Nietzsche dan Kebencian akan Finalitas
Identitas Buku
Judul: Nietzsche
Pengarang: St.
Sunardi
Penerbit: LKiS
Tahun Terbit:
1996
Tebal Halaman:
215 + xiv
Tidak dapat
dipungkiri, ketokohan seorang Nietzsche “diperoleh” berpuluh-puluh tahun
setelah kematiannya. Semasa hidup, pemikiran dan konsepsi filsafatnya tidak
banyak dilirik oleh orang. Justru setelah kematiannya, filsafat Nietzsche
menempati ruang-ruang di mana kemapanan bercongkol kemudian didobrak oleh
(konon) nietzcshean. Bagaimanapun juga, ia adalah filsuf penting yang berada di
garis demarkrasi periodisasi sejarah filsafat: antara filsafat modern dan
kontemporer (post-modern). Dan pengaruhnya begitu luas. Katakanlah filsuf
sekaliber Karl Jaspers, Martin Heidegger, Jacques Derrida, dan Muhammad Iqbal.
Beberapa inti pemikiran mereka terpengaruh oleh filsafat Nietzsche (ST.
Sunardi, 1999: 119-120).
Bagi
beberapa kalangan, filsafat Nietzsche tidak mendapat tempat. Karena ia sendiri
adalah filsuf yang anti mainstream. Selain
cara menuangkan gagasan filosofisnya dalam wadah aforisme-aforisme puitis --sangat
berbeda dengan filsuf-filsuf sebelumnya yang cenderung menggunakan tulisan
sistematis-ilmiah-- yang menyulitkan pembaca (pengikut). Pemikirannya juga jauh
dari kebiasaan-kebiasaan umum pada waktu itu. Bahkan ia “mengoyak-ngoyak”
segala kemapanan yang berlaku. Ditambah gaya tulisannya yang sinistis dan
terkadang berbau sarkase serta atribut ateis pada dirinya di tengah-tengah
Kristianitas.
Sebagaimana
ateismenya memuncak saat ia dengan lantang berkata: “Tuhan sudah mati, dan kita
semua adalah pembunuhnya.” (Penjelasan tentang kematian tuhan akan dijelaskan
kemudian untuk menghindari terjadinya mis-interprestasi).
Gaya
aforistik demikian dipilih oleh Nietzsche untuk mengungkapkan gagasan-gagasan
karena dinilai tepat. Mengingat usaha yang dilakukannya, secara garis besar,
merupakan hal-hal yang baru dan tidak mau terikat dengan gagasan terdahulu
serta gagasan yang luas akan justru dipersempit oleh gaya kepenulisan
sistematis-ilmiah. Di samping itu, ia berjiwa ‘seniman’ yang (konon) diwarisi
oleh Richard Wagner, musikus sekaligus penyair.
Selain
itu, Nietzsche tidak pernah mau untuk diikuti. Jika pengikut Hegel
mengatasnamakan diri sebagai Hegelian, Marxis untuk pengikut Karl Marx, dan
pengikut Descartes bernama Cartesian. Maka pengikut Nietzsche tidak bernama (anonim). Jika akhir-akhir ini kita
kenal nietzschean, nietzcholog, dan nietzchemania, itu semata-mata kehendak
personal atau golongan untuk “melegitimasi” apa yang mereka lakukan (pikirkan).
Hal ini berhubungan sekali dengan kondisi kehidupan Nietzsche yang penuh dengan: kesendirian, kegelisahan,
dan kesakitan serta berujung pada ‘gila’. Ia tidak menginginkan “pengikutnya”
merasakan kenestapan hidup sebagaimana ia rasakan. Bagi Nietzsche, untuk
menyelami pemikirannya dengan menyelam di lautan “diri sendiri”. Julukan paling
setia untuk pengikutnya adalah “diri sendiri.” Semacam menjawab atas pernyataan
fenomenal Socrates: gnothi seauton.
Untuk
memperbincangkan Nietzsche, kali ini saya menghadirkan sebuah buku yang saya
kira cukup representatif atas pokok-pokok pemikiran Nietzsche. Adalah buku
berjudul Nietzsche karya ST. Sunardi.
