Ketika Perempuan Membicarakan Dirinya
Perempuan adalah
keterbatasan. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga. Baik laki-laki maupun
perempuan memiliki keterbatasan. Baik laki-laki maupun perempuan adalah
maskulin sekaligus feminim. Meskipun dalam sejarah, perempuan hanya “diakui” sebagai
yang terbatas, yang tidak boleh melakukan ini-itu. Sementara laki-laki adalah
simbol kebebasan, berkehendak dan berkemauan bebas. Bebas melakukan sesuatu
yang tak dapat dilakukan perempuan. Sejarah mencatat kegagahan laki-laki, dominasi
laki-laki atas perempuan. Tidak banyak aktivitas yang dapat dilakukan
perempuan.
Di Indonesia sendiri,
di bawah rezim imperialisme-kolonialisme, perempuan adalah budak laki-laki.
Lebih dari itu, budak ekonomi sekaligus budak seks. Sehingga dikenal istilah 3
(tiga) Ur untuk melukiskan kehidupan perempuan: Dapur, Kasur, dan Sumur. Gerak
perempuan hanya terbatas dalam rumah saja. Mengurus rumah tangga: memasak, ghellut di atas ranjang dan
bersih-bersih. Semua itu “diabdikan” untuk laki-laki, sang suami. Sedangkan
laki-laki dapat melanglang buana, merantau ke negeri orang, mengenal banyak
warna, dan bahkan mencari kekasih-kekasih lain di daerah yang berbeda. Dengan
kalimat lain, perempuan adalah complementer
yang tugasnya melengkapi kehidupan laki-laki yang belum sempurna.
Seiring dengan
berjalannya waktu, penempatan perempuan sebagai “pelayan” sekaligus “pengabdi”
bagi laki-laki menuai kritikan. Di Indonesia, di bawah rezim kolonialisme
Belanda, muncullah sosok Raden Ajeng (RA) Kartini. Melalui surat-suratnya
kepada sesama perempuan-perempuan di Negera Belanda –yang kemudian kumpulan
suratnya diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap, Terbitlah
Terang”— Kartini mencurahkan segala keresahannya tentang perempuan yang
terbatas, tertindas dan teraniaya. Ia menuntut kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki.
Bahwa perempuan berhak mengenyam pendidikan: pergi ke sekolah, belajar di
kelas, bergaul dengan yang lain. Apa yang dilakukan oleh Kartini ini kemudian
dikenal dengan sebutan feminisme: (dalam arti luas) menuntut persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki.
Senada dengan yang
dilakukan RA Kartini, Ni Komang Ariani dan Aemelia Floria melakukan gugatan
atas penempatan posisi perempuan yang tidak fair.
Antara Ariani dan Floria dapat dikategorikan sama-sama pejuang feminisme,
meskipun keduanya berbeda. Arini adalah seorang penulis perempuan Indonesia
saat ini yang menjadikan persoalan klasik seputar perempuan sebagai topik dalam
tulisannya. Lewat antologi cerpen Bukan
Permaisuri-nya, ia hendak menyampaikan kehidupan perempuan yang dilematis:
antara belenggu tradisi dan tuntutan kekinian.
Seperti dalam kisah
“Nyoman Rindi” yang masih lajang pada umur 40 tahun karena mempertahankan
idealismenya –lebih tepatnya belum menemukan laki-laki yang menganggapnya
sebagai manusia sebenarnya, bukan seorang perempuan yang nantinya menjadi
pelayan bagi laki-laki. Karena, bagi Rindi, perempuan bukanlah manusia yang
sebenarnya. Rindi memilih untuk tidak menikah. Meskipun pilihannya tidak
serta-merta membebaskannya dari belenggu tradisi.
Selain “Nyoman Rindi”,
kisah yang tak kalah menarik adalah “SPG yang Berjualan dengan Bayinya”.
Dikisahkan seorang perempuan yang bekerja sebagai Sales Promotion Girl bernama Liana yang setiap hari terpaksa
membawa bayinya ke mall karena tuntutan ekonomi. Meskipun pada akhirnya Liana
bertemu dengan seseorang yang menjadikan ia dan anaknya sebagai model sebuah
produk iklan.
