Mengentaskan Kemiskinan Moral

Sumber foto: www.netnewsledger.com

Pada tanggal 17 Agustus 2015, Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-70. Di ‘usianya’ yang ke-70, masih banyak persoalan bangsa dan negara yang menuntut untuk diselesaikan. Salah satu permasalahan utama bangsa ini adalah kemiskinan. Bukan hanya kemiskinan dalam ranah ekonomi, yang tak kalah berbahayanya adalah kemiskinan moral.

Jika kemiskinan ekonomi dapat diselesaikan dengan hitung-hitungan sosial-ekonomi, maka kemiskinan moral menuntut lebih dari sekedar hitung-hitungan itu. Karena kemiskinan ekonomi adalah sesuatu yang nampak dan dapat diinderai, sementara kemiskinan moral adalah sesuatu yang tak tampak dan menyangkut bagian ‘dalam’ manusia.

Di Indonesia, kemiskinan moral semakin merajalela. Bahkan telah membudaya di masyarakat. Sebagai contoh adalah korupsi. Dalam pemerintahan, korupsi adalah sesuatu yang wajar. Kita lihat berapa banyak bupati atau walikota, gubenur, wakil rakyat, dan menteri serta pejabat pemerintah yang terjangkit kasus korupsi. Dan tidak menutup kemungkinan sebentar lagi akan banyak kepala desa atau lurah yang dibui karena tergiur dengan dana 1 Miliyar per desa.

Kemiskinan moral tidak hanya terjadi di pemerintahan, di dunia pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai etis dan moral pun terjadi. Kasus pencabulan oleh guru terhadap murid, kekerasan seksual di sekolah dan jual beli ijazah masih mewarnai jagat dunia pendidikan Indonesia.

Kiranya jelas, salah satu penghambat kemajuan Indonesia adalah faktor internal, yakni miskinnya moralitas sebagian masyarakat Indonesia. Jauh-jauh hari Soekarno, bapak proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, telah mengingatkan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Perkataan Soekarno di atas sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Bahwa musuh utama penghambat kemajuan Indonesia adalah bangsa Indonesia sendiri dengan miskinnya moral yang dimiliki oleh para pejabat yang koruptif dan tenaga pendidik yang cabul serta permasalahan moral yang lain.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan bangsa di atas, diperlukan solusi untuk mengentaskan kemiskinan moral. Salah satunya adalah melalui pendidikan karakter. Sebenarnya, dalam kata ‘pendidikan’, secara implisit, sudah mengandung makna ‘karakter’. Karena pendidikan bukan hanya transfer of knowledge (transfer pengetahuan) antara guru dan murid, tapi juga penanaman karakter dan nilai-nilai moralitas kehidupan.

Implementasi pendidikan karakter tidak hanya di lingkup institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Sebagaimana pemikiran bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, tentang Tri Pusat Pendidikan, bahwa ada tiga (lingkungan) pusat pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat.

Selain itu, terdapat banyak macam cara menanamkan karakter dan nilai-nilai moralitas. Misalnya di Universitas Gadjah Mada yang memberlakukan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) bagi semua mahasiswa dan bersifat wajib, bukan opsional. MPK sendiri terdiri dari mata kuliah Pendidikan Pancasila, Agama, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia serta Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Di lingkungan keluarga dan masyarakat, penanaman karakter dan nilai-nilai moralitas dapat diterapkan dengan, misalnya, gotong royong, kerja bakti bersih kampung, pengadaan kantin kejujuran, dan acara-acara tradisi adat yang lain. Dengan implementasi pendidikan karakter yang menyeluruh, diharapkan dapat mengatasi dan mengentaskan kemiskinan moral di Indonesia.