Tidak lagi dalam serpihan-serpihan aforistik. ST Sunardi telah menuliskannya
sedemikian rupa: sistematis-ilmiah, sehingga mudah untuk dipahami. Terutama
oleh (calon) nietzschean.
Mengenal Nietzsche
Nama
lengkapnya Friedrich Wilhelm Nietzsche. Ia lahir di Röcken (Saxe-Prussia) pada
15 Oktober 1844. Konon, nama “Friedrich Wilhelm” diambil dari nama Raja Prussia
waktu itu, Friedrich Wilhelm, karena hari kelahiran Nietzsche sama dengan hari
kelahiran sang raja. Sementara nama “Nietzsche” adalah nama turunan dari sang
ayah, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849).
Nietzsche
terlahir di keluarga saleh (religious),
yang memegang teguh norma-norma agama Kristen. Kakeknya, Friedrich August
Ludwig (1756-1862) adalah pejabat tinggi di Gereja Lutheran dan ayahnya adalah
pendeta saleh di Desa Röcken. Sementara ibunya, Fransiska Oehler (1826-1897),
seorang lutheran yang taat (ST. Sunardi, 1999: 2). Oleh karena itu, keluarga
menginginkannya menjadi pendeta saleh meneruskan profesi keluarga.
Jalan
menuju ‘pendeta’ dilakukan oleh keluarganya dengan menyekolahkan Nietzsche di Pforta
(buku lain ada yang menyebut Schulpforta). Yang dikenal dengan sekolah
berstandar tinggi dan aturan disiplinisasi yang ketat. Di sekolah ini ia belajar
filologi Yunani dan Latin. Ia begitu tertarik hingga membuatnya terpesona akan
karya-karya klasik Yunani yang begitu jenius (pada nantinya mengantarkannya
pada kemahiran di bidang filologi Yunani dan pastinya mempengaruhi filsafatnya).
Bersama dua temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug, ia mendirikan kelompok
sastra dan musik bernama Germania.
Rupanya
dari Pforta inilah, jiwa spritualitas kepedentaanya mulai luntur. Ia mulai
mempertanyakan sesuatu yang tidak pernah dipertanyakan sebelumnya. ST. Sunardi
dalam buku ini menulis: Sejak di Pforta
Nietzsche merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup. Berkali-kali
ia menyatakan mau mengadakan semacam pencarian dan percobaan (Versuch) dengan
hidupnya (ST. Sunardi, 1999: 5).
Selepas
dari Schulpforta, Nietzsche melanjutkan studinya di Universitas Bonn, Jurusan
Filologi dan Teologi. Ia “terpaksa” belajar teologi hanya karena cintanya pada
ibu dan ayahnya. Tetapi itu (belajar teologi) hanya berlaku dalam dua semester
(1865). Semester berikutnya ia habiskan di Leipzig bersama dosen kebanggaannya,
seorang filolog yang jenius, Friedrich Ritschl, memperdalam filologi Yunani. Tindakan
ini membuat ibunya merasa terpukul karena dianggap mengabaikan panggilan
keluarga. Hingga kemudian sang ibu bertanya: kamu sebenarnya ingin menjadi apa? (Marc Sautet, 2001: 21).
Nietzsche
mengabaikan pertanyaan ibunya. Lebih ekstrem lagi, ia memulai pengembaraan ke
alam filsafat. Ia “berkenalan” (dan tertarik) dengan Sophenhauer lewat buku Die Welt als Wille und Vors-tellung (The
Wold as Will and Idea, Dunia sebagai Kehendak dan Ide). Juga buku karya
Friedrich Albert Lange berjudul Geschicte des Materialismus und Kritik seiner
Bedeutung in der Gegenwart (Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada Zaman
Sekarang).
Kedua
filsuf tersebut, pada tahap selanjutnya, sangat mempengaruhi
pemikiran-pemikiran Nietzsche. Dari keduanya, Nietzsche menelurkan gagasannya
tentang will to power (kehendak untuk
berkuasa). Bahwa objektivitas pengetahuan adalah sebuah mitos dan realitas
sesungguhnya adalah relatif. Sementara kebenaran yang sebenar-benarnya adalah Kehendak Untuk Berkuasa (perubahan).
