Bulu Angsa, Nietzsche dan Persoalan Kebenaran

Ada angsa putih. Ada juga angsa hitam.
Saya berharap juga ada di kemudian hari angsa pink.
Kita mengenal angsa. Kita mengenalnya sebagai hewan ternak yang masuk dalam kategori unggas, bersanding dengan ayam dan itik. Sebagai hewan ternak, angsa tak ada bedanya dengan ayam dan itik: nasibnya sama-sama berada di “tangan”  peternak. Disembelih, dimasak dan berakhir di atas meja makan untuk kemudian disantap adalah (mungkin) rangkaian takdir yang sudah tersirat bagi mereka.

Tapi angsa sebagai ‘individu’ bernasib beda dengan ayam dan itik. Tak selamanya angsa berakhir di meja makan. Angsa (setidaknya) bernasib lebih mujur karena ‘diabadikan’ dalam beberapa teks filsafat, terutama dalam filsafat pengetahuan atau epistemologi pada pembahasan penalaran induktif (inductive reasoning). Menjadi “bagian” dari filsafat adalah hal prestisius tersendiri mengingat filsafat, menurut Cicero, adalah ibu dari semua ilmu (the mother of all sciences).

Yang membuat angsa menjadi “bagian” dari filsafat dan “masuk” ke dalam teks-teks filsafat adalah karena bulunya. Bulu angsa dijadikan justifikasi penalaran induktif. Dan karena bulu angsa pula, penalaran induktif menemukan kelemahannya.

Induksi sendiri adalah bentuk penalaran yang bertolak dari premis-premis khusus (tunggal, partikular) untuk kemudian digeneralisir sebagai kesimpulan yang berlaku universal. Dalam konteks bulu angsa adalah contohnya.

Di beberapa tempat, bulu angsa berwarna putih. Di tempat A, bulu angsa berwarna putih dan di tempat B bulu angsa berwarna putih. Sehingga generalisasi atau kesimpulan yang diperoleh dari premis-premis tersebut adalah semua angsa berwarna putih.

‘Keyakinan’ atas semua angsa berwarna putih hanya berlaku beberapa waktu saja. Karena di tempat tertentu, di Australia tepatnya, terdapat angsa berwarna hitam. Setelah ditemukannya angsa berwarna hitam (meskipun satu ekor saja), maka premis ‘semua angsa berwarna putih’ adalah tidak benar, salah.

Begitulah kebenaran. Sering kali kebenaran dan kekeliruan berbeda tipis dan bahkan merupakan satu kesatuan: kebenaran adalah kekeliruan dan kekeliruan adalah kebenaran. Sebagaimana disampaikan Nietzsche (1844-1900) bahwa: kebenaran adalah kumpulan dari kekeliruan yang untuk sementara waktu dibenarkan. Semakin kita mencari kebenaran, yang ‘tampak’ justru bukan kebenaran, tapi kekeliruan. Atau mungkin kebenaran hanyalah ‘konsep’ yang dibuat manusia sendiri untuk digunakan secara mandiri dalam kehidupan?

Laiknya bulu angsa, bukan kebenaran yang semestinya ‘dicari’ untuk ‘dipercayai’ keberadaannya, tapi ‘kebutuhan untuk percaya’ itu sendiri bahwa: baik angsa putih dan angsa hitam adalah realitas yang harus diamini. Tidak semestinya “kebenaran awal” tentang ‘semua angsa berwarna putih’ lantas meniadakan keberadaan ‘angsa putih’ karena difalsifikasikan oleh “kebenaran lain” tentang ‘ada angsa berwarna hitam’.

Dalam konteks tentang kebenaran ini, Nietzsche sangat tidak suka terhadap ‘kebenaran’ dan segala bentuk fiksasi. Dia lebih suka (bahkan sangat suka sekali) bermain-main dengan topeng, dengan ‘bulu angsa’, sebagai representasi dari selubung dan permukaan yang plural, yang senantiasa menyamarkan kedalaman.

Nietzsche dan Persoalan Kebenaran

Karena ‘semua angsa berwarna putih’ adalah keliru, lebih tepatnya dikelirukan, tidak serta merta kita harus antipati terhadap kekeliruan tersebut. Bagaimanapun juga kekeliruan adalah bagian realitas yang tidak untuk ditiadakan, seperti halnya realitas tentang ‘angsa putih’ dan ‘angsa hitam’.
Kekeliruan tidak untuk disingkirkan ataupun ditiadakan. Kekeliruan adalah bagian dari realitas seperti halnya kebenaran. Jika kekeliruan “dibumihanguskan”, separuh kenyataan kehidupan turut musnah.

