‘Yang Kalah’ dan ‘Yang Menang’
Gambar hanyalah ilustrasi. Tidak menceminkan isi tulisan. Apalagi isi ideologi penulis. Sumber: inilah.com |
Apakah setiap perubahan
(entah apa itu namanya ‘revolusi’,
‘evolusi’, ‘reformasi’, atau mungkin ‘restorasi’) selalu menghendaki
pengorbanan dan melahirkan dikotomi ‘yang kalah’ dan ‘yang menang’? Kalau
pengorbanan, itu harus dalam setiap perubahan. Setidaknya pengorbanan perasaan.
Membiarkan kenangan memiliki otonomi hidup sendiri demi masa depan yang lebih
cerah.
Yang menjadi persoalan
adalah ketika perubahan melahirkan dikotomi ‘yang kalah’ dan ‘yang menang’. Dan
bukan hanya terjadi pada perubahan, realitas kehidupan senantiasa meniscayakan
kekalahan dan kemenangan. Kemenangan adalah cita-cita, harapan, dan tujuan yang
ingin dicapai. Sesuatu yang tinggi. Orang-orang berlomba-lomba untuk menang.
Sementara kekalahan adalah semacam kerendahan yang harus dihindari.
Sangat dikotomis. Tidak
hanya dikotomis, tapi juga mengandung bipolaritas. Laiknya air dan minyak, kekalahan
dan kemenangan adalah dua kutub yang berbeda yang tak dapat bersatu. Lebih
parah lagi jika ‘yang menang’ mengejek ‘yang kalah’. ‘Yang kalah’ terpojok dan
terpinggirkan. Sedangkan, ‘yang menang’ merayakan kemenangannnya. Berpesta
pora. Seakan-akan berkata: “kami adalah pemenang, kalian (‘yang kalah’) bukan
siapa-siapa”.
Bukankah kemenangan dan
kekalahan adalah realitas kehidupan yang harus diterima. Sekali lagi: harus
diterima. Bukan untuk saling ejek, olok-olok,
dan apalagi saling mempermalukan. Tidak akan ada ‘yang menang’ tanpa ada ‘yang
kalah’. Demikian sebaliknya. Keduanya ada bukan untuk saling meniadakan.
Keduanya adalah konsep, pengkataan, kategorisasi, yang ditujukan untuk
mempermudah interaksi manusia. Dan konsep tidak dapat (bahkan mustahil)
mencerminkan ‘isi’ yang dimaksud. Konsep hanyalah pengkataan dari sesuatu yang
semestinya tidak dapat dikatakan secara representatif. Dan tulisan ini hanyalah
konsep, upaya pengkataan sesuatu, tujuannya hanya satu: mempermudah manusia.
Demikianlah yang
terjadi pada 30 September 1965. G 30 S. Dipelopori (katanya) oleh PKI. Maka
dikenal G 30 S/PKI. PKI sebagai (katanya) golongan ‘yang salah’ (kemudian
menjadi golongan ‘yang kalah’) dibubarkan oleh golongan ‘yang benar’ (dan
kemudian menang, menjadi ‘yang menang’). Tidak puas dengan membubarkan, ‘yang
menang’ menumpas ‘yang kalah’ --PKI dan antek-anteknya atau terduga antek.
Kata mereka (mungkin):
hanya memindahkan mereka (PKI dan antek-anteknya) dari alam dunia menuju alam
lain, alam kubur dan alam akhirat. Tujuannya supaya memudahkan gerakan mereka
‘yang kalah’ tanpa diganggu oleh ‘yang menang’. Dan ‘yang menang’ juga
demikian, memperoleh kekuasaan dan mengamankannya tanpa halangan dan rintangan.
Sampai hari ini pun, di “ulang tahun” G 30 S yang ke-50
masih saja menjadi ‘yang kalah’. Senyatanya menjadi orang kalah, para korban
dan keluarga korban G 30 S tetap terpinggirkan dan teraniaya. ‘Yang kalah’
terasing (dan diasingkan) di arena yang diciptakannya. Dan ‘yang menang’ (?),
alih-alih meminta maaf karena telah mengasingkan ‘yang kalah’, mengakui
kemenangan adalah akibat adanya ‘yang kalah’ saja enggan.
Meskipun iktikad baik
meminta maaf kepada keluarga korban G 30 S telah dilakukan oleh Gus Dur,
kemudian Pak SBY dengan membentuk komite nasional walaupun gagal, dan
dilanjutkan oleh (pidato) Pak Jokowi yang ingin mengusut tuntas kasus
pelanggaran HAM berat, termasuk dalam peristiwa G 30 S.
Mungkin, bagi sebagian
orang, terutama korban dan keluarga korban G 30 S, permintaan maaf saja tidak
cukup. Seperti halnya piring yang dilempar ke lantai, kemudian pecah, tidak
akan kembali seperti semula “hanya” dengan meminta maaf. Butuh iktikad dan
usaha yang lebih dari sekedar meminta maaf saja. Misalnya, yang
digembar-gemborkan aktivis HAM, mencari dalang dibalik peristiwa G 30 S dan
menuntutnya sesuai dengan hukum yang berlaku.
G 30 S bukan persoalan
kudeta yang akan dilakukan PKI terhadap NKRI. Bukan pula tentang mempertahankan
keutuhan NKRI. Ini tentang pembunuhan massal yang didalihkan atas dalil
keutuhan NKRI. Apapun alasannya, meniadakan nyawa, orang banyak lagi yang tidak
ada sangkut paut dan tak tahu apa-apa seputar PKI, tidak dibenarkan. Karena
persoalan nyawa tidak semudah persoalan piring pecah yang dapat diganti dengan
yang baru, dengan merk dan bentuk
yang sama. Nyawa tak bisa digantikan dengan nyawa baru, merk dan bentuk yang sama. Sekali lenyap, nyawa tak akan kembali.
Paling banter, ya kembali dalam
kenangan.
Sebagai pria yang lahir
tahun 1995, saya tidak mengalami langsung ‘kengerian’ peristiwa G 30 S. Bagaimana
mau mengalami, lahir saja tidak. Mungkin saya (dan orang tua saya juga) masih
ada dalam ‘dunia idea’ orang ‘yang membunuh’ atau ‘yang terbunuh’ atau yang
memilih diam. Tapi sebagai generasi muda Indonesia yang tidak ingin dikatakan
generasi pembangkan, saya manut aja
dengan perkataan Bung Karno, Jas Merah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Saya
ingin mengetahui dan mengenal sejarah. Adanya saya adalah akumulasi dari
sejarah ceria dan kelam generasi sebelumnya. Termasuk G 30 S.
Dan saya tahu, transisi dari September menuju Oktober di bangsa ini adalah transisi berdarah. September berduka, Oktober ceria. Katanya. Alhasil, selamat ulang tahun G 30 S yang ke-50. Semoga kau “tenang” di “alam sana”. Cukup di dunia saja kau teraniaya. Al-fatihah.....
Comments
Post a Comment