Ramadhan Tiba



Ramadhan tahun ini, 2015 M/1436 H, tiba. Bagi kebanyakan orang, bulan ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu. Entah menunggu dengan nada kerinduan atau menunggu yang tak betul-betul menunggu, mengalir dengan gerak waktu yang terus bergulir hingga mengantarkan pada bulan ramadhan. Saya tak berani menjadi yang pertama bukan karena tidak siap, melainkan masih belum terbersit di sanubari. Saya juga tidak mau menjadi yang kedua karena saya sendiri tak mau disebut orang yang buta hatinya sehingga pada bulan ramadhan saja tidak rindu.

Tapi ramadhan selalu menyimpan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuat saya rindu. Rindu akan atribut-atribut ke-ramadhan-an. Bagi saya, ramadhan sangat berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. Setidaknya lingkungan, tindak tanduk orang dan nuansanya pun berbeda. Apakah sebegitu mulianya bulan ramadhan sehingga segala sesuatu berubah? Banyak kita jumpai, misalnya, orang yang dulunya selalu berafiliasi pada immoralitas, kini sering shalat taraweh di masjid, malahan dilanjutin tadarus Al-Qur’an. Orang yang dulunya suka mengumbar-ngumbar aurat (ah, tentang ini aku juga ragu apakah termasuk dosa?), di bulan ramadhan sudah berhijab syar’i (ah, dunia ini terlalu lebar untuk disyar’ikan).

Saya juga mendadak berbeda. Selain pola makan yang harus berbeda dari hari-hari biasa, intensitas ibadah sedang naik-naiknya. Bukan ujub, tapi sekedar ingin berbagi cerita. Jika hari-hari biasa untuk solat subuh saja susahnya minta ampun (apalagi solah tahajud) meskipun alarm hp tak henti-hentinya “berkumandang”, di bulan puasa (di hari pertama sahur), alarm hp sudah lebih dari cukup untuk membangunku sahur, sekaligus solat tahajud, sekaligus nulis catatan ini. Sehabis solat (mulai dari solat isyak yang kemaren, dilanjutkan solat tahajud), selain dzikir seperti biasanya, Al-Qur’an menjadi pegangan wajib di sepanjang bulan ramadhan (semoga).

Ya saya sekarang sudah mempunyai Al-Qur’an. “Manual”, bukan versi digital yang sudah sejak lama “menghiasi” hp android saya. Al-Qur’an saya berukuran kecil. Lebih cocok dikatakan Al-Qur’an saku. Saya membelinya tadi malam saat adzan isyak berkumandang dan orang-orang sedang beranjak pergi ke masjid untuk solat isyak sekaligus tarawih perdana di bulan ramadhan tahun ini. Saya membelinya di Social Agency Book (SAB), di dekat kampus UIN Suka. Harganya 12.000. Murah. Banget. Seharga nasi telur plus es teh plus gorengan tujuh di burjo. Dengan Al-Qur’an mungil ini, selama 30 hari ke depan, saya ingin membacanya sampai tuntas. Lebih tepatnya melafalkannya, karena saya sendiri masih belum paham arti dan cara mengartikannya.

Selain itu semua, yang sangat berbeda ramadhan tahun ini adalah saya berada di daerah rantauan. Bulan puasa yang pertama di Jogja.  Asal saya Bondowoso Jawa Timur. Jauh bukan? Meskipun hal ini sudah biasa bagi saya yang selama enam tahun selalu mengawali puasa di pondok, tapi kali ini memang betul-betul beda. Tahun lalu saya sudah tidak mengawali puasa di pondok. Karena saya sudah lulus pas jauh-jauh hari sebelum puasa. Sebagai anak rantau plus anak kos, sahur pertama sangat sedih: sendiran. Bayangkan, tujuh tahun terakhir saya selalu sahur dan buka puasa bersama kalau tidak teman pondok, ya orang tua.

Selain kesendirian-kesunyian, saya juga “dihantui” kerinduan. Ya kerinduan kepada yang di sana, di masa lalu. Saya rindu menanak bareng teman-teman di pondok. Saya rindu akan masakannya yang entah resepnya di dapat darimana. Tapi toh sajian makan (baik sahur maupun berbuka) tetap habis, bahkan kurang. Saya juga rindu akan makanan ibu, terutama sambelnya yang dari saking nikmatnya tak usah laukpun makan tetap maknyus. Juga makan bersama keluarga di depan televisi sambil mendengarin ustad-ustad ceramah (saya juga meragukan apakah mereka pantas dipanggil ustad? Hanya Tuhan yang tahu). Saya juga rindu rebutan makanan pembuka dengan adik. Pokoknya, saya rindu suasana berbuka. Juga taraweh. Saat di mana makmum tidak nututi imam karena begitu cepatnya gerakan solat. Kebiasaan solat di daerahku adalah cepat. Meskipun cepat tapi tetap bermakna (enggan saya bilang khusuk karena khusuk urusan individu dengan Tuhan langsung). Dan banyak rakaat: 21 rakaat, taraweh plus witir. Dan itu semua tidak saya temui di Jogja. Meskipun istimewa kotanya juga (katanya) orangnya, tapi tidak istimewa ritualnya di bulan yang justru istimewa. Bagi saya lho ya. Ini hanya pendapat subjektif belaka.

18 Juni 2015       

Comments