Takjil Perdana



Sebenarnya sudah dari awal puasa saya ingin jelajah takjil. Tapi apalah daya hari pertama puasa saya belum bisa melaksanakan keinginan yang terus-menerus merengek di dalam dada ini. Maklum saya kan suka merengek jika ada keinginan tidak terkabulkan. Saya berprinsip: rengekan bukan tanda cengeng, tapi simbol tauhid yang lurus, karena tidak semua dapat manusia lakukan, maka merengeklah pada Tuhan sebagi simbol tauhid yang lurus.

Berbicara tentang tauhid yang lurus, saya teringat dengan teologi inklusifnya Nurcholis Madjid (Cak Nur). Inti yang saya tangkap dari pemikiran Cak Nur adalah bahwa bertuhan itu seperti roda pedati dengan jeruji sebagai semua agama, simbol berbagai macam cara, dan titik pusat roda sebagai tujuan yang sama, yakni Yang Supranatural alias Tuhan alias Allah alias Yesus alias Yahweh dan alias-alias yang lain. Sangat terbuka bukan tauhidnya? Pertama kali memahami pemikiran Cak Nur saya tercengang beberapa saat. Bukan karena susah dipahami, melainkan sayanya yang pekok.

Sebagai mahasiswa filsafat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, saya menganggap inilah cara bertuhan yang dicari selama ini. Bertuhan kepada yang sebetul-betulnya Tuhan. Selama ini saya bertuhan hanya kepada Tuhannya orang Islam. Bukan Tuhan dari segala sesuatu dan segala agama. Bukankah telah nyata firman Allah (eh firman Allah apa hadis nabi ya) yang intinya begini: Jika Aku menghendaki umat manusia sama, maka Aku bisa, tapi Aku tidak menghendakinya. Dari ayat ini sudah jelas bahwa perbedaan dan keberagaman adalah sebuah keniscayaan. Sangat serakah jika kita umat muslim menganggap Tuhan kita yang benar dan surga telah dikavling hanya untuk umat muslim, itupun yang taat saja. Sangat serakah bukan? Coba deh renungi saja sekali lagi. Janga pakek emosi, apalagi sentimen.

Kembali ke masalah takjil. Di hari kedua saya tidak bisa juga. Karena diajak buka bersama (bukber) sama beberapa kawan dari fakultas kluster agro. Meskipun diajak, tapi toh saya harus bayar sendiri dengan uang di dompet yang sudah jarang populasinya. Akhirnya takjil perdana di bulan ramadhan perdana pula di Jogja ini jatuh pada puasa hari ketiga. Hari Sabtu. Tanggal 3 Ramadhan 1436 H bertepatan pada tanggal 20 Juni 2015.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, saya beserta dua teman, namanya Taufiq dan Iqbal, berangkat ke masjid kampus ugm. Tujuan kami bertiga hanya satu: takjilan alias makan gratis-tis. Jika ditengah perjalanan kami bertemu teman yang lain, itu hanya bumbu kehidupan. Begitu pula jika sesampainya di masjid masih ada kajian sore ramadhan, itupun juga bumbu kehidupan. Toh saya sudah sangat sering mendengar ceramah dari Kiai Kampung yang kealimannya tak kalah dengan Kiai Kampus, apalagi Kiai Teve yang gag jelas belajar agama dari mana itu.

Kami datang lebih awal. Pukul 16.30. Takut gag kebagian kupon. Ya kupon dijadikan syarat untuk mendapat jatah pembagian BLT, eh bukan, takjil deng. Menurut panitia ramadhan di kampus, pihak maskam menyediakan 1000 porsi untuk buka puasa. Oleh karena demi kemaslahatan dan ketertiban bersama, dikeluarkanlah kupon supaya tertib dan tidak rebutan seperti anak kecil. Gitu katanya panitia-panitia itu.

Kami (masih) tidak memperdulikan kalok di ruang utama masjid ada kajian. Yang kami pedulikan adalah gerak-gerik panitia yang lagi mempersiapakan takjil. Sembari menunggu aba-aba dari panitia sebagai pertanda pembagian takjil, saya melihat jam digital di hp. Pukul 17.00. Pas. (Katanya) kemaren-kemarennya takjil dibagikan tepat pukul 17.15. Berarti kurang lima belas menit lagi.

Lima belas menit kemudian......

Panitia masih sibuk dengan menata takjil. Rupanya kali ini agak molor. Tidak seperti kemaren-kemarennya. Mungkin lima menit lagi atau paling lama sepuluh menit lagi. Tanpa disangka-sangka, panitia bergerak ke tempat yang telah disediakan seraya melambaikan tangan kepada kerumunan orang di serambi masjid bagian selatan. Tanpa komando, orang-orang bergerak. Berjejer dua baris memanjang. Mengantri. Sebagai seorang yang gigih dalam mencapai tujuan, saya bergeser cepat ke depan. Langsung masuk barisan. Memberikan kupon dan akhirnya “menyambar” sebungkus nasi dan segelas teh anget.

Apa gerangan isi nasi bungkus ini? Rasa penasaran tak dapat saya sembunyikan. Saya memandang sisi kanan-kiri dan bawah-atas. Tidak ada tanda-tanda yang dapat menggoyang lidah. Saya coba dekatkan nasi bungkus itu ke hidung, juga tidak ada bau menyengat. Berdasarkan penuturan dari teman-teman yang telah sejak hari pertama puasa takjilan di sini, didapatkan data sebagai berikut: hari pertama: lauknya ayam plus mie dan hari kedua: ikan laut plus oseng-oseng kacang panjang.

Lantas hari ketiga apa? (jangan-jangan) Saya telah menduga, tapi ah jangan sampai terjadi lah. Saya sudah sangat sering makan makanan jenis ini di burjo, warung bubur kacang ijo lebih lengkapnya. Pukul 17.34. Adzan magrib berkumandang. Saya buka bungkusan yang direkatkan oleh dua biji steples ini. Dalam hati sembari berucap, jangan sampai perkiraanku terkabul. Saya coba intip-intip terlebih dahulu melalui biji steples yang telah terbuka satu. Eh, ternyata pemirsa, dugaan saya sangat benar. Menu takjil hari ketiga di maskam: nasi putih, telor ceplok dengan “hiasan” warna hijau di dalamnya, sepotong tempe, dan oseng-oseng kacang panjang. Sebagai hamba Tuhan yang selalu dan hanya menggantungkan hidup kepada-Nya (idealnya sih begitu, entah realitanya gimana), saya bersyukur dengan mengucap “Alhamdulillahirobiila’alamin.”

Yang gratis mah tetap nikmat. Foto oleh: @melfinceng

19 Juni 2015              

Comments