Menjemput Jodoh di Kongres HMI

Suasana seremonial pembukaan kongres HMI.
Dibuka langsung oleh Jusuf Kalla, Wapres sekaligus alumni HMI.
Lupakan tentang catut-mencatut nama presiden dan wakil presiden. Lupakan juga tentang tragedi kemanusiaan di Paris. Kini, semua mata, hati dan ingatan tertuju ke Pekanbaru Riau. Ke Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang banyak dikecam oleh netizen karena menggunakan dana APBD Provinsi Riau sebesar 3 miliyar. Sementara dana untuk penanganan asap di provinsi yang sama tidak sebesar itu.

Selain itu, tingkah dan tindakan berulah dari kader-kader HMI yang menjadi penggembira di kongres tersebut. Mulai dari ricuh melawan petugas untuk memaksa naik kapal, makan di warung tidak bayar --meskipun akhirnya dibayar juga oleh kakanda, hingga aksi demonstrasi dengan memblokade jalan disertai juga pengrusakan beberapa fasilitas umum di sekitar arena kongres karena tak dapat penginapan.

Semua kejadian tersebut mewarnai kongres HMI di Riau. Juga mewarnai berita di media online yang lalu dishare di media sosial laiknya fesbuk dan twitter. Selanjutnya menjadi bola liar yang diberdebatkan. Ada yang mengecam. Ada juga yang memuji dan menganggapnya wajar-wajar saja, karena sekelas HMI gitu lho memang pantas menerima dan bertindak seperti itu. Seperti apa? Ya seperti itulah.

Sebagai kader bau kencur dan bau kentut, saya juga menganggap semua yang diterima dan dilakukan HMI di kongres Riau merupakan hal yang lumrah-lumrah saja. Tak peduli kalian menganggap saya sebagai antek-antek kaum elite yang menyetujui kucuran dana lebih untuk kongres HMI selama 5 (lima) hari ketimbang dana untuk penanganan kebakaran hutan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, bahkan selamanya. Yang jelas saya mah setuju-setuju saja.

Man-teman, duduk perkaranya begini. Kongres adalah forum tertinggi organisasi hijau hitam ini. Segala kebijakan kedepannya ditentukan dan diputuskan di sini. Karena bersifat forum tertinggi dan penentu organisasi, bahkan Endonesa, ke depannya, maka semua kader berkumpul di sini. Dari Sabang sampek Merauke. Mulai yang Islamnya kaffah, hingga yang Islamnya “kadang-kadang”: kadang sholat kadang tidak, kadang ingat Tuhan kadang tidak ingat sama sekali, kadang pakek doa Qunut kadang tidak, kadang ziarah kubur kadang tidak.

Tidak hanya itu, kongres juga diisi oleh orang-orang yang berideologi berbeda. Ada yang liberal, ada juga yang radikal. Ada yang setengah kapitalis, ada juga yang setengah komunis. Semuanya ada. Perbedaan tidak menjadi soal.

Juga, yang tak kalah penting adalah kongres sebagai ajang menjemput jodoh. Karena saya haqqul yakin sebagian besar dari peserta kongres adalah jomblo alias masih meraba-raba pasangan. Kalok tidak percaya, tanyain aja mereka satu-satu. Alurnya seperti ini: kenalan-pedekate-jadian, kemudian nikah dan punya anak. Lalu, anaknya dimasukin ke HMI.

Jadi, saya kira wajar-wajar saja kongres berjalan rada-rada “repolusioner” seperti itu. Bukan niat untuk kisruh, kacau sehingga merusak fasilitas umum. Bukan pula engguyoni pemilik rumah makan dengan tidak membayar, toh sama kakanda udah dibayarin. Bukan itu persoalannya. Adalah eksistensi diri bro, untuk memikat lawan jenis.

Bukankah kalian juga pernah melakukan tindakan di luar logika saat mengincar lawan jenis? Nah, seperti itulah kira-kira posisi ulah kader-kader HMI di kongres Riau. Cobalah kalian sekali-kali merasa menjadi orang lain sebelum berkomentar di media sosial. Biar tahu rasanya dikomentari, dikecam, dan disalah-salahkan. Sakitnya tuh di sini!

Mendukung kongres HMI dengan segala dinamikanya berarti turut berpartisipasi mengurangi angka orang jomblo di bangsa ini.

Hanya orang-orang yang sinis dan iri saja yang menganggap tingkah kader-kader itu tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Juga para reporter yang memberitakannya baper melihat kader HMI menampakkan eksistensi diri untuk memikat lawan jenis. Jangan-jangan reporternya juga jomblo.


Lantas, yang 3 (tiga) miliyar gimana? Ya, lumayanlah buat modal nikah.

Comments