Hari Santri Nasional: Belajar Move On dari Pak Din
Sumber foto: indopolitika.com |
Bangsa ini kembali
ribut. Gara-garanya Presiden Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari
Santri Nasional. Yang mempermasalahkan adalah Pak Din Syamsuddin lewat surat
cinta terbuka kepada Pak Jokowi. Alasannya, Hari Santri Nasional dapat memecah belah
umat dan mengganggu persatuan bangsa. Mirip-miriplah dengan argumen-argumen
yang menolak Islam Nusantara, yang beberapa waktu yang lalu sempat booming.
Saya bingung dengan
sikap Pak Din ini, padahal baru setahun yang lalu mendeklarasikan diri sebagai pendukung—walaupun
bukan pendukung garis keras—Hari Santri Nasional. Jangan-jangan Pak Din iri ya
sama NU yang menjadi pendukung garis keras Hari Santri Nasional. Pak Din kan
Muhammadiyah, mantan ketua umum Muhammadiyah lagi. Sementara yang getol mewacanakan
(sampai merayakan) Hari Santri Nasional kan NU.
Ah, lupakan semua
prasangka buruk itu. Bukankah Allah menciptakan segala sesuatu ada hikmahnya,
termasuk peristiwa ini? Marilah ber-husnudzon ria.
Di balik sikap
penolakan Pak Din atas Hari Santri Nasional, ada hikmah yang bisa dipetik. Pak
Din adalah tipe orang yang mudah move on dan mempertahankan setengah mati
ke-move on-annya itu. Pak Din dulu setuju kepada Hari Santri Nasional, sekarang
sudah tidak setuju. Itu tandanya Pak Din dapat dijadikan suri tauladan bagi
muda-mudi yang susah move on dari mantan. Bermanfaat bukan?
Tidak hanya itu, Pak
Din juga mudah move on dari jabatannya sebagai ketua umum Muhammadiyah.
Buktinya, di Muktamar Muhammadiyah ke-47 Pak Din tidak bersikukuh menjadi orang
nomor satu lagi di ormas tersebut. Pak Din dengan tenang dan sukarela
menyerahkan jabatannya kepada Pak Haedar Nashir. Tidak kayak calon presiden
yang itu tuh, yang susah move on dari keinginannya jadi presiden. Jadi calon
aja udah susah move on, apalagi sudah jadi presiden? Jadi pacar aja susah move
on, apalagi sudah jadi menantu? Huh!
Bagi Pak Din, jabatan
di Muhammadiyah bukan segala-galanya. Masih ada jabatan lagi di MUI dan ya
semoga aja juga di Istana.
Begitulah Pak Din yang
gampang move on, yang seharusnya ditiru oleh kalian-kalian yang susah move on
dari mantan dan kenangan. Ingatlah, pacaran itu bukan segala-galanya dan jomblo
(kesendirian) bukanlah status yang hina. Mereka yang bilang jomblo itu hina,
dekaden, dan rendahan hanyalah mereka yang iri dan sinis akan kesendirian,
kesunyian, dan kebebasan yang hanya dimiliki para jomblo.
Selain itu, ingat juga,
di luar sana, masih banyak jenis lawan, eh lawan jenis, yang menunggu
kejombloanmu. Camken itu! Pertahankanlah ke-jomblo-anmu sebagaimana Pak Din
mempertahankan ketidaksetujuannya pada Hari Santri Nasional. Memang, menjadi
jomblo orang besar banyak tantangan, banyak yang tidak suka bahkan ada yang
berupaya ‘membinasakan’. Anggap aja itu buih di tengah indahnya lautan: masak
kalian gagal menikmati keindahan laut gara-gara buih seupil?
Yang terakhir, seperti
Pak Din yang menyurati Pak Jokowi, saya juga inginlah menyurati orang nomer satu
di Indonesia ini:
“Pak Presiden yang
terhormat, saya salut Bapak telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri
Nasional. Sebagai manusia yang pernah nyantri, saya senang dan bahagia. Setelah
menetapkan Hari Santri Nasional, tolonglah tetapkan juga Hari Jomblo Nasional.
Bapak harus ingat kalok santri itu juga jomblo. Kan di pesantren gak boleh
pacaran dan berhubungan dengan lawan jenis.
Oh iya, dengan
menetapkan Hari Jomblo Nasional, pendukung Bapak akan bertambah. Lumayanlah
buat modal nyapres pada pemilu depan. Bilang juga pada Pak Din, jangan tolak
lagi penetapan hari nasional yang ini dengan dalih apa pun. Terkait dengan
tanggal dan bulannya, Bapak bisa menunjuk para penulis jombloo.co sebagai Dewan
Komite Penetapan Hari Jomblo Nasional. Itu saja Pak surat dari saya. Terima
kasih.”
Dimuat pertama kali di jombloo.co pada Hari Santri Nasional yang pertama, 22 Oktober 2015
Comments
Post a Comment