Negara Plato


Selain Sokrates, ketokohan Plato tidak perlu dipertanyakan lagi. Filsuf Yunani yang satu ini begitu ramai diperbincangkan meskipun eksistensinya di bumi telah tiada ribuan tahun silam. Diperbincangkan karena telah “mengabadikan” pemikiran Sokrates, sang guru, yang tanpanya kemungkinan peradaban Yunani mengalami keterlambatan.  Dia adalah filsfuf yang dari tangannya lahir beberapa karya monumental dan menjadi inspirasi lahirnya peradaban manusia: katakanlah Politeia(Republik) dan Apologia. Dia merupakan founding father sekolah ilmiah bernama Akademia, yang pada nantinya melahirkan tokoh sekaliber Aristoteles.

Satu hal, bagi saya, yang menarik dari pemikiran Plato untuk dijadikan bahan refleksi sekaligus angin segar atas dinamika perpolitikan Indonesia yang saat ini mencapai titik jenuh: tentang negara. Jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, Plato telah mengkonsepsikan negara: hakikat, bentuk, siapa, dan bagaimana negara itu dijalankan. Tentang negara, karya Plato yang representatif adalah Politeia.
Negara tidak merupakan karya, cipta, dan bentukan serta konsensus manusia seperti Leviathan-nya Thomas Hobbes (1588 – 1679)dan teori kontrak sosialnya John Locke (1632 – 1704), yang juga diamini oleh mayoritas orang saat ini. Negara, menurut Plato, adalah kodrat manusia. Kodrat manusia adalah bernegara, hidup dalam masyarakat polis –negara-kota. Dia menyebut manusia merupakan zĂ´ion politikon, yang sering kita terjemahkan makhluk sosial.

Atas dasar kodrat manusia bernegara, tidak ada ikatan bersifat memaksa dalam bernegara. Semuanya dilakukan dengan kesadaran setiap individu, jika tidak, tidak dikatakan manusia: dapat berupa binatang ataupun dewa. Hakikat negara dalam Plato adalah pondasi dasar bagaimana seharusnya negara melangkah dan postulat awal ini, pada nantinya menentukan arah dinamika negara.

Konsepsi kodrat bernegara merupakan ihwal koherensi sekaligus hubungan timbal balik pandangan Plato tentang etika dan polis (negara). Etika Plato, secara individual, berusaha mencapai tujuan manusia, yakni eudaimonia atau well-being atau hidup yang baik. Kemudian dikoherensikan dengan tujuan (ber)negara sebagai proses menyeluruh dan bersama-sama menuju terciptanya manusia yang baik atau yang well-being atau yang eudaimonia. Sementara antara etika individual dan negara Plato tidak dapat dipisahkan satu sama lain, melainkan memiliki hubungan timbal balik yang konsekuen: kehidupan individu yang baik menuntut negara yang baik. Dengan keburukan individual sangat mustahil tercapainya negara yang baik, begitu pula jika negara itu chaos, terwujudnya individual yang baik adalah kemustahilan. Konsekuensi yang lain berupa peniadaan egoisme individu atau kolektif dalam negara, meskipun tidak semuanya. Yang terpenting berupa penyelarasaan antara kepentingan individu atau golongan dengan kepentingan negara atau mendahulukan kepentingan negara.

Untuk mencapai itu semua, Plato mensyaratkan ada pihak yang dijadikan sebagai stake holder negara. Terlebih dahulu dia melakukan stratifikasi sosial dengan membagi masyarakat ke dalam 3 (tiga) kelas: (1)pemimpin atau penguasa, (2)serdadu, dan (3) rakyat biasa. Tiap-tiap kelas mempunyai tugas dan wewenang masing yang antara satu dengan lainnya tidak dibenarkan intevensi  -demikianlah Plato memaknai ‘keadilan’.

Kelas pemimpin diisi oleh para filsuf yang dengan kebijaksanaannya diharapkan menebar benih-benih kebajikan dalam negara. Kelas serdadu adalah para pelayan negara dan tentara demi menjaga keamaan negara. Dan kelas rakyat biasa adalah pekerja kasar yang merangkap sebagai peggerak perekonomian negara, terdiri dari petani, nelayan, dan buruh. Saya menaruh mosi tidak setuju terhadap stratifikasi sosial yang sedemikian rupa ini, meskipun perpindahan kelas sah-sah saja menurut Plato asalkan disertai kemampuan yang kompatibel. Tetapi, stratifikasi sosial memberi stigma buruk terhadap anggota dalam kelas. Rentetannya berujung pada pemenuhan hak yang berbeda. Seperti yang terjadi di Indonesia saat berada dalam kolonialisme Hindia-Belanda. Manusia kolonial mempunyai hak penuh atas pendidikan dan akses informasi, tapi tidak dengan manusia pribumi.

