Korupsi dan Hegemoni Kehendak


Korupsi, sampai hari ini, diyakini sebagai salah satu penghambat kemajuan Indonesia. Telah banyak bukti pendukung pernyataan tersebut. Semisal pembangunan infrastruktur yang mangkrak akibat anggaran dikorupsi, kemudian berdampak pada akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan mengalami kesulitan; pengembangan bidang olahraga yang terhambat akibat pembangunan Sport Center Hambalang, pusat pendidikan olahraga di Indonesia, berada di lingkaran korupsi; dan masih banyak contoh kasus lainnya yang membuktikan bahwa korupsi adalah biang keladi dari stagnansi pembangunan Indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘korupsi’ diartikan “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.” Sementara orang yang ‘mengorupsi’ (menyelewengkan atau menggelapkan) disebut ‘koruptor’. ‘Mengorupsi’ merupakan aktivitas kerja manusia yang bernilai negatif. Kemunculannya, dalam terminologi filsafat manusia atau antropologi filsafat, adalah akibat dari sebab ketidakberdayaan manusia sebagai subjek otonom menghadapi godaan atau percobaan. Dengan kata lain, manusia terlena dan teperdaya oleh sesuatu di luar otonomi subjektifitasnya.   

Manusia, dengan segala misteri dan atributnya, dalam konteks ini diposisikan sebagai –meminjam istilahnya Fransiskus Borgias– homo volens (makhluk yang berkehendak). Di satu sisi, kehendak atau kemauan merupakan hal yang tak terpisahkan dari manusia. Namun di sisi lain, manusia sebagai subjek otonom mempunyai otoritas penuh atas kehendak. Yang kedua ini menuntut manusia terbebas dari pengaruh di luarnya: kehendak.

Dalam perjalanannya, manusia tidak selalu menjadi subjek otonom. Manusia terkadang tergiur akan godaan dari luar. Godaan atau cobaan adalah wajar dan sangat manusiawi. Godaan selalu bersentuhan langsung dengan kehendak atau kemauan manusia. Untuk memperdayai kehendak, ia menampakkan diri dalam wajah yang menyenangkan dan bentuk yang menarik. Tujuannya tak lain supaya kehendak manusia tergoda, kemudian manusia menuruti kehendak. Pada kondisi seperti ini, manusia tidak lagi otonom atau mandiri. Otonomi subjektifitas manusia telah digerogoti. Manusia telah diperbudak kehendak.

Lebih parah lagi jika manusia “tunduk” pada benda-benda lahiriah. Dalam hal ini, godaan menampakkan diri dalam bentuk benda (materi). Sebagaimana terjadi pada manusia saat ini dengan budaya konsumerisme-nya. Konsumerisme tidak lain adalah paham yang mensyaratkan keberadaan suatu benda, kemudian kita memanfaatkannya (mengonsumsi) demi kepuasan duniawi semata.

Kehendak --atau lebih tepatnya nafsu-- untuk mengonsumsi demi kepuasaan pada nantinya mengantarkan manusia pada apa yang dinamakan ketergantungan. Keadaan di mana manusia tergantung pada benda-benda lahiriah adalah peniadaan otonomi subjektifitas manusia. Dengan kata lain, manusia tidak lagi mengatur, tetapi diatur. Tidak lagi mengendalikan, melainkan dikendalikan. Atau menurut Fransiskus, “manusia tidak lagi menentukan dirinya sendiri (otonom), melainkan ditentukan oleh sesuatu yang lain (heteronom) yang berasal dari dunia benda-benda.”

Semua itu terjadi --keadaan tergoda dan keadaan ketergantungan-- akibat ketidak mampuan manusia sebagai subjek mengambil jarak dengan kehendak selaku objek. Jarak, dalam konteks ini, merupakan ruang di mana manusia berusaha menjaga otonomi subjektifitasnya. Usaha, semisal, dapat dilakukan melalui jalan menahan (puasa) dan penundaan pemenuhan kebutuhan.

Demikian pula yang terjadi pada manusia koruptor. Sebagai subjek otonom, ia tidak mampu menjaga otonominya. Godaan “berhasil” memperdayainya. Lebih-lebih godaan membungkus dirinya semenarik mungkin. Ada yang menampakkan diri dalam bentuk harta kekayaan, kehormatan di mata manusia lain dan ada pula yang menampakkan diri dalam bentuk ‘seksualitas’. Atau bahasa sederhana yang kita kenal “harta, tahta, dan wanita.” Di balik semua itu bersembunyi pleasure (kesenangan).

Tampilan godaan yang menarik itu menyentuh kehendak, kemudian menggerogotinya dan pada puncaknya manusia selaku subjek otonom “tunduk” kepadanya. Dalam kondisi seperti ini, keharusan moral dikesampingkan, kepatuhan hukum dinomorsekiankan. Yang ada dihadapannya hanyalah cara, cara, dan cara menggapai kesenangan. Lagi-lagi di balik kesenangan masih ada yang dikejar, yakni kepuasan. Walaupun, sejatinya manusia tidak akan pernah terpuaskan. Di sinilah manusia akan terjebak dalam lingkaran korupsi secara kontinyu. Korupsi akan dilakukan terus menerus selama tidak ketahuan, karena sebenarnya yang dikejar tidak ada. Kepuasan itu tidak ada. Yang ada hanya kehendak atau kemauan atau nafsu yang menampakkan diri dalam wajah kepuasan melalui dunia benda-benda.             

Ketika manusia mengorupsi, sebenarnya ia telah melakukan dehumanisasi terhadap dirinya sendiri. Ia telah menurunkan derajat martabat manusia sebagai homo volens menjadi makhluk yang dikehendaki dunia benda-benda. Sehingga, Ia tidak dapat disebut manusia mandiri yang mengatur dirinya sendiri. Ia tak lain adalah budak daripada dunia benda-benda.

Comments