Shalat Taraweh



Tidak hanya dalam ilmu pengetahuan yang terjadi ketidakserasian antara ‘teori normatif’ dengan ‘penelitian empirik’, antara ‘apa yang seharusnya’ dengan ‘apa yang senyatanya’ . Dalam shalat taraweh pun berlaku kejadian demikian dan ketidakserasian ini dialami oleh saya pribadi.

Ceritanya begini. Sebagai anak pesantren, saya senantiasa memegang teguh nilai ke-NU-an. Kapanpun dan di manapun. 11 bulan ‘biasa’ atau 1 bulan istimewa. Di kampung halaman atau kampung rantauan. Di kalangan nahdliyin, salat taraweh (pastinya di bulan ramadhan) dikerjakan sekaligus shalat witir. Total rakaatnya adalah 23 rakaat. 20 rakaat shalat taraweh dan 3 rakaat shalat witir. Semuanya ditunaikan  dengan ‘dicicil’: dua rakaat satu salam. Kecuali witir karena rakaatnya berjumlah ganjil: dua rakaat satu salam terlebih dahulu, kemudian satu rakaat satu salam.

Meskipun santri, saya toh tak paham landasan hukum mengapa nahdliyin menerapkan 23 rakaat untuk shalat taraweh sekaligus witir. Saya huznudzon saja kepada mbah-mbah, kiai-kiai, dan leluhur yang juga melakukan shalat taraweh pada angka ini (ingat lho ya saya huznudzon, bukan taklid ya). Saya yakin si mabah yai nan leluhur itu berniat baik dan tidak bakalan mencelakai generasi berikutnya.

‘Ritme’ shalat taraweh ala nahdliyin ini juga berpengaruh terhadap niat shalatnya (hanya mengingatkan saja bahwa niat shalat itu adalah rukun shalat). Karena dua rakaat, maka niatnya kurang lebih seperti ini: usholli sunnatat tarawihi rak’ataini lillahita’ala. Artinya juga kurang lebih seperti ini: saya niat shalat taraweh dua rakaat karena Allah SWT. Ingat! Dua rakaat lho ya.

Kebiasaan shalat taraweh di bulan ramadhan yang demikian terbawa saat saya kuliah di Jogja. Di tempat di mana ormas Muhammadiyah yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan dan “antek-anteknya” tersebar seantero Jogja sampai hari ini. Menurut penuturan orang kampung, Muhammdiyah berbeda dengan NU. Termasuk cara shalat tarawehnya.

Rupanya “banyolan” orang kampung bukan isapan jembol belaka. Nyata. Benar-benar beda antara NU dan Muhammadiyah. Perbedaan ini saya alami sendiri saat shalat taraweh di masjid kampus UGM. Sebagaimana telah saya katakan di muka bahwa saya ini NU tulen (meskipun masih ora mudeng karo nilai-nilai ke-NU-an), maka saya shalat taraweh ala NU pula: (menganggap) dua rakaat dan dengan niat dua rakaat pula.

Di tengah perjalanan shalat taraweh, saat telah mencapai dua rakaat, si imam --yang juga diikuti para makmum— tidak berhenti. Tidak juga tahiyat awal sebagaimana shalat wajib yang empat rakaat. Mereka meneruskan rakaat ketiga, kemudian rakaat keempat. Saya bingung. Tambah bingung saat rakaat ketiga dan keempat si imam masih melantunkan bacaan al-fatihah dan ayat-ayat Al-Qur’an dengan nyaring.

Setelah tahiyat akhir, tanda shalat juga berakhir, saya bertanya kepada kawan yang duduk di sebelah. Namanya Iqbal. Juga NU. Namun sudah kedua kalinya teraweh di masjid ini. “Ini kok empat rakaat?,” saya melempar pertanyaan kepadanya. “Biasalah di sini kan mayoritas muslim Muhammadiyah. Bukan NU seperti di Jawa Timur itu,” katanya menanggapi pertaannya saya.

Selepas rangkaian shalat taraweh selesai, kemudian disusul shalat witir, dalam diri saya berkata: “Oh begini toh shalat tarawehnya Muhammadiyah.” Jika NU dengan 23 rakaat, Muhammadiyah dengan 11 rakaat (8 rakkat untuk shalat taraweh dan 3 rakaat untuk shalat witir). Jika NU dengan dua rakaat satu salam untuk shalat taraweh, Muhammadiyah dengan empat rakaat satu salam. Jika setelah shalat taraweh NU melaksanakan shalat witir dengan dua salam, Muhammadiyah melaksanakannya dengan satu salam saja yakni tiga rakaat sekaligus.

Meskipun sudah ketara perbedaannya, toh perasaan saya masih diliputi oleh sesuatu yang mengganjal. Tadi saya niat shalat taraweh untuk dua rakaat, tapi realisasinya empat rakaat. Apakah sah shalat taraweh saya? Ah sudahlah, daripada saya terus mempermasalahkannya dan dapat menghambat kinerja saya sebagai mahasiswa muslim, lebih baik prinsip mahasiswa saat ujian diterapkan: masuk, kerjakan, dan lupakan! Toh Allah juga paham kalok ini bukan faktor kesengajaan.

20 Juni 2015               

Comments