Kita adalah Ultramen (1)
Beberapa waktu yang
lalu, saya bersama teman-teman ‘himpunan’ berkunjung ke pantai di Wonosari,
Gunung Kidul Yogyakarta. Pantai Ngitun namanya. Memang, Pantai Ngitun tidak
sepopuler Pantai Indrayanti, Pok Tunggal, Baron, dan Siung serta pantai-pantai
terkenal lainnya. Tapi, panorama alamnya tak kalah.
Pasir putih yang
‘empuk’. Berbaring di atasnya serasa ingin ‘tiduran seribu tahun lagi’. Apalagi
beratapkan langit dengan gugusan bintang dan rona wajah rembulan. Desiran ombak
yang sesekali bertabrakan dengan batu karang dan tebing-tebing yang mengelilingi
pantai ini. Sangat alami. Tidak dapat ditemukan di kota Jogja yang penuh polusi
dan kebisingan kendaraan bermotor. “Kota Jogja berhenti nyaman!”, kata
selembaran-selembaran yang sudah tersebar luas di seantero kota.
Tubuh termanjakan,
letih terlupakan. Sepanjang perjalanan keluh-kesah selalu menyertai, berbanding
dengan rasa penasaran. Sesampainya di pantai ini, keluhan dan desahan kelesuan
sirna. Berganti pujian-pujian. Entah pujian kepada alam, Pantai Ngitun, atau
kepada Sang Pencipta alam yang sering “diperebutkan” oleh banyak orang. Tidak
hanya “diperebutkan” barang kali, juga dijadikan alasan untuk berperang.
Berperang demi Tuhan, katanya.
'Gerbang' selamat datang Ngitun. Foto oleh @barkah-bukubro.com |
Panorama Ngitun di pagi menjelang siang. Foto oleh @barkah-bukubro.com |
Pantai Ngitun
betul-betul istimewa. Istimewa, karena terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta
dan indahnya panorama yang dimiliki. Setidaknya, istimewa bagi kita bersepuluh.
Ya, kita ke pantai bersepuluh. Dengan mengendarai lima motor. Tiap motor
ditumpangi dua orang: satu yang nyetir
dan satunya lagi mbonceng.
Dan yang sepuluh itu
laki-laki. Semuanya laki-laki. Andai ada satu orang lagi, kiranya klub sepak
bola akan terbentuk di pantai ini. Minus seorang pelatih dan beberapa staff
ahli. Tidak ada perempuan di antara kita. Jangankan perempuan, laki-laki yang agak keperempuan-keperempuanan
aja tidak ada. Bukan karena kita tidak mempunyai pasangan alias jomblo (toh kita semua memang jomblo). Ini lebih
kepada hal yang prinsipiil: kita adalah laki-laki anti-mainstream.
Di saat tenda-tenda
sekeliling ada “desahan” perempuan, di tenda kita tidak. Begitu pula ketika
pagi tiba, kita, meskipun laki-laki, masak sendiri. Sekali lagi: kita
anti-mainstream. Mas Rifky, orang yang paling dituahkan diantara kita karena
memiliki usaha di zapato.com dan sepatufutsal.co (warbiasa, bukan?!), menyebut ‘kita adalah Ultramen’ sebagai yang
anti-mainstream.
Pernyataan ‘kita adalah
Ultramen’ bukanlah pernyataan eskapis sebagai alibi untuk lari dari kenyataan
jomblo (apalagi untuk menghibur diri). ‘Kita adalah Ultramen’ adalah pernyataan
filosofis yang sarat akan nilai-nilai dan prinsip dasar realitas kehidupan.
Ultramen sedang menghibur diri, eh, berbahagia maksudnya. Foto oleh: @kameranyaBarkah |
Ultramen juga manusia, bisa lapar, bisa makan, terus kenyang. Foto oleh: @kameranyaBarkah |
Tentu, pernyataan ini
ada kaitannya dengan serial Ultraman di televisi yang tayang setiap hari minggu
pada satu sisi dan ‘konsep’ Übermensch yang
dimajukan Nietzsche, seorang filsuf, pada sisi lain. Marilah kita mulai satu
per satu!
