Indonesia itu Indah?

Sumber foto: http://www.my-idn.cf
Indonesia itu indah. Keindahan Indonesia tak perlu lagi diayalkan. Tak perlu argumentasi-argumentasi retoris untuk sekedar memperkuat premis ‘Indonesia itu indah!’. Cukup dialami. Dengan mengalami. Karena pengalaman mempunyai spektrum nilai dan makna yang lebih luas ketimbang tulisan, foto atau gambar, maupun video.

Sudah banyak bukti empiris yang mengarah kepada ‘Indonesia itu indah’. Sudah banyak pula ‘orang asing’ berkunjung ke Indonesia untuk wisata: menikmati keindahan Indonesia. Dan sudah banyak juga buku-buku ditulis, dicetak, diedarkan dan dibaca oleh banyak orang dari banyak penjuru di dunia. Indonesia memang indah.

‘Indonesia itu indah’ bukan sekedar objek yang bersifat pasif dan menerima ‘tindak-tanduk’, ‘cercaan’ sekaligus ‘cumbuan’ terhadap dirinya. Indonesia adalah objek sekaligus subjek. Sebagai subjek yang juga ‘diobjekkan’, ia berhak menerima dan menolak. Menerima karena (mungkin) memberi manfaat kepada dirinya dan menolak karena (mungkin) mendatangkan mudharat.

Pertanyaan selanjutnya adalah Indonesia saat ini lebih sering menjadi: subjek yang ‘mengobjekkan’ diri; subjek yang ‘diobjekkan’; atau subjek-objek yang korelatif dan sesuai dengan porsi?

Idealnya sih yang ketiga, yakni: Indonesia sebagai subjek sekaligus objek yang korelatif dan paham akan asas kepatutan serta mengedepankan prinsip ‘simbiosis mutualisme’. Tapi sayang seribu sayang, ‘yang seharusnya’ atau ‘yang idealnya’ berbanding terbalik dengan ‘yang senyatanya’.

Keadaan Indonesia saat ini lebih sering ‘diobjekkan’ --sehingga menjadi objek-- ketimbang menjadi subjek. Indonesia tidak hanya indah, tapi juga ‘tidak-indah’. Bahkan dibalik ‘Indonesia itu indah’ terdapat ketidakindahan: semacam eksploitasi keindahan itu sendiri.

Contoh kasus yang dekat dengan keseharian kita adalah pariwisata. Sebagai simbol ‘keindahan’, pariwisata menawarkan keasrian, pleasure, dan ketenangan --meskipun akhir-akhir ini banyak tempat pariwisata tak ubahnya ruang publik semacam mall yang selalu ‘ribut’ dan penuh hiruk-pikuk keduniawian.

Kiranya pas untuk menganalogikan fenomena ini dengan adagium “di mana ada gula, di situ ada semut”. Tempat wisata adalah “gula” itu sendiri dan manusia-manusia adalah “semut”. Tetapi, bukan gula yang dicari manusia. Adalah kondisi yang menenangkan dan mendamaikan serta menghibur hidup yang dikejar. Yang menjadi “semut”, kemudian menghampiri “gula”, kebanyakan orang kota yang saban harinya dijejali perihal kegaduhan.

Persisnya begini. Setelah berletih-letih karena: bekerja; belum lagi macet beserta asap knalpot di jalan; riuh di sana-sini, mereka --manusia kota-- butuh suasana untuk mengkondisikan sekaligus menetralkan pikiran dan keadaan psikis. Dipilihlah tempat wisata yang indah itu untuk pengkondisian diri.

Kenapa harus orang kota? Karena orang desa dalam kesehariannya sangat dekat dengan kosakata ‘keasrian’, ‘kealamian’, ‘ketengan dan jauh dari hiruk-pikuk duniawi. Orang desa hidup dari dan dengan alam. “Alam adalah sahabat, sebagai sahabat tak sepantasnya saling menyakiti”, kiranya demikian prinsip hidup yang dipegang teguh. Tak berlebihan jika mengatakan orang desa manunggal dengan alam.

Hal ini saya alami sendiri saat tinggal di Jogja yang berhenti nyaman karena macet, panas, hotel-hotel, mall dan pusat perbelanjaan, menjadi makanan sehari-hari. Untuk itu saya pergi melancong, berpariwisata. Biasanya saya memanfaatkan weekend dan hari-hari libur kuliah. Destinasi wisata utama adalah pantai dan pegunungan. Saya pernah camping di pantai-pantai Wonosari Gunung Kidul; mendaki gunung di Gunung Kidul; dan menginap di Kaliurang yang cuacanya dingin itu.

Fenomena demikian kemudian ditangkap oleh segelintir (atau sekelompok) orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai golongan modernis yang gandrung akan kemajuan. Sekelompok orang tersebut adalah pemilik modal, kaum kapitalis.     

Karena dibalik ‘keindahan’ pariwisata, terdapat potensi untuk dieksploitasi demi rente. Di tangan mereka, pariwisata yang indah hanyalah kedok untuk mengumpulkan kapital-kapital baru yang menjanjikan. Kaum kapitalis adalah sekelompok orang yang selalu memperhatikan peluang. Yakni peluang untuk mengambil untung sebanyak-banyaknya dan meminimalisir bahkan meniadakan kerugian.

Begitulah cara mereka (kaum kapitalis) mengobjekkan ‘Indonesia itu indah’. Adagium yang mereka pegang teguh adalah: “di mana ada kerumunan orang, di situ ada potensi untuk meraup untung”.

Hal ini tidak hanya berlaku di satu sektor pariwisata saja. Di sektor lain, terutama Sumber Daya Alam (SDA) telah terjadi eksploitasi besar-besaran, tanpa batas, tanpa kendali dan tidak ada proses reklamasi setelahnya. Tanah dikeruk menerjang ke dalam untuk diambil batu baranya, minyaknya, tembaganya, emasnya dan bahkan tanah itu sendiri dijual selagi laku dan mendapat untung.

Lagi-lagi mereka (kaum kapitalis atau mungkin juga kita) hanya menganggap Indonesia sebagai objek. Belum tahu bahwa Indonesia suatu waktu akan menampakkan ke-‘subjek’-annya. Dan saya kira, suatu waktu itu telah tiba. Perlahan-lahan mulai menampakkan diri dengan banyaknya bencana akibat ulah manusia: banjir di setiap musim hujan di berbagai daerah di Indonesia, bencana lumpur lapindo, dsb.

Masih tulikah kita dengan alarm peringatan itu!

  

Comments