Hampir mirip dengan pemikiran Heraklitos tentang arché, bahwa: pantha réi kai
uden menei.
Pada
tahun 1869, Nietzsche menjadi dosen di Universitas Basel, Swiss. Selama menjadi
dosen, ia mengalami sakit berlanjut. Ia menderita disenteri dan difteri. Tetapi,
pada masa ‘sakit-sakitan’ ini, ia lebih produktif. Beberapa karya terbaiknya
lahir pada masa ini. Sebut saja The Birth
of Tragedy out of the Spirit of Music, Untimely Mediation, Human,
All-Too-Human, dll. Ia berhenti mengajar pada tahun 1979 karena sakit
keras.
Selepas
itu, dengan ditemani oleh adiknya, Elizabeth, Nietzsche keluar dari Basel dan
mengembara ke beberapa kota di Italia dan Swiss. Dalam pengembaraan yang sunyi
dan kesendirian ini, ia bertambah produktif. Ia dengan eksplisit pernah
mengatakan: “Kesunyian adalah rumahku.” Buku la gaya scienza (ilmu yang mengasikkan) terbit. Salah satu buku
terpenting yang di dalamnya memuat ‘warta kematian tuhan’ (Gott ist tot).
Terbit
pula karya monumentalnya –yang memang telah ia persiapkan– Thus Spoke Zarathustra (1885). Yang di dalamnya memuat gagasan
Nietzsche tentang Kembalinya segala
sesuatu dan Übermensch, yang
disampaikan melalui mulut Zarathustra, seorang guru yang hidup di Persia 2500
tahun lalu. Setahun kemudian terbit bukunya berjudul Beyond Good and Evil serta The
Genealogy of Morals (1887).
Tahun
1889, Nietzsche mengalami nasib paling buruk seumur hidup. Ia gila --jika
enggan untuk mengatakan “digilakan” oleh dokter. Sekaligus pada tahun yang
sama, beberapa karyanya terbit: The
Anti-Crist, Ecce Homo, Nietzsche againts Wagner, dan The Dyonysos Dithyrambs. Setahun setelahnya, 1900, bertepatan pada
tanggal 25 Agustus, Nietzsche menghembuskan nafas terakhir di Weimar dengan
meninggalkan ‘kemasyhurannya’. Dan sirna pula segala bentuk penderitaan,
kesendirian, dan kesunyiaanya, bersamaan dengan keniscayaan yang
sebetul-betulnya niscaya: kematian.
Nihilisme dan Kematian Tuhan
Nihilisme
dan kematian Tuhan adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Untuk itu,
marilah kita mulai satu per satu, kemudian mempertautkan keduanya sebagai suatu
keutuhan yang berbeda. Kita mulai dengan nihilisme. St. Sunardi melalui buku
ini mengartikan nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi
seluruh bidang kehidupan (bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan) (St. Sunardi,
1999: 22)
Keruntuhan
nilai dan makna itu disebabkan oleh tindak-tanduk manusia di dunia. Secara
kronologis, dahulu manusia beragama dan secara otomatis berTuhan. Tuhan, yang
adi-kodrati (other world), adalah
kepastian absolut. Berikut nilai dan makna. Keadaan seperti ini adalah memang
secara historis bentuk ketidakberdayaan dan ketergantungan manusia. Kita lihat
bagaimana moral Kristen yang absolut “membelenggu” manusia.
Ada
empat ‘fungsi’ moral Kristen. Pertama, sebagai
jaminan manusia yang merasa kecil dan tidak pasti. Kedua, sebagai perintah-perintah Tuhan di dunia. Ketiga, sebagai pengetahuan nilai-nilai
absolut untuk memahami apa yang paling penting. Dan keempat, sebagai sarana pemeliharaan bagi manusia. Keempat ‘fungsi’
moral Kristen, menurut St. Sunardi, membuat manusia menjadi sedemikian pasti
dan aman akan hidupnya, sehingga sulit melepaskannya (St. Sunardi, 1999: 30).
