Suatu Sore di Masjid Nurul Ashri



Setelah kemaren dua kali mengikuti kajian ramadhan di masjid kampus UGM, kali ini saya ingin mencoba atmosfer baru, namun tetap dalam nuansa ramadhan (Sebenarnya sih kajian sore ramadhan hanyalah modus demi sebuah takjil saja). (Saya mah bingung: apakah ini pengajian atau pengkajian, ah sudahlah lewatkan saja, kan yang penting bukan ini, tapi itu, iya itu). Masjid yang beruntung terpilih karena memikat saya adalah Masjid Nurul Ashri. Terletak di Deresan Yogyakarta, satu daerah dengan Penerbit Kanisius, penerbit kepunyaan non-muslim itu lho. Memikat karena saya mendengar desas-desus dari teman bahwa selain penceramahnya top abis, kalangan ustad kondang nasional, yang tak kalah pentingnya adalah takjil yang diberikan beberapa menit sebelum adzan magrib cukuplah membuat lidah-lidah bergoyang. Demikianlah cerita dari teman saya tentang Masjid Nurul Ashri ini. Alhasil saya tertarik.

Saya memutuskan untuk mengunjunginya. Kajian sore ramadhan di masjid ini dimulai pada pukul 16.00. Sebagai orang Indonesia yang sangat toleran, lebih-lebih dalam hal waktu, saya berangkat pukul 16.45. Sampai di masjid rupanya sudah banyak orang dan kajian sedang berlangsung. Banyaknya orang nampak dari sepeda yang parkir hingga melebur ke pinggir jalan depan masjid. Area parkir masjid sudah tidak cukup lagi. Saya masuk ke dalam masjid. Menempati shaf paling belakang dan dekat pintu supaya gampang ambil takjil nantinya. Saya tengok jam digital di hape. Pukul 17.00. Pas, tidak kurang tidak lebih. Sekali lagi pas.

Di depan sudah ada satu orang penceramah dengan slide power pointnya, yang belakangan saya ketahui dia seorang profesor (entah profesor di bidang apa) dan yang mengejutkan saya: dia juga seorang muallaf (saya tidak tahu pasti umur berapa dia pindah agama dan motivasi dibalik ke-muallafannya. Saya husnudzon saja). Saya berusaha untuk fokus diri dengan meluruskan pandangan mata ke depan, mengerutkan dahi, dan membetulkan pendengaran.

Si penceramah ternyata membahas tentang ekonomi islam. Tapi juga nyerempet-nyerempet dengan seputar hormat-menghormati di bulan puasa. Sesuai dengan pernyataan menteri agama, warung tidak usah tutup pada bulan ramadhan, hormatilah orang yang tidak berpuasa. Pernyataan ini menuai kontroversi (emang udah kontroversi tahunan dan tak pernah usai). Termasuk bagi si penceramah sore ini. Menurut dia, pernyataan menteri agama itu salah. Salah karena orang yang berpuasa harus hormat kepada orang yang tidak puasa. Katanya bagaimana mungkin kita yang mayoritas muslim berpuasa harus hormat kepada minoritas yang tak berpuasa, ya merekalah yang justru harus hormat kepada kita yang muslim mayoritas.

Kemudian penceramah yang berpeci putih itu mencoba menganalogikan persoalan ini dengan hari raya nyepi di Bali. Mulai dari sini saya mulai curiga. Ini kok argumentasinya sama dengan golongan Islam tertentu itu ya. Meskipun curiga, saya tetap lanjut mendengarkan. Masih kata pak penceramah itu, kita umat muslim pada hari raya nyepi di bali disuruh untuk menghormati umat hindu yang lagi nyepi (kita? Loe aja kali, gue enggak). Kita pada hari raya nyepi tidak bisa ke bali, tidak bisa menggunakan fasilitas umum, dll. Intinya kita umat muslim di bali (dan yang mau ke bali juga) tidak bisa beraktivitas. Dan paling inti, kita umat muslim disuruh menghormati mereka yang merayakan nyepi. Giliran kita yang mayoritas lagi berpuasa disuruh menghormati yang tidak berpuasa. Ini kan aneh dan salah. Begitulah kata pak ustad itu.