Dalam antologi cerpen
ini, Ariani menjadikan perempuan sebagai simbol realitas kehidupan. Tentang
kehidupan yang timpang, pernikahan yang tak selalu manis, ketidakadilan,
perjuangan dan mimpi-mimpi akan kesempurnaan serta i’tikad untuk perubahan
hidup ke arah yang lebih baik. Lewat antologi Bukan Permaisuri, Ariani hendak mengatakan bahwa perempuan adalah
ketimpangan kehidupan sekaligus solusinya melalui mimpi-mimpi, cita-cita dan
obsesi-obsesi.
Lain Ariani, lain pula
Floria. Jika Ariani adalah penulis perempuan kenamaan Indonesia saat ini yang
masih hidup, Floria bukanlah penulis dalam arti yang sebenarnya, ia adalah kekasih
Santo Agustinus, Bapak Gereja yang sangat dihormati sampai hari ini. Ya, Floria
telah tiada. Ia adalah ‘masa lalu’, lebih tepatnya ‘masa lalu’ Agustinus
sebelum “hijrah” dan kemudian menulis The
Confessions (Pengakuan-pengakuan).
Floria hidup di masa
Uskup dari Hippo itu hidup, sekitar abad ke- 4 M. Kehidupannya, walaupun
sedikit, terekam dalam magnum opus-nya
Santo Agustinus: The Confessions. Dalam
karya ini, Floria diposisikan sebagai sepotong kehidupan ‘masa lalu’ Agustinus
yang kelam, kotor dan penuh dosa, sehingga harus ditinggalkan, hijrah ke ‘masa
yang mencerahkan’, yakni menjadi Uskup.
Oleh karena ‘label’
yang unfair tersebut, Floria menulis
surat gugatan atas The Confessions-nya
Agustinus. Surat tersebut berjudul: Floria
Aemilia Aurelio Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem (Salam dari Floria
Aemilia kepada Aurelio Agustinus, Uskup Hippo), yang baru ditemukan oleh
Jostein Gaarder pada musim semi tahun 1995 di sebuah toko buku kuno kecil di
San Telmo, Buenos Aires, Argentina. Gaarder kemudian “membukukan” surat
tersebut dengan judul: Vita Brevis:
Sebuah Gugatan dari Cinta.
Saat pertama kali
ditemukan dan diinformasikan ke publik, Surat Floria tersebut menuai
kontroversi: otentisitasnya dipertanyakan walaupun kemudian dibuktikan oleh
Gaarder secara ilmiah dan isi-isi di dalamnya mengguncang kredo Gereja yang
menganggap Agustinus sebagai salah seorang yang kudus.
Dalam surat Floria
tersebut dikisahkan secara to the point dan
tanpa basa-basi tentang kehidupan Agustinus sebelum ‘hijrah’, dibaptis dan
kemudian menjadi Uskup. Lebih spesifiknya tentang dinamika rumah tangga
Agustinus dan Floria: tentang kenangan manis hubungan mereka berdua di
sepanjang Sungai Arno di Florentia, In
Florentia Floria floruit, di Florentia Floria berbunga-bunga; tentang
“perkawinan” keduanya yang tak direstui Monica –ibu Agustinus; dan tentang anak
keduanya, Adeodatus.
“Kalau tulisan
Agustinus mengambil judul Pengakuan
(Confessiones), tulisan Floria pantas disebut Pengakuan Balik,”
demikianlah komentar St. Sunardi dalam pengantar buku Gaarder, Vita Brevis: Sebuah Gugatan dari Cinta, edisi
bahasa Indonesia. Ya, surat Floria tersebut semata-mata ditulis dengan
keresahan hati bercampur perasaan cinta untuk Agustinus atas The Confessions yang menempatkan diri
Floria pada khususnya –dan perempuan pada umumnya— sebagai ‘hidup lama’ yang
perlu ditinggalkan demi ‘hidup baru’ kesucian.
