Sahur Hari Kedua yang Menyebalkan
Hidup di tanah rantau
memang tidak nyaman. Apalagi di bulan ramadhan. Lebih-lebih saat sahur. Sewaktu
di kampung halaman, pada saat sahur, setiap masjid selalu menjadi alarm, mengingatkan orang-orang: sudah
jam berapa? Imsyak jam berapa? Waktu imsyak kurang berapa menit? Hampir 5 menit
sekali selalu ada suara takmir masjid menyebutkan angka waktu dan memperingati
orang-orang untuk makan sahur. Itu di kampung halamanku. Di Jawa Timur yang
notabene Islamnya “Islam NU”. Tapi tidak di Jogja. Meskipun istimewa, tidak
dengan masjidnya. Terutama masjid dekat kosku.
Ya, sahur hari kedua
ini saya bangun agak telat. Saya benar-benar bangun saat jam digital di hp
menunjukan pukul 04.07. Meskipun sebelumnya saya sudah bangun, Namun tidak
benar-benar bangun. Saya selalu meyetel alarm
hp pukul 03.00. Untuk bulan ramadhan ini, saya juga meminta tolong kepada
kawan dekat saya untuk selalu mem-miscall
saya. Saya bergegas. Mencuci muka. Berwudlu. Menurunkan segenap ego dengan
menghamba kepadaNya lewat dua rakaat. Selepas itu saya meneguk segelas air
putih seraya memanaskan air dengan pemanas air, untuk membuat segelas susu yang
bagi saya sebagai pengganti makanan sahur.
Di tengah-tengah
mengaduk-aduk susu, saya mulai ragu: apakah sudah masuk waktu imsyak atau
bahkan sudah adzan? Hati mulai berkecamuk. Direspon dengan dilema otak (akal):
antara melanjutkan minum susu atau tidak. Jika lanjut, takut sudah imsyak atau
bahkan adzan, maka puasanya batal. Karena minum tidak pada waktu yang
ditentukan. Minum susu lagi.
Adukan selesai dan susu
mulai agak dingin. Saya putuskan untuk minum. Di tengah perjalanan (perjuangan
lebih tepatnya) menghabiskan segelas susu, eh,
Toa masjid tiba-tiba berbunyi. Adzan. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Tanpa
peringatan. Menyebalkan bukan? Di dalam hati muncul dua pilihan: antara
melanjutkan dan berhenti. Aku putuskan untuk melanjutkan hingga adzan rampung.
Keputusan ini bukan
tanpa alasan. Alasan pertama, susu masih tersisa setengah gelas. Jika dibiarkan
(saya berhenti minum), maka susu tersebut tidak akan ada yang minum. Mubadzir.
Dan mubadzir adalah temannya setan. Saya tidak mau berteman dengan setan,
setidaknya untuk saat ini. Alasan yang kedua, saya yakin bahwa Allah itu Maha
Luwes dan Fleksibel. Apalagi untuk urusan ini, urusan sahur darurat. Saya yakin
Allah Maha Mengetahui segala gerak-gerik hambanya, termasuk percakapan dalam
hati. Sebegitu “kakukah” Engkau sehingga untuk urusan remeh-temeh begini tidak
mengampuni, tidak mentolerir. Jawabannya (bagi saya): Allah tidaklah “sekaku”
yang dibayangkan.
19
Juni 2015
Comments
Post a Comment