang Maha” (consciousness of the beyond) yang tampak sebagai suatu prinsip yang independen. Definisi berikutnya dari filsuf Amerika, William James (1842-1910). James tidak mendefinsikan mistisisme secara eksplisit, dia menjelaskan tentang apa yang disebut “situasi pengalaman mistis”. Menurutnya, ada empat ciri suatu pengalaman dikatakan pengalaman mistis, yaitu: (1) tidak terbahasakan (ineffability), (2) kualitas bermuatan intelektual (noetic quality), (3) sifat sementara (transciency), dan (4) kefasifan (passivity).

Berbeda dengan James, Evelyn Underhill (1875-1941), seorang penulis berkebangsaan Inggris yang karyanya populer tentang mistisisme, mengkritik empat kriteria James dengan memajukan argumentasi bahwa mistisisme harus dilihat sebagai suatu proses organik, kecenderungan fitrah jiwa manusia, dan sebagai intuisi atau pengalaman langsung akan Tuhan.

Definisi yang terakhir, saya ambil dari pendapatnya Bernard McGinn bahwa mistisisme sebagai perjumpaan Tuhan-manusia, semua yang membawa dan mempersiapkan terjadinya perjumpaan tersebut, serta segala yang mengalir dari pertemuan tersebut.

Berdasarkan definisi-definsi mistisisme di atas –walaupun tak semuanya memajukan definisi, tapi sekedar menjelaskan kriteria “situasi pengalaman mistis”— dapat ditarik benang merahnya bahwa mistisisme erat kaitannya dengan realitas tertinggi, realitas Yang Melampaui, pengalaman intuitif, perjumpaan, kehadiran, dan penyatuan dengan Yang Esa serta –meminjam istilahnya Baron Friedrich von Hügel— emosional-intuitif (intuitiveemotional) yang menuntut lebih untuk pengalaman (experience) daripada pemahaman (understanding).

Dengan demikian, mistisisme adalah proses organis kehidupan atau jalan hidup yang mengekspresikan kesadaran langsung akan kehadiran Tuhan; pertemuan antara Tuhan dan manusia, antara Infinite Spirit dan Definite Spirit, dan persatuan dengan Tuhan, penggabungan dengan Tuhan yang konsekuensinya berupa peniadaan identitas personal kebertubuhan.

Selain itu, mistisisme juga dipenuhi dengan metafor-metafor semacam visions (penyaksian atau penglihatan) dan locutions (pendengaran) fenomena-fenomena gaib, serta situasi kegembiraan, keterpesonaan batin (raptures) dari esensi perjumpaan dengan Tuhan [5]. Dan yang tak kalah penting adalah apakah perjumpaan dengan Tuhan hanya sekedar mengharap kehadiran (presence) Tuhan atau penyatuan (union) dengan Tuhan.

Terkait dengan persoalan kehadiran dan penyatuan dengan Tuhan, telah banyak mistikus ‘mengalaminya’, terutama penyatuan dengan Tuhan. Terdapat deretan nama; ada Al-Hallaj dengan Anna Al-Haq-nya, Syekh Sitti Jenar dengan Manunggaling Kawula lan Gusti-nya, dan Plotinus dengan henosis-nya. Dalam tulisan ini, hanya penyatuan dengan to hen ala Plotinus yang akan dipaparkan.

Dengan mistisisme, kebenaran absolut tidak sekedar amat-begitu dekat dengan subjek, karena diri subjek adalah kebenaran absolut itu sendiri.

Mistisisme Plotinus: ‘Menyingkap’ Tabir Kebenaran

Jalan mistisisme Plotinus harus dikembalikan kepada pandangan ontologisnya. Menurut Plotinus, yang-ada adalah to hen (the One) yang diberi arti Yang Esa atau Satu. Yang Esa adalah tak berbentuk (amorphon), tak terbatas (apeiron), aktualitas sempurna (energeia), dan ‘kekuasaan’ tertinggi (dunamis) [6]. Yang Esa menjadi penyebab universal keberadaan segala sesuatu.

Untuk menyebabkan keberadaan lain, Yang Esa melakukan aktivitas memikirkan dirinya sendiri (energia menousa), sehingga lahirlah nous yang diartikan sebagai Intelek [7]. Intelek sendiri merupakan penampakan Yang Esa. Sebagaimana Yang Esa melahirkan Intelek, Intelek juga melahirkan Soul, Jiwa.

Jiwa sendiri dibagi menjadi dua: Jiwa Universal (psychè) dan Jiwa Individu (physis). Kedudukan psychè lebih tinggi daripada physis.[8] Dan materi (hylè) ada pada physis. Dalam hal ini manusia terdiri dari jiwa dan materi, sehingga tidak dapat mengetahui Yang Esa. Semakin jauh dari sumber utama, Yang Esa, kualitas ‘sesuatu’ jauh dari kesempurnaan.