Lambat
laun, keabsolutan moral Kristen (moral agama secara umum) tersebut, akan “tersaingi”
oleh manusia dan atau ilmu pengetahuan yang juga mengalami perkembangan.
Sehingga, manusia “mensejajarkan” –untuk tidak mengatakan “menuhankan”– diri
dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia dan atau ilmu pengetahuan “mengabsolutkan” diri. Bahwa kepastian sesungguhnya
adalah Aku. Tuhan-tuhan kecil
bermunculan.
Dengan
paham ateisme yang dianut Nietzsche, untuk menanggapi keadaan manusia yang
“tergantung”, ia mewartakan kematian Tuhan dan tuhan-tuhan: “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir
haben ihn getotet! (Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah
membunuhnya). Bahkan ia “mendoakan”
kematian Tuhan: Requiem aeternam deo!
(semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi).
Dengan kematian Tuhan, kata Nietzsche, semua makna dan
nilai yang mencirikan “kewarasan” telah roboh (St. Sunardi, 1999: 26). Keadaan
seperti ini yang ia maksud nihilisme. Keadaan di mana nilai dan makna (dan
segala jaminan-jaminan Tuhan) telah runtuh, sementara nilai-nilai baru belum
ada. Oleh karena itu, lanjut Nietzsche, tugas manusia selanjutnya adalah
mengatasi nihilisme tanpa harus menolaknya. Karena mau tidak mau, menolak atau
menerima, nihilisme adalah keniscayaan.
Mengatasi nihilisme tidak dengan diam atau netral.
Sikap seperti ini, dalam buku ini, disebut nihilisme
pasif. Yaitu sikap di mana manusia telah mengafirmasi runtuhnya makna dan
nilai, tetapi Ia belum bisa meninggalkan (atau kehilangan) “romantisme” nilai
dan makna terdahulu. Sikap yang seharusnya diambil adalah melakukan ‘pembalikan
nilai-nilai’, yang kemudian disebut nihilisme
aktif.
‘Pembalikan
nilai-nilai’ di sini adalah mempertanyakan selalu tiada henti nilai dan makna
yang sudah ada. Sebagaimana yang ditulis St. Sunardi di dalam buku ini,
Nietzsche bermaksud mengadakan penilaian kembali seluruh “nilai-nilai” yang
sudah ada sampai sekarang, yang cenderung memfosil sampai sekarang. Dengan kata
lain, Nietzsche menginginkan tidak adanya “nilai-nilai” dan kebenaran absolut,
yang manusia dijamin olehnya (atau -Nya). Karena ia beranggapan bahwa segala
sesuatu itu khaos dan manusia harus
bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya.
Ketika
“nilai-nilai” itu sudah (akan) menjadi absolut, maka manusia harus
meninggalkannya. Seperti yang tertuang dalam satu bagian aforisme Nitzsche
berjudul Im Horizont des Unendlichen
(Dalam Horison Ketidakterbatasan). Bahwa, St. Sunardi memaparkan, Nietzsche
tidak mau mencari pulau atau daratan yang dapat dipakai sebagai tempat tinggal
yang aman. Dia mau mencari sampan kecil untuk mengarungi samudera raya supaya
dapat menikmati ketakterbatasan dan geloranya. St. Sunardi melanjutkan: kalau
sampan kita sudah aus dan tak dapat digunakan berlayar lagi, sampan itu harus
dihancurkan dan diganti dengan sampan baru (St. Sunardi, 1999: 32-33).
Segala Sesuatu dalam ‘Genggaman’ Kehendak Untuk Berkuasa
Gagasan
Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa
(Will to Power) adalah melanjutkan (baca: mengkongkretkan dengan makna lain)
gagasan sebelumnya, nihilisme. Kehendak
untuk berkuasa, sebagaimana dipahami antek-antek Nazi (semisal Alferd
Bäumler dan adiknya, Elisabeth), bukanlah provokasi politik. Hal ini didasarkan
atas gaya hidup Nietzsche (yang juga menjadi latar belakang pemikirannya) yang
menyukai kesendirian dan kesunyian (individualisme
dan eksitensialisme). Selain itu,
ia menaruh perasaan ‘benci’ terhadap segala sesuatu yang dilembagakan laiknya
negara. Karena negara bertentangan dengan naluriah manusia berupa kebebasan
untuk merealisasikan diri. Sehingga, St. Sunardi di dalam buku ini, memberi
kesimpulan bahwa: kehendak untuk berkuasa
bukanlah suatu provokasi politik.
