Gus Dur dan Keberpihakan pada ‘Yang Lemah’


Tindakan diskriminatif masih sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sederet tragedi dapat kita sebutkan dengan lancar karena masih hangat untuk dibicarakan. Seperti kerusuhan di Tolikara Papua, konflik di Aceh Singkil, dan beberapa konflik agraria; misalnya konflik lahan di Urut Sewu, Rembang, Kulonprogo, serta pembunuhan aktivis Salim Kancil di Lumajang. Terlepas dari motif-motif yang ada di balik konflik tersebut --baik konflik yang murni agama atau kepentingan pribadi/golongan--, semua itu sangat disayangkan.

Disayangkan karena dapat memicu perpecahan di negara yang telah mendakwakan diri sebagai negara kesatuan ini. Mungkin tidak sebatas perpecahan, ada akibat lain dari konflik sebelum memuncak pada perpecahan. Katakanlah tragedi kemanusiaan yang berdarah-darah. Dalam konteks ini, kesatuan adalah sebuah keniscayaan.

Kesatuan dalam arti ke-Indonesia-an bukan berarti meleburkan batas-batas perbedaan yang ada menjadi satu-kesatuan. Kesatuan meniscayakan penghormatan dan penghargaan terhadap keberagaman atau perbedaan. Inilah yang dimaksud semboyan negara kita, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Sehingga ketika terjadi tindakan diskriminatif terhadap kelompok atau golongan minoritas atau yang lemah, hal ini sangat disayangkan. Karena tindakan diskriminatif tidak mencerminkan Bhineka Tunggal Ika yang meletakan perbedaan bukan suatu permasalahan, melainkan kekayaan yang berharga.

Kiranya sangat jelas posisi Abdurrahman Wahid –yang akrab disapa Gus Dur— dalam kerangka kesatuan bangsa, Bhineka Tunggal Ika, dan diskriminasi atas yang lemah. Ya, Gus Dur adalah pembela kaum lemah, lebih tepatnya kaum tertindas; ditindas oleh tirani mayoritas yang sewenang-wenang.

Keberpihakan Gus Dur terhadap ‘yang lemah’ dapat dilacak melalui tulisan-tulisan, sikap dan laku kesehariannya. Misalnya sikap Gus Dur terhadap peristiwa 1965 dengan mengedepankan sisi kemanusiaan. Ia menggulirkan wacana pencabutan TAP MPRS XXV/1966 yang melarang ideologi komunisme di Indonesia. Ia juga meminta maaf kepada korban peristiwa 1965, karena menurutnya, bagaimanapun juga peristiwa 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang tidak boleh terulang di masa selanjutnya.

Sikap yang lain adalah ketika Gus Dur meresmikan Konghucu sebagai agama yang syah di Indonesia. Bagi Gus Dur, dalam negara demokrasi, kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing dijamin oleh undang-undang. Dan warga Tionghoa –yang sebagian besar beragama Konghucu— adalah warga negara yang memiliki hak untuk beragama dan menganut kepercayaannya masing-masing.

Dalam hal agama, Gus Dur sendiri tidak mempersoalkan agama seseorang, sebagaimana termaktub dalam perkataannya yang sangat fenomenal: “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu,  kalo kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, karena orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Gus Dur juga menjalin hubungan yang harmonis dengan tokoh lintas agama, seperti dalam tulisannya berjudul Perjalan Romo Yang Bijak dalam buku Gus Dur: Menjawab Perubahan Zaman, yang memuat perjumpaan Gus Dur dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong di Bali.

Begitulah Gus Dur. Keberpihakannya terhadap kaum lemah atau tertindas yang berlandaskan kemanusiaan, keadilan, dan kesataran akan selalu dikenang, dipahami, diteladani, dan dikontekstualisasikan sesuai dengan perubahan zaman. Dan keberpihakan terhadap kaum lemah atau tertindas, harapannya, menemukan kiblatnya pada Gus Dur dan memasyarakatkan dengan kondisi sosio-kultural yang ada.

Comments