Simbiosis Mutualisme: Belajar dari Kerbau dan Burung Jalak
Sejak pendidikan dasar, frasa ‘simbiosis mutualisme’ bukan hal yang asing di telinga kita. Dilawankan dengan frasa ‘simbiosis parasitisme’ dan dianalogikan dengan alegori ‘kerbau dan burung jalak’ sebagai upaya dalam mendeskripsikan frasa ‘simbiosis mutualisme’. Mari kita mulai dengan ‘kerbau dan burung jalak’.
Kerbau, oleh
pemiliknya, sering digembalakan di sawah di pedesaan. Di mana, burung jalak “menunggangi”
kerbau sambil lalu mematukkan paruhnya ke punggung kerbau. Kegiatan burung
jalak merujuk pada kata kerja ‘makan’ demi keberlangsungan kehidupan. Bagi saya
orang desa, fenomena ini adalah bagian dari hidup keseharian. Kegiatan kerja
burung jalak tidak mengganggu apalagi merugikan kerbau. Justru dengan itu,
kerbau terbantu karena yang dimakan burung jalak adalah kutu –makhluk hidup
kecil bersifat parasit dan terkadang menimbulkan efek gatal terhadap makhluk
hidup yang ditumpanginya.
‘Kerbau dan burung
jalak’ bisa kita sebut ayat kauniah tentang
bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi dengan di luar kita. Entah itu saudara, teman, tetangga atau
bahkan anonymous sekalipun, dalam
berhubungan seharusnya terjadi simbiosis mutualisme atau bahasa kita take and give.
Antara take (meminta atau menerima) dan give (memberi) harus seimbang. Atau
neraca give lebih tinggi dari neraca take seperti adagium populer, “tangan di
atas lebih baik dari pada tangan di bawah.” Tentang take and give , dalam konteks kekinian, terdapat penyempitan makna
yang ‘hanya’ dalam koridor ekonomis: perhitungan untung rugi. Imbasnya kepada
kecenderungan materialistik, paham kebendaan, dalam benak orang-orang. Sehingga,
pengorbanan yang utama –jika tidak mengatakan yang sesungguhnya– adalah
pengorbanan bendawi.
Kecenderungan demikian
telah menyebar di masyarakat, terutama masyarakat awam dan mulai menyebar ke kaum
intelektual. Sumbangsih atau berkorban (give)
diukur dengan berapa donasi yang telah engkau gelontorkan untuk orang lain,
institusi ini, dan organisasi ini. Di desa saya, sumbang-menyumbang barang,
terutama sembako, jika ada hajatan, seperti perkawinan dan selametan, adalah
kewajiban dan mengabaikannya merupakan usaha mengisolasi diri sendiri.
Masyarakat secara otomatis mencibir orang-orang yang tidak menyumbang barang
meskipun sumbangan tenaga dan pemikiran telah dilakukan.
Di kaum intelektual,
penyempitan makna ini terjadi di kalangan politisi, meskipun tidak seluruhnya.
Kepentingan antar politisi jadi barang dagangan. Kepentingan yang dianggap
menguntungkan diri dan golongan didukung. Di sini, take and give “hanya” sekedar barter kepentingan menurut ukuran
untung-rugi. Selebihnya adalah omong kosong belaka supaya kepentingannya
terkover dan terkesan memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal kepentingan
diri dan golongan.
Mari kita lanjut
alegori ‘kerbau dan burung jalak’. Kerbau, dengan sukarela dan tanpa beban, “mempersilahkan”
burung jalak menungganginya. Demikian pula burung jalak, dengan tanpa paksaan,
makan santai di atas kerbau. Hubungan seperti ini bisa disebut hubungan sukarela
penuh ikhlas. Take and give berada
dalam proposional. Memberi tanpa meremehkan yang meminta dan meminta tanpa
memaksa kehendak memberi. Dengan bahasa kita, beramal tanpa pamrih. Demikian
seharusnya kita berhubungan.
Hubungan dilandaskan
atas kesukarelaan dan keikhlasan akan menghantarkan pada kepastian hubungan.
Karena pondasi yang dibangun bukan material, tetapi immaterial: sukarela dan
ikhlas. Pondasi material, pada suatu waktu akan habis dengan sendirinya dan
pada saat itulah hubungan merenggang kemudian berakhir. Sementara hubungan
‘kerbau dan burung jalak’ dibangun dengan pondasi immaterial sehingga
keuntungan atau kepentingan material terpenuhi: burung jalak makan kutu dan
kerbau bebas dalam parasitisme kutu. Bagaimana dengan hubungan kita? Entahlah.....
Comments
Post a Comment