Alarm untuk Modernitas tanpa Batas


Data Buku
Judul: Dunia Anna: Sebuah Novel Filsafat Semesta
Pengarang: Jostein Gaarder
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Cet. I, Oktober 2014
Jumlah Halaman: 244 Halaman
Penerjemah: Irwan Syahrir
ISBN: 9789794338421

Dalam sejarah periodisasi filsafat, abad pertengahan dikenal sebagai the dark age (abad kegelapan). Pada periode ini filsafat bersifat teosentris dan hanya dijadikan alat untuk menjelaskan dogma gereja. Gereja, dalam hal ini merepresentasikan institusi keagaaman sekaligus politik (negara), mengekang kebebasan berpikir.

Katakanlah bagaimana Galileo Galilei (1564-1642) dihukum mati karena dengan teropongnya dapat membuktikan teori heliosentrisme Copernicus (1473-1543). Di bidang politik lebih parah lagi: gereja dijadikan tempat memperkaya diri oleh para elitnya dengan menjual surat penebusan dosa. Dalam keadaan seperti ini, filsafat pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya mengalami stagnansi.

Sebagai respon atas stagnansi, maka lahirlah zaman modern dengan gerakan renaisans untuk bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, dan gerakan reformasi untuk bidang sosial-politik.
Ada tiga hal pokok yang menjadi semangat modernitas, yaitu: subjektifitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektifitas dimaksudkan manusia menjadi subjek atas dirinya sendiri dan subjek (baca: pusat) atas segala realitas. Dengan kritik dimaksudkan sebagai ketidakpuasaan terhadap abad pertengahan yang menafikan kemampuan akal (rasio). Pada zaman modern akal tidak hanya dijadikan sebagai sumber pengetahun, tapi juga untuk membebaskan individu dari tradisi. Dengan kata lain, meminjam perkataan Immanuel Kant, zaman modern adalah keadaan “terbangun dari tidur dogmatis”.

Sementara kemajuan merupakan arah tujuan dari subjektifitas dan kritik. Kemajuan mengarahkan subjektifitas dan kritik kepada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dengan ‘kemajuan’, subjektifitas dan kritik bersifat teleologis, sehingga tidak terkesan hanya menaruh kebencian kepada masa lalu (abad pertengahan), tetapi juga menaruh harapan-harapan di masa depan. Kemajuan, dalam konteks ini, diasosiasikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan, diyakini, niscaya akan menghasilkan kemajuan moral dan kebudayaan.

Atas dasar semangat modernitas tersebut, manusia sebagai subjek-bebas semakin “percaya diri”. Bahwa di luar dirinya dianggap sebagai objek yang harus dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia. Untuk memanfaatkan objek (termasuk alam), manusia menggunakan pengetahuaannya. Dengan pengetahuan, manusia dapat menguasai realitas. Sebagaimana adagium yang diucapkan filsuf modern, Francis Bacon (1561–1626): knowledge is power (pengetahuan adalah kuasa).

Dalam hal ini pengetahuan hanya sekedar instrumental, sedangkan kemaslahatan, kemudahan, dan kepuasan manusia adalah tujuannya. Pada tahap selanjutnya pengetahuan manusia berjalan beriringan dengan sifat serakahnya, juga tujuan utopisnya: kepuasan. Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi alam secara terus-menerus tanpa mengenal batas. Dampak nyata yang mulai kita rasakan saat ini pada tataran global adalah perubahan iklim, es kutub mulai mencair, suhu bumi semakin panas dan lain sebagainya. Jika gejala-gejala seperti ini terus berlangsung seiring dengan eksploitasi yang tak kunjung rampung, dapat dibayangkan bagaimana keadaan bumi di masa depan.

Berangkat dari gejala-gejala “mengkhawatirkan” di atas, Jostein Gaarder –lewat novelnya: Anna. En Fabel om klodens klima og miljø (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Dunia Anna: Sebuah Novel Filsafat Semesta)– mencoba memperingatkan aktivitas manusia saat ini yang kebablasan dalam mengeksploitasi alam.

Dalam novel ini, Gaarder (seakan-akan) menghadirkan dua tokoh utama yang hidup pada zaman berbeda. Tokoh pertama bernama Anna, hidup pada tahun 2012. Sementara tokoh kedua bernama Nova, hidup pada tahun 2082. Keduanya masih berada dalam satu ikatan keluarga dengan Anna sebagai nenek buyut Nova. Tidak sebatas ikatan keluarga, keduanya menjalin interaksi yang bukan sekedar interaksi biasa.

Jika diperhatikan secara seksama, dalam novel ini rupanya hanya ada satu tokoh utama. Bukan dua. Yakni Anna. Sedangkan Nova hanyalah sosok yang menggantikan Anna dalam mimpi-mimpinya yang hidup pada zaman berbeda. Keduanya adalah sama sekaligus berbeda. Sama karena dalam mimpi, pada tahun 2082, Anna adalah Nova. Berbeda karena Anna merepresentasikan zaman kita hidup saat ini yang masih dipenuhi kerakusan dan keserakahan manusia sebagai subjek dalam mengeksploitasi alam sebagai objek, dan Nova merepresentasikan kehidupan masa depan, kehidupan anak cucu kita, yang penuh dengan kerusakan alam.

Dilukiskan kehidupan Nova dipenuhi dengan kepunahan flora dan fauna secara besar-besaran dan perubahan iklim secara drastis yang mengakibatkan es di daerah kutub mencair sehingga air laut meninggi dan menenggelami pulau-pulau. Betapa meresahkan dan memuakkan kehidupan yang dijalani Nova. Hal ini berbeda dengan kehidupan Anna yang masih dapat melihat keindahan alam dan kekayaan flora dan fauna, meskipun di sana-sini sudah terjadi tanda-tanda rusaknya alam akibat eksploitasi tanpa batas.   


Melalui novel ini, sebenarnya Gaarder ingin menyampaikan bahwa alam tidak hanya milik Anna, melainkan juga milik Nova. Sebelum Nova, juga anak cucu kita, tidak menikmati keindahan alam sebagaimana Anna, juga kita, rasakan, marilah kita bersama-sama mencegah kerusakan itu. Layaknya suatu adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Semua kerusakan itu dapat dicegah dengan –meminjam istilahnya Gaarder dalam novel ini— “cincin Aladin”, yakni: sikap mental yang mengacu kepada “bagaimana perasaan kita jika kita hidup pada zaman di mana ‘Nova’ hidup dengan segala kerusakan yang ada”, sehingga kita memilih untuk berbuat baik kepada alam supaya anak cucu kita dapat merasakan sebagaimana kita rasakan saat ini.

Comments