Hablun Minallah dan Hablun Minannas

Tema khotbah jumat kali ini tentang hubungan atau relasi. Yakni hubungan antara manusia dengan Allah, disebut hablun minallah dan hubungan sesama manusia, disebut hablun minannas. Yang pertama merupakan hubungan vertikal dengan manusia sebagai hamba menghamba kepada Tuhan atau Allah sebagai khaliq, sang pencipta. Hubungan jenis ini dikenal dengan sebutan ‘ibadah’. Sedangkan yang kedua merupakan hubungan horizontal yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bahwa manusia adalah sama (egalitè) dan ke-sama-an manusia tersebut meniscayakan hubungan atau relasi.

Sebagaimana hablun minallah, hablun minannas juga bernilai ‘ibadah’. Dengan catatan keberhubungan dilandaskan atas ikhlas dan tanpa pamrih serta ridho Allah. Bukan hubungan pragmatis yang hanya berdasarkan kalkulasi matematis: untung dan rugi. Berhubungan (baca: berteman dan bersaudara) tidak melulu persoalan dikotomis untung-rugi yang menyandarkan pada kepentingaan sesaat.

Ayat suci Al-Qur’an yang dikutip khotib, “tukang” khotbah, untuk menjelaskan ‘keadaan’ ideal hablun minallah sekaligus hablun minannas adalah surat Al-‘Asr ayat 1-3. Yang artinya kurang lebih seperti ini: (1) Demi masa (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.    

Di akhir khutbah, sang khotib menyarankan supaya hablun minallah dan hablun minannas tidak sebatas wacana. Harus dipraktekan. Harus diterjemahkan ke dalam bahasa keseharian manusia. Mungkin saran sang khotib ini sesuai dengan kenyataan hidup di Indonesia sekarang. Di mana manusia sudah mulai asing dengan kemanusiaannya sendiri. Jangankan nilai-nilai kemanusiaan, Tuhan telah “dideportasi” dari hidup manusia da digantikan tuhan-tuhan yang lain semacam: uang, jabatan, kehormatan serta kenikmatan semu lainnya.

Mendengar khotbah tersebut, saya teringat dengan kepedulian pemikiran filsafat era postmodernisme pada alteritas atau ‘yang lain’: eksistensi meniscayakan relasional. Bahwa manusia adalah makhluk relasional dan dalam relasi tersebut kita, manusia, mendefinisikan keberadaan. Keberadaan bukan hanya “aku” dan kesadaranku, persepsi dan pengalamanku.

Sebagaimana ucapan Jacques Derrida, filsuf postmodern yang ‘tak mau’ disebut postmodernis: “Begitu Anda menyapa yang lain, begitu Anda terbuka untuk masa depan, begitu Anda mempunyai pengalaman dengan waktu Anda menantikan masa depan, menantikan seseorang yang akan datang: itulah terbukanya pengalaman. Seseorang harus datang, sekarang harus datang. Keadilan dan perdamaian akan berkaitan dengan kedatangan orang lain ini, dengan janji.”  

Postmodernisme membuka segala kemungkinan tentang ‘yang lain’ setelah ditutup oleh modernisme dengan (salah satunya) cogito ergo sum-nya Rene Descartes.   

‘Yang lain’, menurut saya, adalah hablun minallah dan hablun minannas. Menghadirkan keduanya sama halnya mendefinisikan keberadaan kita, manusia. Apalah kita tanpa ‘yang lain’.






Comments