Lantas
apa yang dimaksud kehendak untuk berkuasa?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita temukan secara terpisah dalam beberapa
karya Nietzsche. Sebagaimana juga dikutip dalam buku ini. Pertama, dalam buku Beyond
Good and Evil, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dunia. Kedua, dalam buku The Genealogy of Morals bahwa hakekat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan ketiga, dalam The Will to Power, ia menyebutkan bahwa hakekat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Dengan demikian, kehendak untuk berkuasa adalah hakekat dari segala-galanya: dunia,
hidup, dan ada (being).
Lebih
lanjut, Nietzsche menampik anggapan bahwa kehendak
untuk berkuasa adalah substansi dari segala sesuatu laiknya pemahaman para
metafisis. Ia dengan lantang mengatakan bahwa: kehendak untuk berkuasa merupakan khaos yang tak mempunyai landasan apapun. Dan khaos ini berada di bawah segala dasar seperti dibayangkan kaum
metafisis (St. Sunardi, 1999: 42).
Secara
etimologis, kehendak untuk berkuasa
tersusun dari kata dasar ‘kehendak’ (will)
dan ‘kuasa’ atau ‘kekuatan’ (power). ‘Kehendak’
diartikan sebagai gejala yang sifatnya plural, yang muncul karena terjadinya
perbedaan ‘kekuatan’ (power).
‘Kehendak’ bukanlah substansial-metafisik. Munculnya perbedaan disebabkan oleh
sifat alamiah power yang selalu merasa
‘lebih kuat’ dari dirinya sendiri, mengatasi dirinya sendiri dan pastinya
berbeda dengan identitas diri (St. Sunardi, 1999: 42)
Dari
menelaah kata per kata di atas, St. Sunardi menyimpulkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan
hakekat dari segala sesuatu (dunia, hidup, dan ada (being)), yang berarti: dasar dari segala sesuatu merupakan
dinamisme yang masih berada dalam status khaos.
Atau meminjam perkataan Nietzsche dalam salah satu bagian aforismenya: Dunia,
hidup, dan ada seolah-olah terapung di atas gelora samudera, dan bukannya
tertancap pada suatu benua atau daratan.
Demikian
pula yang berlaku dalam pengetahuan. Nietzsche melakukan kritik terhadap
pengetahun yang selama ini bersifat dogmatis dan taklid. Dan pengetahuan seperti itu dianggap benar oleh manusia
yang justru membahayakan diri manusia itu sendiri. Tentang kritik atas
pengetahuan, hal ini senada dengan teori yang dikembangkan Karl Popper tentang
(1) the thesis of refutability dan
(2) the principle of falsification.
Bahwa (1) suatu ucapan atau hipotesa bersifat ilmiah, kalau secara prinsipal
terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya, dan (2) suatu teori atau ucapan
bersifat ilmiah, jika terdapat kemungkinan untuk menyatakan salah.
Bagi
Nietzsche, pengetahuan bukanlah jalan untuk mengantarkan manusia kepada
kebenaran mutlak yang dengannya manusia berlindung. Pengetahuan semata-mata
untuk menguasai keadaan. Seperti diungkapkan diawal, Nietzsche sangat benci
terhadap ‘kemutlakan’, ‘keabsolutan’, dan kosmos.
Kebenaran yang ia maksud adalah kekeliruan yang untuk sementara waktu dianggap
benar, meskipun itu sebenarnya merupakan kekeliruan. (St. Sunardi, 1999: 67).
Lebih jauh lagi, kebenaran merupakan bentuk hubungan dari beberapa kekeliruan.
Dari gagasan ini (kehendak untuk
berkuasa), muncullah paham perspektivisme Nietzsche tentang kebenaran.