Sebenarnya saya ingin memotong --lebih tepatnya menanggapi-- pernyataan pak ustad itu. Tapi apalah daya saya ini, malu, sungkan, dan sudahlah biarkan dia berfantasi dengan keyakinannya sendiri. Saya akan mengatakan pada ustad muallaf yang berceramah itu bahwa logika berpikir, juga analoginya keliru. (Di Indonesia memang aneh, muallaf kok mengajar, muallaf itu seharusnya belajar, demikianlah kata seorang tokoh yang saya lupa namanya).

Seperti halnya argumen-argumen yang disampaikan oleh Islam setengah-setengah (setengah fundamental, setengah liberal, nb: kata-kata ini muncul semata-mata akibat ketidatahuan penulis akan siapa saja yang mendukung pernyataan menteri agama itu), kekeliruannya terletak pada analogi yang kurang pas. Gampangnya seperti ini, buka tidaknya warung selama bulan ramadhan tidak ada sangkut pautnya denga syah tidaknya atau diterima tidaknya puasa kita, sementara ‘menyepi’ dalam hari raya nyepi merupakan rukun dan syarat syahnya ibadah. Selain itu, puasa kok mau dihormati, padahal entah firman Allah atau hadis nabi menyatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang paling murni. Mengapa demikian, karena tidak ada yang tahu kita puasa hari ini kecuali Allah. Iya enggak? Iyakan sajalah.

Tanpa disadari, saya telah merenung cukup lama hanya untuk mengunyah kemudian merefleksikan pernyataan pak ustad tadi itu. Saya tengok kanan kiri. Tanpa dirasa dari awal, sekeliling saya, sisi kanan-kiri dan sisi depan-belakang, penuh dengan orang bercelana cingkrang, berjenggot, dan berjidat hitam. Gag usah ditanya kenapa saya menyebut ciri-ciri orang seperti ini. Saya curiga lagi.

Tanpa disadari pula, pak ustad telah beralih pada topik lain, yakni tentang: di bulan ramadhan ini, bedakan antara keinginan dan kebutuhan serta kurangi menu berbuka puasa. Dengan kata lain, berbuka puasa secukupnya saja. Untuk hal ini saya manggut-manggut saja tanda setuju.

Pukul 17.33. Adzan magrib berkumandang. Pak ustad secara otomatis mengakhiri ceramahnya. Posisinya diganti takmir masjid. Rupanya menyampaikan pengumuman. Dalam pengumumannya dia menyebut ikhwan untuk jamaah laki-laki dan akhwat untuk jamaah perempuan. Lagi-lagi saya curiga. Gag usah nanya-nanya kenapa saya curiga, cukup dipercaya kalok saya betul-betul curiga.

Saya tidak menghiraukan kecurigaan itu lagi. Biar nanti saya renungkan di kamar kos sambil ngopi dengan Allah. Saat ini saya harus keluar dan ambil takjil buat mengisi perut yang sudah mulai memanggil-manggil sedari tadi. Untuk urusan ini saya tidak boleh mengalah dan tidak harus mengalah karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kok bisa? Bayangkan saja kalok saya mati kelaparan (kok sampek segitunya ya), banyak orang yang akan bersedih, teman di kampus, di organisasi, di pondok, keluarga dan tetangga di rumah dan pastinya akan membuat pak jokowi pusing karena salah satu rakyatnya mati (ups!) karena tidak berbuka puasa.

Saya buka bungkusan itu. Melihat isi bungkusan, saya menggeleng-geleng kepala sembari berkata dalam hati: ini kok sama dengan kayak maskam ya. Satu telur ayam bulet dengan bumbu merahnya, satu tempe dan oseng-oseng kacang panjang. Argumentasi teman saya yang mengakatan takjil di masjid nurul ashri lumayan seketika gugur. Apakah antara maskam dan masjid nurul ashri mempunyai tender pengadaan takjil yang sama? Ah sudahlah, gag usah pikirkan itu, yang penting makan dulu. Awali dengan bismillah dan akhiri dengan hamdalah.

23 Juni 2015   
     
    

Comments

  1. Hohoho,, namanya Prof Muhammad,, pakar Ekonomi Islam.

    Soal makanan berbuka,, suplier Maskam dan Nurul 'Ashri memang sama.

    ReplyDelete

Post a Comment