Manusia dan Misteri yang Tak Terungkap
Pengarang: Fransiskus
Borgias M
Penerbit: Jalasutra
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: xvi + 156
halaman
ISBN: 9786028252829
Manusia, sejak dulu
hingga saat ini, memang penuh misteri. Dari saking misterinya hingga tidak bisa
memberi jawaban yang memuaskan atas pertanyaan ‘siapa aku(?)’. Bahkan
pertanyaan ini telah dimulai sejak 400 SM oleh Sokrates, filsuf ‘emas’ Yunani,
dengan perkataannya yang monumental: gnothi
seauton. Kenalilah dirimu sendiri. Banyak
filsuf setelahnya mencoba ‘mengenali dirinya sendiri.’
Katakanlah
Aristoteles yang mendefinisikan manusia sebagai animal rasionale (hewan berakal). Ia hanya melihat satu sisi
manusia saja, yakni akal, yang kemudian membedakannya dengan hewan. Dengan
akal, manusia dapat melakukan aktivitas berpikir yang mustahil ditiru hewan.
Hal ini juga diutarakan oleh Immanuel Kant bahwa: “manusia dibedakan di atas
semua hewan dengan kesadaran-dirinya, yang mana ia adalah hewan rasionil.”
Lain
lagi dengan Thomas Hobbes yang mendeskripsikan manusia berdasarkan sifat dan
tabiatnya. Bahwa manusia adalah serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Pendefinisian Hobbes ini mengandung
konsekuensi politis untuk selalu menaruh curiga terhadap sesama. Karena pada
dasarnya, manusia mempunyai sifat dan tabiat untuk mempertahankan diri dan
melakukan apa saja, termasuk membunuh sesama, demi pertahanan diri.
Di
tengah ‘ketidakutuhan’ manusia ini, Fransiskus Borgias mencoba mengumpulkan
‘serpihan-serpihan’ yang berserakan. Buku berjudul Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis tentang Manusia ini adalah ikhtiar
mengumpulkan serpihan yang “dipungut” dari “rongsokan-rongsokan” masa lalu.
Kemudian “didaur ulang” sehingga menjadi produk baru nan segar: manusia dalam
kerangka filsafat.
Fransiskus
mengajak kita untuk memahami manusia dengan lebih terbuka. Bahwa manusia tidak
hanya berakal dan mempunyai sifat beringas (serigala). Manusia adalah satu
kesatuan utuh yang tak bisa terpisahkan. Manusia adalah segala deskriptif
tentangnya. Jika diandaikan ada seratus orang memberi definisi berbeda tentang
manusia, maka seratus definisi tersebut benar adanya tentang manusia.
Dalam
buku ini, secara garis besar, Fransiskus memandang manusia sebagai makhluk yang
berbahasa, bekerja, menyejarah dalam waktu, dan berkehendak serta merindu.
Diawali dengan melihat manusia sebagai makhluk yang berbicara (baca: berbahasa).
Bahasa merupakan unsur terpenting dalam hidup manusia. Tanpa bahasa apalah arti
keberadaan manusia. Heidegger mengakatakan: “manusia hanya bisa dipahami
keber-”ada”-annya melalui bahasa.” Bahkan, bisa dikatakan bahwa jika
kemanusiaan merupakan kodrat pertama, maka bahasa merupakan kodrat kedua dari
manusia (hlm. 7).
Setidaknya
ada tiga hal yang membuat bahasa menempati posisi esensial-eksistensial dalam
hidup manusia (hlm. 9). Pertama,bahasa
mempunyai fungsi komunikatif yang mengandaikan terjadinya pola relasional antar
manusia. Bahasa membuat manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lain.
Sehingga melalui komunikasi, manusia dapat diakui keber-“ada”-annya oleh
manusia lain.
Kedua,
bahasa memungkinkan manusia melakukan proses berpikir sebagai kelakuan pembeda
dengan makhluk lain. Pengetahuan, sebagai produk berpikir, mengisyaratkan
bahasa. Dapat dibayangkan bagaimana pengetahuan manusia tanpa bahasa: mustahil.
Ketiga, dalam kaitannya dengan fungsi
komunikatif, posisi bahasa berada dalam frame
interaksi sosial. Oleh karena itu, bahasa memungkinkan terjadinya perubahan
sosial di masyarakat.