Dari Zarathustra, ‘Keluar’ Übermensch dan Kembalinya
Segala Sesuatu
Zarathustra adalah tokoh
utama dalam buku Nietzsche berjudul Thus
Spoke Zarathustra. Ia mewartakan tentang kedatangan manusia super Übermensch dan Kembalinya Segala Sesuatu. (Marc Sautet, 2001: 128-135).
Mari
kita terlebih dahulu memahami tentang Übermensch.
Jika kehendak untuk berkuasa merupakan
tatanan moralitas naturalistik ala Nietzsche,
maka Übermensch adalah tujuan
hidupnya. Melalui Übermensch, Nietzsche
ingin mengajak manusia untuk menikmati kehidupan yang tak ada arah. Seperti
ungkapannya yang juga terkandung dalam buku ini: “Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu! Übermensch adalah makna
dunia ini. Biarkanlah kehendakmu berseru: Hendaknya Übermensch menjadi makna
dunia ini!”
Kemudian
kita bertanya apa yang dimaksud Übermensch?
Terdiri dari dua kata: über- artinya
‘di atas’ dan Mensch artinya
‘manusia’. Di dalam bahasa Indonesia, Übermensch
seringkali diterjemahkan menjadi: ‘Manusia Atas’ atau ‘Manusia Unggul’. (St.
Sunardi, 1999: 94-95).
Tentang
arti sebenarnya, Nietzsche mengatakan bahwa Übermensch
adalah makna dari dunia ini. Warisan ‘nilai dan makna’ dari kebudayaan
telah runtuh, ditambah ‘kematian Tuhan’ yang menciptakan Horizon Ketidakterbatasan, maka perlu adanya ‘nilai dan makna’
untuk memenuhi kebutuhan manusia. ‘Nilai dan makna’ itulah Übermensch yang mengajarkan nilai tanpa jaminan dan membuat orang
‘kecanduan’. Dengan kata lain, Übermensch
adalah cara manusia memberi nilai pada dirinya sendiri (St. Sunardi, 1999: 97).
Sebagai
pembanding, St. Sunardi dalam buku ini juga memaparkan tentang pengertian Übermensch yang dilakukan oleh beberapa
kalangan. Ada yang mengartikan Übermensch
sebagai kualitas personal yang pada suatu saat nanti nyata ada laiknya
konsepsi tentang Ratu Adil atau Mesias. Ada juga yang menafsirkan Übermensch adalah ‘manusia kuat’ yang
akan menghancurkan segala sesuatu yang menghambat dirinya. Dan penafsiran
terakhir dalam buku ini dilakukan oleh Elizabeth, adik kandung Nietzsche, yang
mengatakan bahwa: Übermensch sudah
ada dalam diri Adolf Hitler.
Semua
penafsiran di atas tidak sesuai dengan arti Übermensch.
Sebagaimana di atas telah diutarakan bahwa Übermensch
adalah tujuan dari segala bentuk tindakan moral (kehendak untuk berkuasa). Maka, di dalam buku ini berkesimpulan: Übermensch adalah kemungkinan terbesar
yang bisa dilihat dan dapat dicapai seseorang berdasarkan prinsip kehendak untuk berkuasa. Übermensch selalu berada di depan mata
setiap orang yang berkehendak untuk
berkuasa. Dengan demikian, Übermensch
tidak akan pernah ditunjuk dalam perjalanan sejarah (St. Sunardi, 1999:
105).
Warta
kedua yang keluar dari mulut Zarathustra adalah
kembalinya segala sesuatu atau dalam
bahasa Jerman dan inggrisnya: die ewige
Wiederkehr des Gleichen, the eternal recurence of the same. Gagasan tentang
kembalinya segala sesuatu adalah
gagasan pamungkas guna ‘memantapkan’ gagasan-gagasan sebelumnya: kehendak untuk berkuasa dan Übermensch. Di sini, Nietzsche mengambil
sikap afirmatif akan hidup. Yaitu sikap, yang menurut saya, lebih
“mengateiskan” diri. Kenapa begitu? Mari kita lihat ulasan selanjutnya dalam
tulisan ini.