Sebagaimana dikatakan Nietzsche bahwa kekeliruan atau kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari kebenaran. Membuang penilaian-yang-salah adalah sama dengan menolak kehidupan (Wibowo, 2004: 112). Realitas, bagi Nietzsche, meniscayakan pluralitas, chaos, dan tidak teratur. Ada “kebenaran”, kekeliruan, kecampuradukan, ketidakjelasan dan sebagainya. Semuanya dalam keadaan dinamis, tidak statis.

Untuk itu, sikap yang pas menghadapi kehidupan, menurut Nietzsche, adalah Amor fati. Secara etimologis, Amor fati berasal dari dua suku kata: amor (cinta) dan fatum (nasib). Amor fati berarti mencintai apa saja yang datang atau singkatnya menerima realitas apa adanya. (Wibowo, 2004: 157)
Tetapi, menerima realitas apa adanya bukan meng-iya-kan kehidupan secara naif. Afor mati berarti meng-iya-kan sekaligus men-tidak-kan. Antara ‘iya’ dan ‘tidak’ terdapat ruang bernama ‘kewaspadaan’. Dan kewaspadaan itu sendiri merupakan pengambilan jarak atas realitas yang menimpa diri. Kewaspadaan dapat pula diartikan sebagai pengaktifan secara kontinyu ‘alarm kehati-hatian’.

Lebih lanjut, meng-iya-kan sekaligus men-tidak-kan realitas kehidupan digambarkan (secara lebih praksis) oleh Nietzsche dengan tiga metamorfosis roh: bagaimana roh mengubah diri ke unta, unta ke singa, dan akhirnya singa ke bayi. Roh unta adalah simbol dari sikap menerima secara naif, meng-iya-kan secara naif terhadap apa saja yang datang. Seperti halnya unta yang legowo tanpa protes dan mengaduh saat juragannya memberi beban berat.

Roh unta kemudian berubah menjadi roh singa, karena perihal kesadaran: sikap laiknya unta bila dilakukan secara berkelanjutan akan berakibat fatal terhadap kehidupan di masa depan, yakni menyiksa diri yang berujung pada kehancuran diri. Roh singa sebagai simbol dari sikap membantah, men-tidak-kan secara naif terhadap segala yang datang. Sedangkan, roh bayi adalah sikap “ideal” untuk menghadapi realitas kehidupan. Karena bayi adalah kepolosan dan pelupaan, yang dapat meng-iya-kan sekaligus men-tidak-kan apa saja yang datang. Tidak seluruhnya diterima, ada hal-hal yang ditidaki.

Demikianlah Nietzsche bergulat dengan kehidupan. Lantas pertanyaan selanjutnya: Bagaimana “kebenaran” menurut Nietzsche?

Jalan “Kebenaran”

Sebagai filsuf yang mendasarkan segala pemikirannya dengan asumsi tentang realitas yang plural, chaos, dan dinamis, Nietzsche sangat “benci” pada kebenaran realitas-akhir, qualitas occulta (kualitas tersembunyi dibalik sesuatu), idée fixe. Sebagaimana Plato dengan dunia Idea-nya, Kant dengan das ding an sich-nya dan kaum agamawan dengan Tuhannya. Bagi Nietzsche, manusia yang menciptakan (dan mendasarkan kehidupan pada) realitas-akhir atau idée fixe adalah manusia dekaden yang lari realitas kehidupan.

Dengan demikian, “kebenaran” dalam pemikiran Nietzsche bukanlah entitas metafisik-tunggal. Dan jika diradikalkan, “kebenaran” semestinya tidak ada dalam kamus Nietzsche. Karena “kebenaran” adalah konsep dan ‘konsep’ atau ‘kata’ sendiri adalah hanyalah permukaan, topeng, dan “bulu angsa” yang menyamarkan kedalaman.

Kalau pun kebenaran dipaksa harus ada dalam pemikiran filsafat Nietzsche,  maka yang ada adalah kebenaran-kebenaran (jamak, plural) (Wibowo, 2004: 125). Sehingga, ‘angsa putih’ dan ‘angsa hitam’ tidak saling meniadakan. Keduanya adalah “kebenaran” realitas yang harus di-iya-i sekaligus di-tidak-i.

Daftar Referensi

Wibowo, A. Setyo. 2004. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press
Sunardi, St. 1999. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS

Pollock, John L., Joseph Cruz. 1999. Contemporary Theories of Knowledge [Second Edition]. Rowman & Littlefield Publishers 

Comments