Andai Tiap Hari adalah Idul Fitri



Andai tiap hari adalah Idul Fitri, semua orang berbahagia. Kumpul bersama keluarga. Saling memberi dan menerima maaf dengan tetangga, teman, dan rekan kerja. Salam-salaman dengan siapa saja tanpa pandang bulu, baik yang “bulunya” halus-mulus karena senantiasa tersentuh perawatan ataupun “bulu” agak kasar (bahkan sangat kasar) karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk perawatan.

Tidak ada kosakata permusuhan, perselisihan, dan pertikaian dalam kamus Idul Fitri. Semuanya rukun. Saling hujat antar sesama berhenti, diganti oleh pertemuan penuh canda tawa dan penuh senyuman. Perdebatan yang berujung saling memaki ditelan bumi. Yang sering mengkafirkan orang lain tidak lagi  mengkafirkan, (seakan-akan atau barangkali) mentolerir kekafiran dan membiarkannya bernafas lega di muka bumi, atau mungkin sibuk membuat sekaligus menghabiskan opor ayam dan kue lebaran sehingga tidak sempat mengkafirkan. “Buat apa mengkafirkan orang lain, toh tidak ada manfaatnya, yang ada hanyalah mulut haus dan perut keroncongan. Lebih baik makan opor ayam dan menghabiskan kue lebaran tetangga, hitung-hitung investasi untuk hidup besok pagi,” mungkin mereka akan berseloroh demikian. Ini hanya kemungkinan dan semata-mata pendapat pribadi saya sendiri lho ya.

Di hari raya Idul Fitri tidak ada kelaparan. Makanan melimpah ruah. Ada jajanan ndeso bin tradisional bin klasik, ada jajanan modern, bahkan ada jajanan posmodern. Terkait periodeisasi makanan ini, saya sendiri gag begitu paham. Yang saya paham adalah jika ada makanan, makanlah selagi itu halal dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Semua orang kenyang. Karena makanan tidak disimpan di bagasi sendiri seperti hari-hari di luar lebaran, melainkan dibagikan kepada orang lain. Layaknya maaf-maafan, semua orang memberi sekaligus menerima makanan satu sama lain dengan suka rela dan lapang dada.

Tidak usah khawatir tidak makan di hari lebaran. Bahkan bagi golongan fakir, miskin, ‘amil, muallaf, budak, gharim (orang yang punya hutang gede), fi sabilillah (orang yang berjihad di jalan Allah) dan ibnu sabil (musafir yang berjalan di jalan Allah), dapat dipastikan dapur akan ngebhûl hingga kesokan harinya karena “dijamin” dengan zakat fitrah. Dapat dibayangkan bagaimana kontribusi Idul Fitri terhadap Indonesia, apalagi syari’at Islam diterapkan di bumi pertiwi ini, bayangkan!

Yang tak kalah penting di hari lebaran adalah masjid penuh dengan jama’ah. Tidak hanya penuh, membeludak dan sesak. Ruang utama tidak mencukupi, digelarlah tikar atau terpal di halaman masjid. Tikar juga terkadang tidak dapat menampung jama’ah, dibagikanlah koran-koran bekas atau bagi jama’ah yang sengaja membawa sajadah, direlakanlah sajadahnya untuk bersentuhan langsung dengan tanah. Hanya demi shalat jama’ah idul fitri.

Selain pakaian baru, di masjid juga dapat dijumpai wajah-wajah baru namun bukan orang baru. Mereka adalah orang-orang yang merelakan idealismenya untuk semata-mata shalat jamaah idul fitri. Idealisme untuk kadang-kadang, jarang dan bahkan tidak sama sekali shalat fardhu. Idealisme untuk atheis. Idealisme untuk sokêr dengan masjid. Semuanya berkumpul di masjid untuk shalat idul fitri. Tidak ada sekat-sekat, apalagi gap, antara yang berpuasa dengan yang tidak, antara yang baca takbirnya kenceng dengan yang kalem. Semuanya sama. Sama-sama diperbolehkan untuk shalat jamaah idul fitri di masjid. Dan sama-sama dipersilahkan untuk shalat di shaf terdepan dengan syarat datang lebih awal. Karena masjid adalah simbol sekaligus nilai keanekaragaman manusia. Tidak hanya orang muslim, non-muslim dapat beribadah di masjid (asalkan pakek sarung dan baju koko serta lengkap dengan pecinya, heuheu). Warbiasa Idul Fitri ini.

Sebaliknya: andai tiap hari adalah idul fitri, hal-hal yang duniawi oriented akan macet. Pabrik-pabrik tidak akan berproduksi karena karyawannya sedang beridul fitri ria. Jalanan menjadi lenggang karena semua orang berkumpul di rumah dengan keluarga, beribadah di masjid. Imbasnya adalah pom bensin sepi alias sunyi. Pertengkaran dan perselisihan tidak ada karena saling (dan selalu) memaafkan sehingga hakim dan jaksa di pengadilan tidak perlu. Juga polisi tidak perlu (apalagi polisi lalu lintas yang masih diragukan apakah kita butuh atau tidak). Dengan demikian, idul fitri tidak hanya membawa berkah sebagaimana kata ustad-ustad di teve, tapi juga musibah (dengan catatan).

Oh ya, satu lagi, idul fitri adalah hari di mana kaum jomblo diadili dengan hanya satu pertanyaan: “mana pasanganmu?” dan jawabannya adalah lebih sulit dari pertanyaan dalam kubur yang telah bocor seperti soal UN.  

19 Juli 2015

    

Comments