Syekh Arab



Tidak seperti biasanya kajian sore ramadhan di masjid kampus UGM menggunakan TOA-TOA masjid. Diperdengarkan tidak hanya untuk orang-orang yang berada di ruang utama masjid, tapi juga untuk orang-orang di sekitar masjid. Padahal kajian sore sebelum-sebelumnya hanya menggunakan pengeras suara protebel: hanya dua sound beserta penyanggahnya tegak berdiri di samping kanan dan kiri sang pemateri. Jangankan menggunakan TOA masjid, menggunakan sound-sound kecil yang dipasang menyebar secara permanen di langit-langit masjid saja tidak. TOA-TOA masjid yang bersifat permanen hanya digunakan untuk adzan, ceramah shalat taraweh dan shalat taraweh itu sendiri.

Usut punya usut, rupanya maskam kedatangan tamu istimewa: seorang syekh arab dari Palestina. Sebagaimana seorang arab, dia menggunakan baju kurung (istilahnya: gamis) berwarna putih, tutup kepala juga berwarna putih dengan tali berwarna merah-putih melingkar di kepala. Mukanya rada-rada nggak jelas. Maklumlah saya kan duduk di paling belakang di antara jemaah lainnya. Yang jelas adalah mukanya didominasi bulu-bulu hitam. Berjanggut hitam dan brewoknya juga hitam.  

Sebenarnya saya ogah ikut kajian sore ramadhan di maskam ini. Lebih tepatnya males mendengarkan ceramah yang isinya itu-itu saja. Kalok gag masalah Indonesia, ya masalah fenomena keislaman di Indonesia. Saya ke maskam ini bukan untuk mendengarkan orang ngoceh ngalur ngidul tanpa solusi yang pasti, tapi untuk buka puasa gratis. Takjil. Saya jujur aja. Buat apa disembunyikan toh gag akan mempengaruhi wacana dewan kita di senayan untuk mengadakan dana aspirasi sebesar 20 miliyar per kepala per daerah pemilihan per tahun. Tapi kali ini lain pembicaranya. Istimewa. Seorang yang fasih berbicara bahasa arab. Dari saking fasihnya harus ada orang yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Dari syekh arab tersebut, demikianlah saya menyebutnya, dipaparkan tentang keadaan Palestina, terutama jalur Gaza, yang masih bergejolak dengan Israel. (Sudah saya bilang tadi kalok pembicara kali ini betul-betul istimewa seperti Jogja).

Di Palestina, katanya, semua orang berjuang melawan kebiadaban Israel. Laki-laki dan perempuan berjuang. Orang tua berjuang. Orang dewasa berjuang. Mahasiswa berjuang. Bahkan anak sekolahan yang masih cilik berjuang. Tentu dengan caranya masing-masing. Terkait yang terakhir, diputarkan video dokumenter tentang bagaimana seorang anak kecil perempuan lagi berbicara dengan nada lantang nan heroik di depan tentara-tentara Israel. Sangat heroik bukan? Saya saja yang menontonnya merasa geram sekaligus malu. Geram ingin menerkam habis-habisan tentara-tentara Israel itu. Malu karena saya yang lebih dewasa darinya tidak dapat berbuat melebihi dia yang masih cilik, setidaknya dalam segi mental saja saya merasa kalah.

Selain memaparkan tentang kondisi Palestina kekinian, syekh arab itu juga memaparkan tentang bagaimana pengecutnya tentara Israel. Mereka para tentara Israel, katanya, adalah pengecut karena tidak turun langsung ke Palestina, melainkan dengan senjata. Pada bagian ini saya yang salah dengar atau dianya yang pekok. Teruntuk syekh arab, sekarang ini zaman modern, bahkan ada yang mengatakan post-modern. Salah satu produk modern adalah teknologi, termasuk senjata. Fungsi teknologi adalah mempermudah manusia. Nah, buat apa jauh-jauh datang ke Palestina jika dengan senjata saja Palestina dapat dimusnahkan. Hanya orang yang pekok saja (bukan heroik) yang datang ke daerah lawan tanpa senjata modern. Ingat syekh nyawa itu cuman satu, jangan sia-siakan itu. Dasar arab, pekok lagi.

(Note: dengan perkataan ini saya tidak bermaksud mendukung Israel. Juga Palestina. Saya hanya mengoreksi cara berpikir si syekh arab itu tadi. Saya mendukung semua orang, golongan dan bangsa yang pro kemanusiaan. Tentu kemanusiaan yang adil dan beradab. Itu saja.)

Kajian sore ditutup dengan do’a yang dipimpin oleh syekh arab sendiri. Sangat fasih dan (kelihatan) khusyuk. Meskipun telah selesai, namun masih menyisakan dua hal mengganjal dalam benak saya. Keduanya adalah perihal perang Palestina-Israel dan si syekh arab itu sendiri.

Perihal yang pertama, saya kok tidak suka dengan pejelasan syekh arab tersebut yang berbau propagandis dan kepentingan. Jamaah, termasuk saya, digiring untuk membeci pihak tertentu, yakni Israel. Saya sendiri toh masih bingung tentang perang gaza: betulkah perang gaza semata-mata konflik antar agama (Yahudi versus Islam)? atau dibalik itu semua ada kepentingan global? Saya masih bertanya-tanya ada apa di gaza dan di palestina sampek diperebutkan selama puluhan tahun lamanya.

Perihal yang kedua, saya kok meragukan ke-syekh-an syekh arab tersebut yang belakangan diketahui bernama Syekh Hasyim. (Ingat lho ya syekh itu gelar sosial, bukan gelar sembarangan). Seorang syekh kok isi ceramahnya gag bermutu banget layaknya seorang caleg yang sedang berkampanye demi menggiring suara massa. Syekh kok menyebar propaganda. Syekh kok berpihak. Syekh kok dan kok kok lainnya.

Yang menambah saya ragu akan ke-syekh-an syekh tersebut adalah di akhir acara sang moderator menyampaikan “permohonan” donasi untuk Palestina dari Jamaah dengan diikuti beberapa orang berkeliling untuk mengumpulkan donasi. Dalam hati saya berkata: ini syekh apa danus sih!. Jangan-jangan dia panitia bagian danus salah satu lembaga kemanusiaan di Palestina. Jika iya, kenapa tak katakan saja bahwa dia diutus untuk mencari dana, bukan untuk menjadi syekh, berceramah lagi. Ah sudahlah....

Sekali lagi: seorang syekh bukan hanya berpakaian ala orang arab: gamisan dan pakek “kerudung”. Jika syekh demikian, maka semua orang arab adalah syekh. Bahkan semua orang dunia adalah syekh dengan syarat berpakaian ala orang arab. Syekh lebih dari itu. Syekh adalah gelar sosial yang disematkan masyarakat karena keilmuan yang dimiliki luas dan ketakwaan seseorang kepada Allah.

27 Juni 2015  
      

Comments