Tuhan tak Perlu Disifati
Saya terlahir di
lingkungan Islam tradisonalis. Tepatnya NU. Pendidikan saya pun ditempuh di
lingkungan NU. Setamat SD, saya hijrah ke Probolinggo untuk melanjutkan studi
di suatu pondok pesantren di sana. Ya, PP Nurul Jadid namanya. Terletak di
kecamatan Paiton, sebelah barat PLTU Paiton yang kemasyhurannya tak tertandingi
karena menjadi pembangkit listrik Jawa-Bali. Dapat dibayangkan bagaimana
kehidupan Jawa dan Bali tanpanya di zaman yang meniscayakan cahaya dalah
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan tingkat SMP
dan SMA saya tamatkan di pondok pesantren yang didirikan oleh KH Zaini Mun’im
ini. Sekitar enam (6) tahun saya jalani suka-duka di tempat ini. Karena
berlatar belakang NU, sudah barang tentu saya hafal dan paham betul teologi
Asy’ariah dan Maturidiah yang juga dijadikan imam tauhid di organisasi
berlambang bola dunia ini. Di pesantren ini saya mengenal ‘aqoidhul khomsin (50 ‘aqoid). Terdiri dari: 20 sifat wajib bagi
Allah, 20 sifat mustahilNya, dan 1 sifat jaizNya serta 4 sifat wajib bagi
rasul, 4 sifat mustahilnya dan 1 sifat jaiznya.
Saya hafal di luar
kepala kelima puluh sifat itu. Sampai saat ini. Saya menghafalnya dalam bentuk
sajak. Nadhoman dalam bahasa pesantren. Saban hari saya merapalkan nadhom itu
karena kata santri senior tidak perlu dihafalkan, cukup dibiasakan dibaca
setiap hari, ujung-ujungnya pasti hafal. Tidak hanya sebatas hafal dan paham, saya
juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut mengandung kesempurnaan yang hanya dan
hanya dimiliki oleh Allah SWT. Tuhan sebenar-benarnya tuhan.
Kitab utama yang
menjadi rujukan adalah kitab kecil berjudul ‘Aqidatul
Awam. Artinya kurang lebih aqidah (tauhid) bagi orang awam (orang
biasa-biasa saja dalam paham keilmuannya, termasuk saya). Penulisnya? Saya
sudah lupa siapa arsitek dibalik kitab mungil itu. Tapi konon kitab mungil itu
setengahnya merupakan karya asli Nabi Muhammad. Menurut penuturan santri
senior, si penulis pada suatu malam bermimpi berjumpa dengan Rasulullah dan
entah kebetulan atau tidak Rasullah menyampaikan “sepatah dua patah” kalimat
yang kemudian oleh di penulis dituangkan dalam kitab mungil itu.
Kitab itu tidak hanya
berisi ‘aqoidul khomsin, tapi juga
mengandung silsilah keluarga Nabi Muhammad (mulai dari kakek, ibu, ayah,
istri-istri, dan putra-putri nabi), nama-nama Nabi dan malaikat. Kurang lebih
begitu isi kandungan kitab yang lebih mirip buku tabungan saya semasa SD dulu.
Selepas SMA, saya
melanjutkan studi di Fakultas Filsafat UGM. Tentang mengapa saya memilih
jurusan filsafat, tidak akan saya ceritak di sini. Yang pasti, di kampus
kerakyatan ini saya mulai bertemu dengan pelbagai macam aliran. Tidak hanya
aliran “muslim”, aliran “non-muslim” malah mendominasi. Wajarlah karena di sini
kampus (katanya) umum. Di kampus ini pula saya dipertemukan dengan HMI. Juga
teologi inklusif Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang terselip dalam Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) HMI. Lewat ini saya mulai lebih terbuka dan mempercayainya.
Teologi inklusif Cak
Nur, kurang lebih berbunyi seperti ini: semua agama sama, sama-sama mempunyai
satu Tuhan yang juga sama. Cak Nur menganalogikan ini dengan apik lewat roda pedati. Titik tengah (sentral)
roda pedati adalah Tuhan yang Satu, sementara ruji-rujinya merupakan
agama-agama sebagai jalan (cara) menuju titik sentral itu. Sangat liberal
bukan? Dan saya meyakini ini. Sehingga tercermin dari sikap keseharian saya
yang terbuka untuk semua golongan.
Selain berkenalan
dengan pemikiran Cak Nur, saya juga “berjabat tangan” dengan teologi negatif
Ibn ‘Arabi. Dikatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. (Plak! Bagai tamparan keras ke muka saya yang telah mempelajari
sifat-sifat Tuhan selama enam tahun lamanya di pesantren) Dan Tuhan tidak boleh
bersifat, karena justru dengan sifat, Tuhan dibatasi “sepak terjangnya”. Oleh
kita, ya manusia, kitalah yang membatasinya dengan konsepsi sifat yang
sedemikian rupa. Bagaimana mungkin kita yang terbatas membatasi Tuhan yang tak
terbatas dan maha sempurna dengan konsepsi-konsepsi semacam itu.
Sebagai tambahan, saya
membaca teologi negatif Ibn ‘Arabi ini dari buku Muhammad Al-Fayyadl. Meskipun
belum membaca keseluruhan. Tapi inti yang ditangkap seperti itu. Dengan mengutip
perkataan Al-Fayyadl dalam buku itu, “Tuhan merupakan “negativitas” dalam
bentuknya yang paling negatif.” Atau meminjam perkataan Bertrand Russell, bahwa
Tuhan hanya dapat dipahami dengan diam. Ya diam.
Sampai di sini,
kesimpulan saya hingga saat ini dalam hidup adalah ketidakberlakuan teologi
Asy’ariah dan pemberlakuan teologi negatif Ibn ‘Arabi bagi diri saya sendiri.
17
Juni 2015
Comments
Post a Comment