Untuk Trètran


Berangkat ke Jogja, bukan untuk menjadi Jogja. Datang ke Jogja, bukan untuk menjadi istimewa seperti Jogja; kemudian mengistimewakan diri; kemudian sendiri, terasing, dan asing.

Datang untuk kembali. Sebagaimana pergi supaya pulang. Tidak dengan hampa, kekosongan dan kealpaan.

Saat datang dengan tekad, kembalilah dengan tekad yang telah kau lumuri senja di Parangtritis. Saat pergi dengan semangat, pulanglah dengan semangat yang sudah kau campur dengan asap pekat Malioboro.

Ketika datang membawa tapè, kembalilah dengan tapè yang telah kau inapkan di Gudeg Yu Djum, Bakpia Pathok 25, Walang dan Tiwul di Jalan Wonosari, Telo di Bantul. Ketika pergi dengan sangu Singo Ulung, pulanglah dengan sangu lebih; dengan singa tak makan sesama, dengan singa buwono.

Di Jogja, kita ingin mendengar bebunyian. Petuah dosen di kelas, alunan dangdut koplo di alun-alun kidul, desir ombak Gunung Kidul hingga hembusan angin rindu Kaliurang.

Di Jogja, kita ingin melihat tanda-tanda. Yang berserakan di merapi-tugu-kraton. Juga di Pasar Kembang, Parangkusumo, dan Giwangan.

Di Jogja, kita ingin membeda. Antara Honda dan Yamaha; antara motor dan mobil; antara Gerbong Maut dan Tugu. Dan akhirnya, antara Bondowoso dan Jogja, dan Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, Sleman.

Dan di FKMBY, kita berkumpul. Bukan sekedar kumpul. Juga bukan sekedar ngopi bagi yang ndoyan ngopi dan ngeteh bagi yang ingin berhemat. Kita berkumpul dengan keyakinan bahwa masih ada masa depan dengan setumpuk harapan; harapan untuk kampung halaman. Setauku begitu.

FKMBY adalah keluarga. Selayaknya keluarga, ayah tidak ingin jadi ibu. Ibu tak ingin jadi ayah. Anak tak berkeinginan menggeser posisi ayah-ibu. Harmonis. Kebersamaan. Ada cinta-kasih. Semacam cinta untuk cinta itu sendiri. Bukan untuk mengatur, mendominasi, meng-aku-kan ‘aku’. Tak ada pamrih. Apalagi modus. Ikhlas dan ridho, begitulah kata ustadz di tipi-tipi.

Sebagai orang baru yang pernah ngopi di Mato, nge-es di Pujale, dan ngankring di Klebengan bersama trètan Bondowoso, saya mohon maaf tak bisa menemani trètan sekalian menikmati hangatnya api unggun, putihnya pasir, dan riak gelombang air laut. Sekali lagi mohon maaf.

Dan tulisan ini --entah kau menyebutnya puisi, cerpen, esai, atau bahkan makalah-- adalah permintaan maafku sekaligus kehadiranku. Dan yang perlu diingat dan diperhatikan baik-baik, tulisan ini tidak mengandung unsur modus. Jika kau menganggap tulisan ini modus, itu suatu nilai plus bagiku. Entah itu plus saja atau plus-plus. Modus plus-plus maksudnya.

Aku ucapkan: selamat datang di Jogja, di FKMBY, bagi yang baru datang. Bagi yang sudah lama, temani mereka, yang baru, jogging di GSP dan main-main ke sunmor. Jika jogging di GSP, saranku, luruskan niat dulu untuk semata-mata jogging, menjaga kebugaran dan kesehatan. Jika di sunmor, jangan beli-beli ya karena mahal-mahal. Oh ya, satu lagi, kalau sudah di GSP atau di sunmor, tolong sempatkan mampir ke kampusku, fakultas filsafat. Kali aja ketemu aku, juga Mas Iqbal.

Blunyahrejo, 10-10-2015, 1:44
Melfin Zaenuri         

Comments