Sebuah Risalah tentang Cinta
Sumber foto: @melfinceng |
Identitas Buku
Judul: Pelangi
Melbourne: Dua Dunia Satu Cinta
Pengarang:
Zuhairi Misrawi
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit:
2011
Tebal Halaman: viii
+ 552 hlm
ISBN: 978-979-709-543-7
Membincangkan cinta
layaknya berbicara tentang dan dengan diri sendiri. Begitu dekat sekaligus
teramat jauh. Sangat familer dan penuh misteri dalam waktu yang bersamaan. Seperti
diri (self) yang (seakan-akan) kita,
manusia, memahami betul, tapi kenyataannya kewalahan dan berkeringat dingin
saat dihadapkan pada pertanyaan ‘siapa aku?’ dan pernyataan Sokrates: gnothi seauton, kenalilah dirimu
sendiri.
Demikianlah cinta. Mudah
diucapkan, tapi sulit didefinisikan. Banyak orang telah mendefinisikan cinta
dan masing-masing dari mereka mempunyai definisi tersendiri tentang cinta. Orang
yang berpacaran punya definisi berbeda dengan orang yang jomblo. Begitu pula
dengan pandangan seorang ustad atau ustadzah tentu berbeda dengan seorang
profesor.
Sebagian orang
mendefinisikan cinta itu buta sehingga tai kucing saja dapat berubah rasa
menjadi coklat. Sebagian lagi menganggap cinta tak harus memiliki, asal yang
dicintai bahagia, maka sang pecinta turut merasakan kebahagiaan. Dan sebagian
lagi menganggap cinta tak perlu didefinisikan, cukup dialami saja. Karena
definisi hanya mempersempit keluasan makna cinta. Dengan mengalami menuntut
keterlibatan dan tak semua keterlibatan dapat didefinisikan (baca:
dibahasakan).
Semakin banyak
definisi, semakin misterius itu cinta. Itulah cinta.
Resepnya: kurangi
mendefinisi dan perbanyak mengalami, maka perlahan dan pasti misteri dan
kedahsyatan cinta akan terungkap. Seperti yang dilakukan Zuhairi Misrawi dalam
novelnya, Pelangi Melbourne.
Novel yang diterbitkan
Penerbit Kompas tahun 2011 silam ini bercerita tentang perjalanan dan
perjuangan cinta Zaki Mubarak. Seorang lulusan pesantren yang mendapat beasiswa
kursus bahasa Inggris di Hawthorn English Language Centre, Melbourne.
Di Melbourne, setting tempat utama novel ini, Zaki
sendiri. Tidak ada keluarga dan sanak saudara. Kesendirian membuatnya asing.
Dan keterasingan tidaklah menyenangkan sebagaimana petuah ustadznya saat di
Pesantren dulu: al-ightirab murrun,
keterasingan itu terasa pahit dan menjemukan. Sebagus apapun rumah orang lain,
masih tetap lebih menyenangkan rumah sendiri meskipun ‘jelek’ dan ‘reot’. Kira-kira
begitulah kata-kata yang selalu terngiang-ngiang di benak dan hati Zaki pada
awal-awal menjalani kursus.
Kesendirian dan
keterasingan yang dialami Zaki tidak berlangsung lama. Ia bertemu teman dan
sahabat baru. Ia menjalin persaudaraan dengan Ahmad dan Raudha dari Arab Saudi.
Dan yang sangat penting adalah ia menjalin cinta dengan Diana Lee, gadis asal
Korea Selatan dan beragama Nasrani.
Jalinan cinta bersama
Diana merubah segala sisi kehidupan Zaki di Melbourne. Mulai dari etos belajar
yang meningkat hingga Melbourne (sudah) terasa rumah sendiri. Karena cinta yang
dibangun keduanya --Zaki dan Diana-- adalah cinta yang konstruktif. Cinta yang
berlandaskan cita-cita, bukan hawa nafsu. Cinta yang mengarakan pelakunya pada
kebahagiaan hidup.
Kekuatan dan
kedahsyatan cinta tidak hanya sampai di situ. Zaki dan Diana berkomitmen untuk melanjutkan ke
hubungan yang lebih serius, pernikahan. Jalan menuju ke sana, pernikahan, sudah
pasti penuh onak berduri. Karena jalinan cinta keduanya tidak sebagaimana
umumnya: selain perbedaan bangsa dan negara, keduanya juga beda agama --sesuatu
yang disakralkan dalam kehidupan oleh banyak orang.
Seberat apapun hambatan
dan seterjal bagaimanapun rintangan, jika dihadapi dengan komitmen dan
cita-cita yang luhur, ujung-ujungnya adalah ketercapaian, kesuksesan. Demikianlah
yang dilakukan Zaki untuk menikah dengan Diana. Berbagai hambatan dan rintangan
berhasil dilewati --mulai dari teralienasi dalam masyarakat hingga Zaki dan
ibunya terusir dari tempat di mana keduanya tinggal. Dan buahnya adalah manis,
pernikahan yang suci. Begitulah kedahsyatan cinta, mampu merubah kehidupan
seseorang.
Dalam novel ini, Misrawi
tidak mendefinisikan cinta. Tidak pula ‘menggurui’ dan mengarahkan pembaca
untuk mengikuti definisi cinta versi dirinya atau menurut aliran tertentu. Dia
menyelipkan arti dan makna cinta ke dalam tokoh-tokoh yang mengalami --lewat
Zaki dan Diana. Jalan yang ditempuhnya adalah melibatkan pembaca seakan-akan
tokoh dalam cerita adalah diri pembaca, tentang kehidupan di sekeliling
pembaca. Sehingga pembaca mempunyai definisi masing-masing tentang cinta –sebagai
sebuah kesimpulan. Tidak definisi yang seragam, karena cinta terlalu luas untuk
diseragamkan.
Comments
Post a Comment