Pentingnya Literasi Media di Kalangan Mahasiswa

Sumber foto: indonesiamediawatch.org
Di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, media adalah salah satu unsur vital.  Media mendukung, mengawal, dan mengawasi demokratisasi. Media menjadi jembatan penghubung antara pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah, dengan rakyat. Media juga menjadi wadah aspirasi di mana kebutuhan-kebutuhan rakyat tertampung.

Secara garis besar, media, setidaknya, mempunyai beberapa fungsi, yakni: fungsi informatif, fungsi edukatif, fungsi entertaiment, dan fungsi kontrol sosial. Dengan fungsi-fungsi tersebut, media memainkan peran sebagai ‘kekuatan keempat’ dalam sistem demokrasi setelah eksekuti, legislatif, dan yudikatif.

Karena fungsi-fungsinya yang sangat vital, media acap kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Memanfaatkan media hanya sebatas untuk mencapai keinginan-keinginan pragmatis. Media dikontrol sedemikian rupa sebagai upaya pengkondisian sosial. Tidak ada lagi fungsi informatif, edukatif, entertainment dan kontrol sosial. Yang ada hanyalah fungsi pragmatis-oportunis. Dan penyelewengan media, sangat sering dilakukan oleh penguasa demi memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Di Indonesia, beberapa waktu yang lalu dalam perhelatan akbar PEMILU 2014, kita lihat beberapa media telah ‘dikondisikan’ untuk berafiliasi dengan golongan atau partai tertentu. Karena memang yang mempunyai media besar di negara ini adalah sebagian besar politisi. Sehingga, konten-konten di dalamnya sarat akan kepentingan-kepentingan golongan atau kelompok tertentu.

Lebih parah lagi, berita atau informasi dipelintir sedemikian rupa untuk menampilkan citra tertentu. Lagi-lagi kebanyakan untuk kepentingan politik praktis. Dalam konteks ini, masyarakat dirugikan. Kebenaran dalam kosakata media adalah wajib. Meskipun kebenaran tersebut terkadang tidak netral. Dan memang media tidak harus netral. Sebagaimana ditegaskan Goenawan Mohammad: “media dalam pemberitaannya tidak harus netral. Hal terpenting dalam pemberitaan media tidak untuk memfitnah”.

Media ‘abal-abal’ --sebutan untuk media yang suka memfitnah-- akhir-akhir ini menjamur di internet. Dan anehnya media seperti ini, yang memuat berita hoax --sebutan untuk berita yang tidak jelas ‘asal-usulnya’-- mendapat rating tinggi dan di-share oleh banyak orang via jejaring sosial. Terkait dengan fenomena sharing berita hoax ini, jurnalis Tempo mempunyai sebutan khusus: The Clicking Monkeys.

Jika dibiarkan secara terus menerus, media yang tidak menjalankan fungsi-fungsinya bukan hanya merugikan rakyat, tapi juga merusak akal sehat dan kejujuran. Dalam konteks ini, peran mahasiswa sebagai penghuni kelas terdidik di Indonesia sangatlah dibutuhkan. Bukan sekedar kepentingan pelurusan pemberitaan, tapi lebih dari itu sebagai tugas kemanusiaan.

Mahasiswa, dengan sikap kritisnya, selalu mempertanyakan keabsahan informasi atau berita. Tidak dengan menelan mentah-mentah informasi yang diberitakan media. Informasi, bagi mahasiswa, harus lewat proses filter terlebih dahulu, yakni: memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Sehingga, mahasiswa tidak --meminjam bahasa Antonio Gramsci—dihegemoni media. Dengan demikian, literasi media di kalangan mahasiswa sangatlah penting.


‘Literasi’ merujuk pada kemampuan membaca dan menulis. Ada juga yang mendefinisikan kemampuan memahami, menganalisis, dan medekontruksi informasi di media. Dengan melek media, mahasiswa tidak hanya menjadi pembaca pasif yang menjadikan kategorisasi ‘berita baik dan berita buruk’ sebagai pengetahuan untuk diri sendiri. Tapi juga, bagaimana mahasiswa menjadi bagian dari media supaya prinsip dan fungsi media berjalan sebagaimana mestinya.

Comments