Ada dua gagasan pokok yang
diutarakan Floria dalam suratnya. Pertama,
tentang perempuan dan seksualitas yang dinilai Agustinus sebagai ‘hidup dosa’,
bahwa perempuan adalah makhluk penggoda sehingga harus dijauhi. Floria
“megingatkan” –sekaligus mengajak Agustinus untuk merapikan kenangan dan
kehidupan ‘masa lalu’— bahwa hubungan asmaranya bukanlah ‘hubungan gelap’,
‘hubungan nafsu; dan anaknya, Adeodatus, bukanlah ‘anak haram’. Hubungan
asmaranya berpondasikan hubungan penuh cinta, Venus (bahkan cultivated Venus) dengan ketulusan saling menyayangi sebagai frame-nya sebagaimana tercermin dalam nama anaknya, Adeodatus: A deo datus, yang dianugerahkan oleh
Tuhan.
Kedua,
tentang
intervensi –lebih tepatnya kebencian— Monica terhadap hubungan Agustinus dan
Floria. Floria menggambarkan intervensi ini dengan mitos Oedipus dalam mitologi Yunani –yang juga diadopsi Sigmund Freud
dalam teori psikoanalisisnya: Oedipus Kompleks, bahwa seorang anak pertama kali
mengarahkan dorongan seksualnya pada ibunya dan rasa irinya pada sang ayah.
Dalam tragedi Oedipus Rex karya Sopochles dikisahkan
seorang anak bernama Oedipus menikah dengan ibunya sendiri, Jocasta, dan
membunuh ayahnya, Laius. Setelah menyadari akan perbuatannya, Oedipus
mencongkel kedua matanya dengan pin perhiasan milik Jocasta. Begitu pula,
menurut Floria, yang terjadi pada Agustinus.
Agustinus sangat
tergantung pada ibunya, Monica, sampai tidak dapat mengambil keputusan untuk
menikah dengan Floria. Bagi Agustinus, pernikahan secara sah dengan Floria
adalah kemustahilan karena sang ibu tidak akan pernah mengijinkannya. Monica
layaknya ‘zat’ yang membuat ‘air’ dan ‘minyak’ tak dapat bersatu: tabir
penghalang antara Agustinus dan Floria.
Selepas Monica
meninggal dunia, Agustinus mengalami ‘kekosongan’ ibu. Ia tidak memiliki tempat
bergantung. Akhirnya dipilihlah ‘Tuhan dari Nazareth’ sebagai ‘ibu barunya’,
sebagai tempat bergantung. Bagi Floria –sebagaimana dikatakan St. Sunardi—
dipilihnya Tuhan (baca: cara ber-Tuhan) oleh Agustinus yang demikian adalah
sebuah pelarian layaknya Oedipus mencongkel kedua matanya setelah sadar akan
perbuatannya: menikah ibunya sendiri dan membunuh ayahnya. Dua gagasan pokok
Floria di atas, kiranya jelas sebagai upaya ‘pemberontakan’ atas nama cinta,
ketulusan, dan harga diri seorang perempuan yang “diinjak-injak”.
Baik Ariani dan Floria tidak
memilih diam. Keduanya memilih untuk bergerak, memperbincangkan ‘dirinya
sendiri’ demi melawan stigma negatif terhadap perempuan. Mereka berdua memilih
untuk tidak bugkam sambil “menirukan” perkataan Simone de Beauvoir (1908-1986):
“Seseorang bukan dilahirkan sebagai, tetapi lebih menjadi seorang perempuan.”
Daftar
Rujukan
Ariani, Ni Komang.
2012. Bukan Permaisuri. Jakarta:
Kompas.
Gaarder, Jostein. 2004.
Vita Brevis: Sebuah Gugatan dari Cinta.
[penerj. VAM Kaihatu]. Yogyakarta: Jalasutra.
Sunardi, St. 2004. “Hidup ini Singkat Floria...: Perempuan
dalam Hidup Santo Agustinus” dalam Jostein Gaarder. Vita Brevis: Sebuah Gugatan dari Cinta. [penerj. VAM Kaihatu].
Yogyakarta: Jalasutra.
Comments
Post a Comment