Bela Negara dan Latihan Setia
![]() |
Sumber foto: halopancasila.wordpress.com |
Sejak dicanangkan,
kemudian dilaksanakan untuk gelombang pertama pada 19 Oktober 2015 lalu, saya
termasuk orang yang setuju-setuju saja dengan Bela Negara. Gimana gag setuju wong udah diketok palu oleh Presiden
Jokowi. Ya meskipun dalam pelaksanaannya agak kocar-kacir. Maklum lah
Kementrian Pertahanan –sebagai penanggung jawab Bela Negara-- kan juga manusia.
Tak terlepas dari salah dan dosa. Al-insan
mahallul khotho’ wan nisyan, kira-kira
begitulah bunyi dalil tentang manusia yang senantiasa khilaf(ah!).
Banyak orang, terutama
para aktivis pro-demokrasi, menolak kebijakan Bela Negara ini. Alasannya ya Militerisme
Gaya Baru (MGB). Tapi banyak juga yang mengapresiasi kebijakan ini.
Bahwa Bela Negara bermanfaat untuk meningkatkan kedisiplinan, rela berkorban,
dan cinta tanah air.
Terlepas dari
pro-kontra, saya kok melihat Bela
Negara ini adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan kesetiaan pasangan: baik
pasangan muda-mudi, pasangan suami-istri (pasutri), bahkan juga pasangan
kakek-nenek. Ini lah yang dinamakan maksud dalam selimut. Ada rahasia
tersembunyi di balik Bela Negara.
Persisnya begini. Anda
tau tentara kan? Kelewatan banget jika tidak tahu. Tentara itu paling loyal nan
setia kepada negara. Apa kata negara dilaksanakan. Tidak pernah membantah.
Disuruh membunuh ya membunuh. Tidak kayak orang-orang komunis itu;
disuruh kerja, malah demonstrasi mau ngudeta. Juga tidak kayak kaum sepilis
yang senantiasa berbicara kehendak bebas di mana-mana.
Dari saking setianya,
tentara rela mati demi mempertahankan kedaulatan negara ini. Lihatlah
slogannya: NKRI Harga Mati! Sangat nasionalis, bukan?
Nah,
kesetiaan tentara itulah yang ditangkap oleh Presiden Jokowi dan Kementrian
Pertahanan: bagaimana mungkin tentara se-setia itu, sementara di mana-mana
banyak pasangan muda-mudi putus-nyambung-putus dan pasutri cerai-berai. Maka dilihatlah
pola pendidikan tentara.
Begitulah kira-kira
asal-muasal kebijakan Bela Negara yang dianggap militeritik itu. Padahal nyatanya
enggak kok. Bela Negara untuk melatih manusia Indonesia agar setia kepada
pasangannya.
Dengan Bela Negara,
harapannya mengurangi, meminimalisir, bahkan meniadakan per-putus-an di
kalangan pasangan muda-mudi dan penceraian pasutri. Sehingga yang pasangan
muda-mudi dapat melanjutkan ke ranjang yang lebih tinggi, yakni pernikahan. Dan
yang pasutri dapat awet sampek kakek-nenek, syukur-syukur berpasangan juga di
syurga.
Minimnya tragedi
per-putus-an dan penceraian juga berdampak pada berkurangnya tindakan immoral.
Katakanlah begini. Tidak sedikit orang yang putus atau cerai berujung pada
stress. Ke-stress-annya kadang dilampiaskan pada tindakan immoral, seperti
mabuk-mabukan, jajan di Sarkem, bahkan sampai ada yang bunuh diri. Tindakan
tersebut –kata Bang Haji Romo—sungguh ter-la-lu! dan so pasti tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Tidak hanya itu, dengan
Bela Negara dapat mengurangi angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
selama ini menjadi momok bagi bangsa ini. Bela Negara melahirkan
manusia-manusia setia. Dalam kata ‘setia’, tidak ada kekerasan, yang ada
hanyalah kasih sayang, saling mencintai, disiplin waktu dan pastinya rela
berkorban. Intinya: ngapain pakek kekerasan, kalok pakek lemah-lembut udah mau
dan lebih asyik.
Selain itu, Bela Negara
adalah salah satu cara mengimplementasikan peribahasa “mencegah lebih baik
daripada mengobati” yang selama ini hanya jadi jargon. Mencegah ‘sakit hati’
dengan latihan mental setia itu lebih baik daripada menyesal di kemudian hari
karena tidak menemukan obat.
Akhirnya, salut buat
Pak Jokowi beserta Kementrian Pertahanan dengan tentara setianya. Bagi Anda,
tidak ada kata lain selain ikut Bela Negara. Partisipasi Anda dalam Bela Negara
menentukan kesetiaan Anda pada pasangan. Ingat itu!
Dimuat pertama kali di jombloo.co pada 02 November 2015
Comments
Post a Comment