Rambut
Bulu hidung juga rambut. Sumber foto: bersosial.com |
Jujur, saya masih ngeh dengan judul tulisan ini, rambut.
Tidak tau, tidak paham, dan tidak-tidak yang lain. Serta tidak tahu mau menulis
apa. Rambut, begitu dekat dan melekat, tapi bak kabut pekat di Pekanbaru Riau.
Sulit diterawang (baca: dideskripsikan). Jangankan dideskripsikan,
diimajinasikan saja masih itu-itu saja
yang hadir. Itu apa? Itu rambut pastinya.
Mungkin dari saking
dekatnya dengan kita, rambut sulit (bahkan mungkin tak bisa) diungkapkan dengan
kata-kata. Semacam cinta diujung anu.
Semacam orgasme yang kenikmatannya tak bisa diwakilkan dengan kata-kata.
Katanya sih begitu. Cukup kita, para
rakyat saja, yang diwakilkan oleh wakil rakyat.
Saya kehilangan akal.
Pikiran mandek. Imajinasi mampet. Bagi saya, lebih baik menulis hal-hal besar
seperti komunisme, kapitalisme, demokrasi, dan agama serta isme-isme yang lain,
daripada menulis hal-hal yang sederhana laiknya rambut. Rambut, kiranya hal-hal
sederhana lain, cukup dipegang dan diraba-raba. Karena memegang dan meraba-raba
(juga menunjuk) rambut adalah jalan pendefinisian yang shohih dan efektif. Cara ini, dalam pendefinisian sesuatu dikenal
dengan istilah ‘teknik definisi ostensif’. Yakni, mendefinisikan sesuatu dengan
cukup menunjuk sesuatu itu.
Tapi toh, meskipun saya ngeh dan tidak tahu, mau tidak mau saya harus menghasilkan tulisan
tentang rambut. Supaya dapat nongkrong di
warung kopi dengan bergelas-gelas kopi dan berbatang-batang rokok gratis.
Sehingga, jalan yang saya tempuh adalah bertanya kepada teman-teman. Teman-teman
yang saya tanyakan ini tidak hanya berlatar belakang ras, suku, dan asal yang
berbeda-beda, tapi juga gaya rambut yang hampir tidak ada kemiripan. Hanya saja
sangat disayangkan, warna rambutnya sama: hitam.
Ada yang berambut rapi ala pegawai kantoran. Ada yang model
keriting-berombak (curly) mirip Ahmad
Albar. Dan juga ada yang tidak berambut alias gundul serupa tuyul, eh tentara ding. Semuanya saya tanyain. Pertanyaan yang saya sodorkan adalah:
apa yang terlintas di benak kamu jika saya menyebut kata ‘rambut’. Berbagai
jawaban spekulatif ditebarkan. Kira-kira beginilah ringkasan jawabannya.
Orang yang saya
tanyakan pertama kali berinisial (baca: dipanggil) Haidar, meskipun nama
absennya adalah Muhammad Fikri. Seorang yek
blasteran arab dan jawa. Beliou --agar tidak cangkolang-- asli Cirebon. Walaupun seorang yek, jawaban yang diberikan tidak kearab-araban. Kata beliou,
rambut dan kepala adalah sesuatu yang identik. Itu saja jawabannya. Sangat irit
kata-kata. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa logika khas Aristotelian, maka jadi begini: rambut adalah kepala; dan
kepala adalah rambut. Namanya Prinsipium Identitas, sesuatu identik dengan
sesuatu itu sendiri. Sangat menarik nan membingunkan, bukan?! Ya, dimaklumi sajalah, wong yek kok yang ndawuh. Punya logikanya sendiri.
Orang kedua ini cukup
aneh. Demikian pula jawaban yang dilontarkan. Namanya Fitriadi K. Ketika
ditanya akronim huruf ‘K’ pada namanya, dia hanya geleng-geleng kepala. Sampai
saat ini, gelengan kepalanya saya artikan ‘hanya dia dan Tuhan yang tahu’.
Tapi alhamdulillah, saat ditanya perihal
rambut, dia menggeleng-geleng lagi, kemudian disertai beberapa patah kata keluar
dari mulutnya: kuda, ekor, panjang, pirang, rebonding,
salon, sisir, dan bleacing. Kayaknya
anak ini suka kuda, kataku dalam hati, pantesan
pandangannya tentang rambut (agak) luas. Bahwa rambut bukan semata-mata
monopoli manusia, hewan juga punya hak untuk rambut. Ditambah lagi dengan kata
‘salon’, ‘rebonding’, dan ‘bleacing’ yang mengisyaratkan bahwa
rambut, walaupun suatu yang sederhana, bermanfaat bagi ‘yang-lain’ dan wajib
dirawat (dengan rebonding dan bleacing) supaya tidak meresahkan
‘yang-lain’. Demikianlah yang saya tangkap dari jawaban teman yang satu ini.
Orang terakhir yang
saya tanyakan bernama Tria. Tria Setiawan lengkapnya. Beberapa hari yang lalu
dia cukur, menggundul diri. Anaknya gemuk. Kalok kuliah suka duduk di belakang
memainkan tabletnya. Meskipun sangat sering duduk di belakang, ketika disebut
kata ‘rambut’, dia langsung nyerocos dengan
rodo dipaksa. Kepala, hitam, kasap, pelindung kepala, akar, cabang,
jenggot, katanya. Kali ini saya emoh menginterpretasikannya.
Biar kalian mandiri dan punya pengertian masing-masing.
Begitulah jawaban yang
diberikan teman-teman terkait ‘rambut’. Beragam dan rada-rada masuk akal. Tapi saya masih tidak puas dengan
jawaban-jawaban itu. Kayaknya ketidakpuasan saya ini dipengaruhi oleh spirit
filsafat yang tidak “mengenal” kata akhir, final, dan fix. Selalu mempertanyakan sesuatu. Jawaban yang diberikan atas
pertanyaan pasti dan senantiasa melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya, dengan iseng
saya googling dengan kata kunci
‘rambut’. Mata tertuju pada satu situs yang selalu menggiurkan mahasiswa
semacam saya (terutama saat ada tugas kuliah), wikipedia. Saya klik. Kemudian
muncul definisi rambut menurut wikipedia. Bunyinya begini: “Rambut atau sering
disebut bulu adalah organ seperti benang yang tumbuh di kulit hewan dan
manusia. Rambut muncul dari epidermis (kulit luar), walaupun berasal dari
folikel rambut yang berada jauh di bawah dermis. Struktur mirip rambut, yang
disebut trikoma, juga ditemukan pada tumbuhan”. Satu kalimat untuk wikipedia:
aku ora mudeng.
Berikut saya sertakan print screen definisi 'rambut' ala wikipedia:
Dari keterangan
beberapa pakar rambut dan sumber referensi maha terpercaya, saya menyimpulkan
bahwa rambut bukan monopoli manusia. Juga bukan hegemoni kepala. Rambut adalah
kata lain dari bulu. Rambut sama dengan bulu. Terserah Anda mau bilang apa, pokok’e rambut itu sama dengan rambut. Entah itu rambut di manusia, hewan, dan
tumbuhan, bahkan jin dan syaiton sekalipun; di kepala, alis, kelopak mata,
hidung, atas bibir (kumis), dagu (jenggot), dada, anu (baca: *disensor Keminfo), betis, dan lain-lain.
Blunyahrejo, 07 Oktober 2015, 22:22
Comments
Post a Comment