Terkait
yang ketiga, bahasa mengandung daya dan kekuatan emansipatoris dan transformatis
sekaligus manipulasi dan kolonisasi. Bahasa menjadi sesuatu yang baik jika
dipakai sebagai sarana dekolonisasi dan pembebasan kesadaran manusia.
Sebaliknya, bahasa dapat menjadi buruk jika dijadikan media untuk membelenggu
kesadaran manusia lewat manipulasi. Dalam konteks ini, bahasa bersifat netral
dan bebas nilai (wertfrei) (hlm. 15).
Selain
dipandang sebagai makhluk yang berbahasa, manusia begitu mesra dengan aktivitas
kerja. Keber-“ada”-an manusia juga ditentukan dengan kerja. Dengan bekerja,
manusia meng-“ada”-kan serta mengaktualisasikan diri. Sehingga eksistensi
manusia di dunia dapat ‘terbaca’ melalui bekerja.
Bekerja
yang dimaksud di sini adalah bekerja secara manusiawi. Di mana manusia bekerja
atas dasar partisipasi secara sadar dengan memperhitungkan martabat manusia:
bahwa bekerja tidak boleh mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri (self destructive), mendatangkan bencana
bagi orang lain, dan jangan sampai “memberhalakan” kerja dan pekerjaan. Lebih
jauh dari itu, bekerja bukan hanya bertanggung jawab terhadap sesama manusia,
tetapi juga terhadap Tuhan, sang pencipta (hlm. 38-42).
Misteri
lain yang diungkapkan Fransikus dalam buku ini adalah manusia yang menyejarah
dalam waktu. Menyejarah adalah kodrat manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk
lain. Hanya manusia yang dapat membuat sejarahnya sendiri. Kesejarahan adalah
sesuatu yang khas manusia karena menyadari dan mewarnai sejarah hanya dan hanya
bisa dilakukan manusia.
Dalam
pergulatan menyadari dan mewarnai sejarah, manusia tidak terlepas dari
kedudukannya sebagai subjek kehendak. Torehan sejarah adalah apa yang
dikehendaki manusia. Dalam konteks ini, manusia “memikul” atribut homo volens, yakni sebagai makhluk yang
berkehendak. Atribut ini mengharuskan manusia menjadi subjek atas kehendaknya
sendiri. Bukan sebaliknya manusia tunduk dan patuh --untuk tidak mengatakan
diperbudak-- atas kehendaknya sendiri.
Selanjutnya,
Fransiskus mengungkapkan misteri manusia yang juga khas. Adalah persoalan kerinduan
yang mengisyaratkan relasi intersubjektifitas. Kerinduan adalah perjalanan unik
dan khas manusia menyusuri jalan keterpisahan dengan subjek di luar dirinya. Keterpisahan
dapat berupa distansi spasial dan temporal. Dengan kerinduan, keterpisahan
terarah pada penyatuan. Bersatunya subjek (pribadi) dengan subjek (pribadi)
yang lain diakibatkan oleh daya dorong internal yang sangat kuat.
Kerinduan
tidak hanya berlaku pada tataran horizontal (rindunya manusia dengan manusia
lain), tetapi juga pada tataran vertikal (rindunya manusia sebagai hamba dengan
Tuhannya). Pada tataran kedua mengandung dimensi spritualitas yang menginginkan
perjumpaan dengan Sang Pemilik Rindu. Banyak jalan yang telah ditempuh oleh
manusia untuk “sekedar” berjumpa dengaNya. Semisal sufisme dalam Islam yang
mensyaratkan jalan ekstase.
Walhasil,
keber-“ada”-an manusia tidak dapat dipahami dengan kesendiriaannya saja
sebagaimana cogito ergo sum-nya
Descartes. Manusia ‘ada’ karena ditopang oleh keber-“ada”-an lain di luar
dirinya. Demikian juga jalan yang ditempuh Fransiskus lewat buku ini. Meskipun
buku ini merupakan kumpulan artikel penulis yang pernah dimuat di media, tetapi
secara substansial masih segar untuk dikonsumsi. Setidaknya dapat menjadi pintu
gerbang untuk memasuki misteri-misteri manusia yang lebih luas --yang menurut
saya tak akan pernah terungkapkan secara total-utuh.
Comments
Post a Comment