Shalat Subuh dalam Mimpi
“Orang yang tidurnya
larut malam, misalnya melampaui jam 12 malam, berarti ia telah berniat untuk
tidak shalat subuh,” demikian kata-kata yang keluar dari salah satu dosen
filsafat ugm saat saya dan Bang Akbar, kakak angkatan saya, bertandang ke
rumahnya pada suatu malam sebelum bulan ramadhan.
Pada waktu itu saya
hanya mengangguk-angguk saja tanda setuju. Sebelum nasehat itu saya dengar, sudah
berungkali saya shalat subuh saat matahari sudah sekitar sejengkal di atas
kepala manusia. Sebab utamanya adalah saya tidur larut malam. Kadang pukul
23.00, kadang pukul 01.00 dini hari. Tapi paling sering pukul 24.00. Entah
kenapa saat saya berusaha untuk tidur sesuai dengan kaidah kesehatan, ada yang
kurang dalam diri ini. Pokoknya ada yang mengganjal dan berakibat pada tidak
bisa tidur juga hingga larut malam.
Malam ini saya
melakukan itu lagi (dan memang saya tidak ada kapoknya tidak shalat subuh). Ngopi sambil main gaplek di Kedai Mato Kopi bersama dua orang teman, Bang Irul dan
Mas Ikbal. Yang pertama sudah 4 tahun di Jogja. Yang kedua masih 4 hari di
Jogja, karena ke Jogja hanya untuk berniaga buah Mangga. Saya sendiri terbiasa
memanggil Bang untuk laki-laki yang lebih tua dan sudah begitu akrab dengan
saya dan memanggil Mas untuk laki-laki yang juga lebih tua dari saya, namun
baru kenal.
Pukul 01.00 dini hari. Ngopi dan gaplekan bubar. Bang Irul balik ke kosnya. Sedangkan saya dan Mas
Ikbal ke beskem PANJY (Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta) di Gowok, dekat
kampus UIN Suka. Rencana awalnya sih ingin
merebahkan badan sejenak di atas kasur sebelum santap sahur. Lumayan lah ada
waktu 2 jam. Tapi apalah daya, saya hanya bisa berencana sementara realisasi di
tangan Tuhan. Bahkan saya sudah pindah tempat tiga kali. Pertama di depan televisi
bersebelahan dengan Mas Ikbal yang sudah terlelap sedari awal tiba, kemudian di
kamar depan dan terakhir kembali lagi di depan televisi.
Karena tidak bisa
tidur, saya putuskan untuk ke dapur, membantu teman-teman mempersiapkan makanan
sahur. Pukul 03.17 makanan buat sahur sudah siap. Hidangan sahur kali ini
sangat sederhana: tentunya nasi putih, tempe goreng ala kadarnya, tumis jamur
tiram yang entah dapat darimana resepnya, dan sambal terasi. Semua penghuni
beskem yang masih terlelap dibangunkan. Kami semua merapat ke ruang depan yang
cukup lebar. Nasi dan antek-anteknya dihidangkan di atas karpet plastik panjang
yang telah dialihfungsikan menjadi nampan. Sedangkan kami mengelilinginya,
memanjang, mengikuti pola yang dibentuk oleh karpet plastik tersebut. Makan
bersama seperti ini sangat ala santri dan kami tetap melestarikannya meskipun
sudah menjadi alumni.
Hanya butuh waktu 10
menit untuk makan sahur. Sesudah makan, saya kembali merebahkan badan di kamar
depan. Masih ada waktu sekitar 1 jam untuk menutup mata sebelum subuh tiba
pukul 04.33. Alhasil saya tidur lelap. Dalam tidur saya bermimpi shalat subuh. Sangat
persis seperti shalat subuh pada umumnya. Mulai dari gerakan takbir, rukuk,
i’tidal, sujud, hingga tahiyat akhir dan ditutup dengan salam. Mungkin benar
apa kata Sigmund Freud, filsuf yang kesohor dengan psikoanalisanya, bahwa mimpi
adalah realisasi lain dari keinginan yang tertahan. Saya ingin shalat subuh
tepat waktu, bukan waktu yang tepat.
Mimpi saya ini juga
berakibat pada tindakan saya: tidak bangun pas subuh. Saya bangun pukul
sembilan lebih sepuluh menit. Karena merasa tidak shalat subuh, maka saya
menginterogasi Umam, teman saya asal Probolinggo, yang kebetulan bangun subuh.
“Mak tak èjêghêin saya Mam?,” kata
saya dengan bahasa Madura yang kurang lebih artinya seperti ini: “Kenapa saya nggak dibangunkan Mam?”. Dia menjawab
dengan sedikit raut muka jengkel bahwa saya sendiri tidak mau dibangunkan.
Bahkan memasang nada marah menjawab ajakan Umam untuk bangun subuh. “Êngko’ lamarèh abhêjhêng sobbhû ghi’ bhûruh
Mam,” katanya seraya menirukan cara saya melafalkan kalimat itu. Artinya
kurang lebih seperti ini: “Saya sudah shalat subuh barusan, Mam”.
Karena masih merasa
belum shalat subuh, saya putuskan shalat subuh sekaligus shalat dhuha. Tentu
dengan niat yang berbeda, yakni niat mengganti (qadla). Niatnya begini: usholli
fardla subhi rak’ataini qadla’an lillahi ta’ala.
19
Juni 2015
Comments
Post a Comment