Masih ingat kan dengan tokoh ultraman? Bagi saya,
atau mungkin bagi yang seumuran dengan saya, Ultraman adalah sosok familiar di
masa kanak-kanak. Ultraman digambarkan sebagai patriot yang senantiasa menumpas
kejahatan di muka bumi. Mencegah perbuatan nahi
munkar adalah misi utamanya. Yang menjadi target utamanya adalah monster buruk rupa yang senantiasa mengacaukan
kota dan merusak apa saja yang ada di kota. Menjadi seperti Ultraman, bagi saya
dulu, adalah cita-cita mulia. Gagah-perkasa, memiliki jurus dan berani membela
yang benar dan menindak yang salah. Tidak kayak politisi Indonesia yang mlempem-ayem saat berhadapan dengan
kemunkaran.
Tapi, Ultramen dan
Ultraman berbeda. Ultramen (dengan ‘e’ pada ‘men’) bersifat plural atau jamak
(banyak orang) dan Ultraman (dengan ‘a’ pada ‘man’) bersifat singular atau
tunggal (satu orang). Kita memilih kata ‘Ultramen’ karena kita bersepuluh.
Lebih dari satu orang. Dan ‘kita bukanlah Ultraman’ yang selalu menumpas (baca:
meniadakan) kejahatan. ‘Kita adalah Ultramen’ karena keluar dari mainstream dan
(mungkin, juga semoga) melampaui kemanusiaan kita sebagaimana Übermensch dalam gagasan Nietzsche.
Apa itu Übermensch? Para mufassirin memaknai Übermensch
sebagai Manusia-Super, Manusia-Unggul, Ultraman, Superman, dan lain-lain. Dan
Übermensch adalah seharusnya menjadi
“cita-cita” semua manusia. Übermensch adalah
manusia yang melampaui, anti-kemapanan, tidak ‘bergantung’ pada ‘yang-lain’ dan
bersikap ‘menerima’ (Afor mati) realitas:
bahwa realitas adalah ‘kebenaran’ sekaligus kekeliruan; ‘kebaikan’ sekaligus
‘kejahatan’.
Dan bagi saya, ‘kita
adalah Ultramen’ lebih dekat ke Übermensch
dalam ‘konsep’ Nietzsche daripada Ultraman
dalam serial telivisi di minggu pagi. Kita tidak menganggap jomblo itu
teraniaya dan rendahan dan berpasangan itu baik dan terhormat. Baik jomblo dan
berpasangan kita terima sebagai kenyataan plural. Juga, kita tidak membuat
dikotomi antara laki-laki dan perempuan; atau antara laki-laki yang agak keperempuan-perempuan dan perempuan
yang agak kelaki-lakian.
Selain itu, ‘kita
adalah Ultramen’ adalah manusia bebas nan bertanggung jawab yang tidak
bergantung pada apapun. Lebih-lebih kepada pasangan. (Pesan moral: untuk
menjadi manusia bebas nan bertanggung jawab, maka jadilah jomblo terlebih
dahulu. heuheueheu). Dan semoga kita, lebih-lebih saya,
dapat menjadi Übermensch versi kita
dan atau saya sendiri. Dan semoga pula, sejarah perjuangan yang ‘kita’ torehkan
di Pantai Ngitun dapat diteruskan oleh generasi mendatang. Sejarah perjuangan
kaum jomblo dalam melawan diskriminasi antara single (baca: jomblo) dan double
atau mungkin double (baca:
berpasangan).
Salam hangat dari personel Ultramen: yang punya blog (kiri) dan yang punya kamera. Foto oleh: hpnyaBarkah |
Comments
Post a Comment