Kembalinya segala sesuatu, bagi
Nietzsche, adalah pengafirmasian dunia secara mutlak. Di mana, segala sesuatu
yang ada dan peristiwa yang terjadi merupakan bentuk pengulangan dirinya
sendiri. Pengulangan tersebut secara otomatis menegasikan keberadaan penciptaan
dan pelenyapan. Dengan kata lain, dunia ini bersifat kekal, maka tidak ada awal
dan akhir dari dunia. Semua yang terjadi mengikuti prinsip pengulangan: kembalinya segala sesuatu. Sementara
kesimpulan yang mengatakan bahwa dunia itu diciptakaan, hal ini, bagi
Nietzsche, semata-mata kesimpulan logika dan teologis belaka. Untuk
memperjelas, saya mengutip catatan Nietzsche dalam buku ini (St. Sunardi, 1999:
113):
Dunia ini ada; dunia bukan merupakan sesuatu yang menjadi, bukan sesuatu yang berjalan. Atau dapat juga dikatakan demikian: dunia ini menjadi, dunia ini berjalan, tetapi tidak pernah mempunyai permulaan untuk menjadi dan tidak pernah berhenti berjalan. Dunia mempertahankan dirinya dengan dua cara itu. Dunia hidup berdasarkan dirinya sendiri --sisa-sisa tubuhnya menjadi maknanya.
Jalan pembuktian
yang dimajukan Nietzsche adalah keberadaan dunia yang merupakan energi raksasa.
Energi, seperti pengertian umum, tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak
berkembang dan menyusut, serta mustahil ada perubahan terhadapnya. Dunia, masih
dalam bahasan ini, mempunyai pusat-pusat energi. Antara satu sama lain
mengalami proses kombinasi-kombinasi. Sehingga terjadi pemenuhan satu sama lain
yang pada waktu tertentu dapat terpenuhi. Jika kombinasi-kombinasi sudah
terpenuhi, maka akan terjadi pengulangan secara terus menerus. Demikianlah
dunia ini ada: semua yang pernah terjadi dan ada akan terulang lagi secara
abadi (in infinitum) (St. Sunardi,
1999: 117).
Penutup: Kebencian akan Finalitas
Sebagai
penutup dari ulasan buku Nietzsche karya
St. Sunardi ini, saya bermaksud menghadirkan sepatah dua patah kata dari A.
Setyo Wibowo dalam pendahuluan bukunya: Gaya
Filsafat Nietzsche. Secara garis besar (meskipun tidak seluruhnya),
filsafat Nietzsche bergerak pada pertentangan antara idée fixe (ide yang fiksatif, ide final, yang terakhir) dan idée fluxe (ide menjadi). Dengan
berpegang teguh pada idée fluxe, Nietzsche
melakukan kritik terhadap idée fixe yang
dianggapnya sebagai sebuah ‘kesempurnaan’, ‘kemutlakan’ dan ‘keabsolutan’. Dan
ujung-ujungnya adalah menindas, memperkosa, dan menghakimi manusia dengan
jaminan-jaminan ‘keilahian’.
Ulasan buku ini adalah sebuah
pengantar (paling) awal tentang pemikiran Nietzsche, yang oleh beberapa
kalangan sulit dipahami. Saya kira, buku karya St. Sunardi (seorang pengajar di
STF Driyakara) ini sangat representatif untuk dijadikan modal awal menuju
pemahaman akan gagasan dan pemikiran Nietzsche. Last, but not least, tulisan ini --meminjam perkataan Nietzsche-- merupakan
kumpulan dari ‘kekeliruan’ yang untuk sementara waktu dibenarkan.
Daftar Rujukan
Sautet, Marc.
2001. Nietzsche Untuk Pemula. [penj.
Imelda Kusumastuty]. Yoyakarta: Kanisius
Sunardi, St.
1996. Nietzsche. Yogyakarta: LkiS
*Dimuat pertama kali di lsfcogito.org pada 21 Mei 2015
*Dimuat pertama kali di lsfcogito.org pada 21 Mei 2015
Comments
Post a Comment