Golongan pemimpin adalah para filsuf karena dianggap cakap dan kompeten dalam memimpin negara sebagaimana Plato memaparkan bahwa warga negara paling baik dan paling cakap boleh diangkat menjadi pemimpin negara. Kebaikan dan kecakapan ada pada para filsuf. Secara tidak langsung, Plato menghendaki bentuk negara ideal adalah aritokrasi (aristos: paling baik; kratein: menguasai).

Dalam memimpin Plato membenci kepemimpinan tirani dan despotis di mana egoisme pribadi atau golongan dikedepankan. Supaya mengantisipasi terjadinya pemimpin jenis ini, Plato melakukan pembersihan total terhadap pemilikan sendiri. Tidak ada uang dan harta milik pribadi. Semua dilakukan dengan semangat hidup bersama-sama. Karena disinyalir kepemilikan pribadi akan meningkatkan kerakusan demi diri sendiri. Cara pandang demikan di kemudian hari dikenal dengan ‘komunisme’ dengan tokoh sentralnya Karl Marx.

Rupanya, pemikiran ‘komunisme’ Plato dan bentuk negara aristokerasi tidak dipertimbangkan dengan matang. Dalam Nomoi, karya Plato yang lain, yang berarti ‘Undang-Undang’, melegalkan kepemilikan pribadi namun diatur oleh Undang-Undang. Demikian pula bentuk negara tidak lagi aristokerasi, melainkan ‘jalan tengah’ antara monarki (simbol kediktatoran) dan Demokrasi (simbol kebebasan). Perpaduan keduanya diejawantahkan dalam pemilihan pemimpin yang dipilih oleh rakyat dengan undang-undang (prosedur dan kriteria pemimpin) supaya hanya yang cakap dan baik yang lolos.

Selain aturan main bagi pemimpin, Plato memiliki pandangan jauh ke depan untuk keberlangsungan negara melalui kaderisasi dan regenerasi. Kader dan generasi adalah out put atau hasil, sementara proses yang mengoperasikannya adalah paideia (pendidikan). Paideia adalah proses penggodokan kader dan generasi supaya tongkat estafet kepemimpin terwariskan kepadanya. Paideia yang dikehendaki Plato merupakan pendidikan pembentukan jiwa –kemungkinan mirip dengan Revolusi Mental-nya Jokowi.

Paideia diikuti oleh pemuda dan diajarkan “musik” dan “gimnastik”. Pembelajaran “musik” tidak diartikan sesempit saat ini, melainkan diartikan pengasahan pemikiran. Demikian pula arti “gimanstik” lebih luas dari pemahaman orang sekarang, yakni latihan kebugaran jasmani. Belajar “musik” dan latihan “gimanstik” memilik prosi tertentu dan tidak semua jenis “musik” dan jenis olahraga yang diajarkan. Yang terpenting adalah kesesuaian dengan tujuan utama paideia: pembentukan jiwa, terutama jiwa keberanian.

Akhir dari Negara Plato, meminjam istilahnya Bertrand Russell, adalah negara utopis, negara impian yang hanya mengawang-awang di angkasa atau paling tidak mondar-mandir dalam pikiran. Membumikannya adalah sebuah kemustahilan. Negara Plato hanya terjadi dalam dunia ide, tidak dalam dunia indera.

Sejarah peradaban suatu negara tidak terlepas dari perjuangan kelas: kelas borjuis dan kelas proletar; kelas menindas dan kelas tertindas, kata Karl Marx. Keadaan menindas dan tertindas tidak diimpikan Plato. Dia memimpikan ada keselerasan (penyesuaian)kepentingan individu dan kepentingan negara serta kepentingan negara di atas segala-gala kepentingan. Bukan pemaksaan kepentingan individu kemudian di atas namakan kepentingan negara, sehingga yang terjadi warga negara terpaksa (tertindas). Bukan lagi negara baik dan warga negara baik. Demikian Negara Plato yang secara kongkret tidak dapat direalisasikan, tetapi ide-ide dalam menjalankan negara bisa kita adabtasi. 

Comments