Begitulah konsep hirarki realitas atau hypostasis menurut Plotinus –Yang Esa, Intelek, dan Jiwa. Proses menurun --dari Yang Esa melahirkan Intelek, Intelek melahirkan Jiwa— disebut emanasi atau procession (prodos). Dan ‘tugas’ manusia adalah kembali kepada (dan menyatu dengan) Yang Esa. Proses kembali kepada Yang Esa ini disebut conversion (epistrophē). [9]

Epistrophē adalah proses yang harus ditempuh manusia dengan jalan pembebasan dari material. Sebagaimana Plato, Plotinus juga menganggap tubuh adalah penjara bagi Jiwa untuk menuju Yang Esa. Jalan pembebasan ini (katharseis) dapat dilakukan dengan refleksi filosofis, meditasi spritual, dan melakukan kebajikan untuk meraih intelek keilahian.

Ibarat senggama, katharseis adalah melepaskan segala atribut yang melekat pada tubuh –bisa pakaian, perhiasan, atau kondom sekalipun— yang dirasa dapat menganggu perjalanan senggama dan mengurangi kenikmatan orgasme. Sehingga, yang ada hanyalah penyatuan ‘dua’ menjadi ‘satu’; Tuhan-manusia.

Dalam konteks Plotinus, dunia indera (materi) dijadikan bahan refleksi untuk pendakian (anagoge dalam istilah tradisi Platonik) menuju Nous atau Intelek. Terdapat kesadaran dan –meminjam istilahnya Anton Bakker-- metode intuitif yang turut serta dalam pendakian. Ketika ‘kesadaran’sadar akan Nous sebagai entitas abadi, maka tidak ada lagi Jiwa; yang ada hanyalah Intelek [10].

Semua itu (pendakian dan kesadaran spritual serta metode intuitif) bukanlah perjalanan teoritis yang menuntut suatu penalaran rasional, melainkan suatu pengalaman (praksis) yang meniscayakan keterlibatan kesadaran dan imajinasi aktif sehingga dapat bertransformasi menjadi intelek keilahian dan menyatu dengan Yang Esa (henosis).

Dengan demikian, jalan mistisisme, dalam kacamata Plotinus, adalah kembali kepada dan menyatu pada Yang Esa, bukan mendeskripsikan realitas. Plotinus ‘mengungkap’ kebenaran dengan ‘menyingkap’ tabir kebenaran, yakni kebertubuhan, atribut kebendaan, dan  hal-ikhwal duniawi. ‘Menyingkap’ dengan mengalami penyatuangdengan Yang Esa, dan mengungkapkannya dalam simbol-simbol.

Penutup

Misitisisme adalah jalan menuju kebenaran absolut. Sebagaimana jalan menuju suatu tujuan (telos), ia berupa macam-macam; ada yang ‘sekedar’ mengharap kehadiran-Nya dan ada yang menyatu denga-Nya. Dan Plotinus adalah seorang mistikus sekaligus filsuf yang memilih nomer dua; penyatuan dengan-Nya (henosis). Jalan mistisisme Plotinus ini mempengaruhi laku mistisisme di agama-agama besar dunia –Kristen, Yahudi, dan Islam.

Akhirnya, jika anda tertarik dengan dunia mistisisme dan hendak menjadikannya laku keseharian, datanglah kepada Yai Taufiq yang saat ini sedang ‘menempuh’ sekaligus ‘mengampu’ matakuliah ‘ekstase-sunyi’ di kahyangan sana. Datangilah Beliyau, karena sesekali turun ke bumi; mencari makan dan ikut menyiapkan masakan di kantin filsafat ugm setiap sore. Sebagaimana pelayanan hotel di bintang lima, pelayanan Yai Taufiq untuk belajar jalan mistisisme sangat memuaskan. Dijamin tidak mengecewakan!

Catatan Akhir

[1] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2013), hal 323
[2] Ibid. hal. 348
[3] Saeed Zaraabizadeh, Mendefinisikan Mistisisme: Sebuah Tinjauan atas Beberapa Definisi Utama, (Jurnal Kanz Philosophia, Vol. 1 No. 1 Agustus-November 2001), hal. 93-109
[4] Semua definisi para tokoh tersebut diadabtasi dari Saeed Zaraabizadeh, Op.Cit. hal. 93-109
[5] Bernard McGinn, The Foundations of Mysticism, (New York: The Crossroad Publishing Company, 1992), hal. Xvii
[6] Agil Uždavinys [Ed.], The Heart of Plotinus, (Indiana: World Wisdom, 2009), hal. 22
[7] Bernard McGinn, Op.Cit. hal. 50
[8] Ibid. hal. 46
[9] Ibid.
[10] Agil Uždavinys [Ed.], Op.Cit. hal. 31  

Comments