Menulis

Sumber gambar: akhiyusuf99.wordpress.com

Kita mengenal Yunani sebagai titik berangkat peradaban ilmu pengetahuan. Dari Yunani lahir filsafat, kemudian ilmu pengetahuan dan berkembang sampai hari ini. Yunani bukan satu-satunya peradaban yang besar di muka bumi pada zaman dahulu. Ada peradaban Cina dan India di Asia; Mesir dan Mesopotamia di Afrika; dan Romawi (bersama Yunani) di Eropa.

Lantas apa keistimewaan peradaban Yunani dari peradaban-peradaban besar lainnya? Karena peradaban Yunani meninggalkan tulisan yang sampai saat ini bisa kita nikmati. Orang-orang Yunani, meskipun tak semuanya, menulis. Kita mengenal Plato dan Aristoteles sebagai filsuf besar karena karya-karyanya. Magnum opus-nya bisa kita baca dan pahami hari ini.

Bukan berarti peradaban besar lain tidak meninggalkan tulisan. Mereka (mungkin) menulis, tapi ditinggalkan, terbengkalai dan akhirnya musnah diterpa angin peradaban. Sehingga, Yunani, setidaknya dalam khazanah ilmu pengetahuan, menjadi rujukan utama. Dalam Islam, tradisi filsafat Yunani sangat mempengaruhi filsuf-filsuf sekaligus ilmuwan Islam. Katakanlah, al-Kindi yang Aristotelian dan al-Farabi yang juga Aristotelian.

Begitulah menulis. Menulis adalah jalan keabadian. Jalan immortalitas. Yang diabadikan adalah kata dan ‘isi’ kata. Dengan menulis, tidak hanya kata dan ‘isi’ kata yang (meng)abadi. Tapi juga pelafal atau penulis ‘isi’ kata yang melafalkannya dengan kata itu sendiri menjadi abadi secara otomatis.  

Tentang menulis adalah jalan menempuh keabadian, Pramoedya Ananta Toer menegaskan dalam bukunya, Rumah Kaca, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Menulis dan Motivasi

Sebagian orang menulis, sebagaimana pemaparan di atas, karena ingin “mengabadikan” diri. Hendak --meminjam istilah Chairil Anwar-- hidup seribu tahun lagi. Sebagian lagi mungkin menulis karena ingin kaya. Sebab dengan menulis dapat menghasilkan karya (katakanlah berupa buku) yang dapat dijual. Penjualan menghasilkan uang. Terkadang uang tidak hanya didapat melalui penjualan buku, tapi juga undangan membedah bukunya sendiri.

Sebagian orang juga mungkin menulis karena ingin mempunyai pacar. Supaya segera mungkin melepas kejombloannya. Karena, bagi sebagian orang, jomblo adalah aib. Sebagaimana aib, ia bersifat hina jika diketahui publik. Hubungannya dengan menulis? Dengan menulis, mereka (setidaknya) mempunyai nilai tawar kebada lawan jenis. Semacam bergaining position dalam bisnis dan transaksi politik. Dengan menulis juga, mereka dengan bebas merapalkan mantra-mantra puitis demi memikat sang lawan jenis.

Sebagian orang yang terakhir (mungkin) menulis karena ingin menjadi “selebritis”. Dikenal, dipuji, dan mempunyai banyak fans. Lantas bisa dengan mudah memilih siapa diantara para fansnya dapat dijadikan pasangan hidup. Yang terakhir ini, kayaknya mengamalkan pepatah kuno: “Sekali dayung, dua, tiga pulau terlapaui” dan “Sekali menyelam minum air”.

Pokoknya menulis adalah jalan yang mengasyikkan dan mengenakkan jika mendengarkan para penulis bercerita tentang manfaat pengalaman menulisnya. Ibarat berhubungan seksual, kenikmatan menulis hanya dapat dicapai dengan mengalami. Misalnya mengalami tulisan dimuat di media. Sekali berhubungan, rasanya ingin orgasme setiap saat. Sekali tulisan dimuat di media, rasanya tidak ingin kuliah, ingin menulis saja. Kuliah itu tidak produktif!

Apakah ada orang yang menulis karena menulis itu sendiri? Saya kira tidak ada. Tidak ada orang melakukan sesuatu tanpa ada motivasi yang melatarbelakanginya. Melakukan sesuatu hanya karena sesuatu itu sendiri, tanpa embel-embel atau motivasi, saya kira hanya ada dalam konsep. Yakni dalam Etika Deontologis Kant. Bahwa: melakukan kebaikan karena kebaikan itu sendiri.

Dan menulis butuh motivasi. Se-pramgmatis dan se-opurtunistik bagaimanapun seseorang dalam menulis, toh yang menjalankan adalah saya, kalian, dan kita. Yang menerima manfaat adalah kita. Yang menulis adalah tangan kita, menggunakan komputer kita. Kalian siapa?

Persoalan Tulisan

Sebagus apapun tulisan, pasti akan melahirkan misteri. Yaitu berupa: ketakterungkapan. Kata hanyalah hasil dari pengkataan. Sebagai hasil, ia tak bisa secara penuh mengungkap ‘isi’ kata. Sifat kata dan pengkataan adalah menyamarkan apa yang hendak dikatakan. Menyelubungi sesuatu yang terselubung.

Demikianlah tulisan yang  adalah akumulasi dari kata. Ia tidak bisa secara keseluruhan menuangkan dalam tulisan apa yang hendak ditulis. Karena kata adalah batas sekaligus membatasi. Batas antara kedalaman dan kedangkalan.

Mari kita ambil contoh. Tak semua ekspresi dapat di-emoticon-kan. Tak semua gerak-gerik tubuh dapat dikatakan. Ini hanya pada taraf permungkaan saja yang mencerminkan kedangkalan. Begitulah menulis. Aktivitas paradoks: antara menyingkap mana dan menyamarkan makna.
Bagaimanapun juga kita harus tetap menulis. Meskipun tak bisa (karena mustahil) meng-kata-kan kedalaman dalam perkataan dan kata. Mari menulis. Apapun motivasinya. Terutama jomblo, apa sih yang mau diandalkan selain menulis.

Paling akhir, saya kutipkan kata-kata Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara: “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.”


Bulaksumur, 30 September 2015

Di saat G 30 S merayakan “ulang tahunnya” ke-50

Comments