Ketika HMI Membincangkan Tuhan (Catatan Kecil atas Dasar-dasar Kepercayaan dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI)


Barang siapa yang menyembah Allah bukan substansinya, itu sama dengan kafir.
Barang siapa yang menyembah Allah dan substansinya, itu adalah syirik.
Barang siapa yang tidak menyembah Allah, melainkan substansinya itulah tauhid yang sejati.
(Anonim, dikutip oleh Azhari Akmal Tarigan, hlm. 48)

Diskursus tentang Tuhan seakan-akan tidak pernah habis dan bosan untuk selalu diperbincangkan. “Wacana” tentang Tuhan tidak lekang oleh waktu. Selalu menjadi tema menarik di banyak ruang seminar, dalam ruang kuliah hingga menjadi bahan “olok-olokan” dalam bincang-bincang santai di warung. Bahkan terkadang kita melihat perselisihan antar individu/golongan dikait-kaitkan dengan “wacana” tentang Tuhan. Dalam kasus yang terakhir, terdapat truth of claim (klaim kebenaran) dan truth of salvation (klaim keselamatan) tentang Tuhan siapa yang sebenar-benarnya Tuhan. Semua tentang Tuhan Yang Benar, memang, masih misteri sampai saat ini. Karena setiap agama dan aliran keyakinan mempunyai truth of claim sendiri terhadap Tuhan yang diyakininya.

Semua itu tak terlepas dari atribut --yang oleh sebagian kalangan-- disematkan kepada manusia: homo religiosus. Bahwa kodrat manusia adalah sebagai makhluk beragama atau spritual yang di dalamnya memuat (baca: meyakini) Tuhan yang “diwacanakan”. Sehingga konsekuensi logisnya, sejarah “wacana” tentang Tuhan berjalan beriringan dengan eksistensi manusia. Hal ini senada dengan apa yang ditulis Karen Amstrong, pengamat agama kontemporer, dalam buku The History of God bahwa: manusia telah menyembah dewa-dewa sejak dahulu kala. Manusia mulai menyembah-Nya seiring dengan ketakjuban terhadap misteri alam semesta yang menggentarkan. Lahirnya “wacana” tentang Tuhan, tak lain dan tak bukan, ialah upaya manusia menemukan makna dan nilai kehidupan dibalik wujud kasat (kongkret) benda-benda sekitar.

Lantas kapan agama lahir? Jawaban yang diberikan Karen Amstrong adalah: tidak ada ‘tanggal dan tahun pasti’ kapan dan agama apa yang lahir pertama kali. Jika agama yang dimaksud adalah agama wahyu, maka, menurut Amstrong, agama yang tercatat adalah yang dibawa oleh Ibrahim pada 2000  SM silam. Yaitu agama monoteis yang hanya mempercayai satu Tuhan. Monoteisme kemudian berlanjut dan menjadi landasan utama munculnya agama-agama Abrahamik --Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga agama tersebut, sampai hari ini, menjadi agama terbesar yang banyak dipeluk oleh mayoritas manusia di dunia.

Meskipun ketiga agama Abrahimik tersebut mempunyai keyakinan monoteisme yang sama, namun dalam perkembangnya, muncul perbedaan menyangkut konseptualisasi Tuhan Yang Mono itu. Semisal penamaan Tuhan: Yahudi menyebut Yahweh, Kristen dengan Yesus Kristus dan Allah untuk nama Tuhan agama Islam. Begitu pula dengan agama ardhi (bumi) layaknya Hindu, Budha, dan Taoisme yang mempunyai nama masing-masing untuk merujuk pada Yang Supranatural. Bahkan dalam internal satu agama saja, ada pertentangan “wacana” tentang Tuhan. Katakanlah bagaimana dalam Islam terdapat paham Jabariah yang deterministik berseberangan dengan Qadariah yang indeterministik.

Jika ditelaah lebih mendalam, perbedaan antar agama atau antar aliran dalam agama hanya berada pada tataran syari’at saja yang meliputi ritual-ritual keagamaan. Atau dalam bahasa Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, agama berbeda dengan yang lain pada level eksoterik (syari’at) dan relatif sama pada level esoterik (substansi) (Riki Saputra, 2012: 11). Membandingkan-bandingkan taraf eksoterik agama akan berujung pada ‘tawuran’ antar agama. Lebih-lebih pemahaman eksoterik dilandasi dengan truth of claim dan kesombongan. Sedangkan, pemahaman pada level esoterik akan mengantarkan manusia-manusia arif-bijaksana yang selalu bersikap toleran pada agama lain.   

Dalam merespon perbedaan keagamaan di atas, terutama “wacana” tentang Tuhan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa yang berasaskan Islam berusaha memahami (sekaligus memahamkan umat) dengan ‘konsep’ esoteris universal yang melandasi semua agama, namun tetap tidak meninggalkan eksoterisme agama Islam. Yaitu melalui indoktrinisasi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) terhadap kader dan alumni HMI. Meskipun, diakui atau tidak, terdapat kemiripan antara NDP dan pemikiran Cak Nur karena memang NDP dicetuskan pada masa kepemimpinannya di HMI.

Memahami Islam

Sejauh ini kita sering kali mendefinisikan apa itu Islam. Mendefinisikan Islam satu paket dengan mendefinisikan Iman dan Ihsan. Kemudian ketiganya membentuk pola relasional layaknya “segitiga sama kaki”. Dengan sisi dasar (bawah) adalah Iman, sementara kedua sisi yang lain adalah Islam dan Ihsan. Hubungan-hubungan ketiganya harus ketat nan seimbang supaya membentuk kehidupan Taqwa dalam diri kita.

Dahulu, saya (mungkin kita semua) merasakan bahwa Islam hanya sebatas agama periodik yang berlaku pada zaman tertentu. Islam kita definisikan --berdasakan definisi yang diberikan guru ngaji atau ustad-- sebagai agama yang diturunkan (diwahyukan) oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril untuk menjadi pedoman hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kemudian definisi ini dipertautkan dengan ayat Al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya agama menurut Allah itu adalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).

Selanjutnya definisi dan ayat Al-Qur’an di atas kita gunakan untuk truth of claim bahwa agama yang benar saat ini hanyalah Agama Islam. Sedangkan agama lain adalah agama orang kafir yang pasti umat/pemeluknya masuk neraka. Sehingga pertanyaan yang muncul: begitu “kejamkah” Tuhan sehingga menciptakan dan membiarkan lebih dari separuh jumlah manusia di dunia dalam kekafiran? Ataukah kita, umat Islam, justru kejam karena telah menjelma menjadi saingan Tuhan dengan jalan mengkafirkan manusia lain? Bukankah labelisasi kafir hanya dikeluarkan oleh Tuhan? Saya kira truth of claim yang membabi buta berawal dari problem pendefinisian.

Arti Islam yang dahulu kita ketahui tidaklah keliru. Karena pendefinisian itu mengacu pada dimensi psikis pada masa anak-anak sekaligus pembentengan keimanan sebagai pondasi agama Islam supaya nantinya tidak terkoyak-koyak oleh ruang dan waktu. Kini, kita mencoba untuk memahami Islam bukan sekedar institusi agama dengan keharusan-keharusan ritual yang mewarnainya. Islam harus dipahami secara komprehensif melalui berbagai sudut pandang. Usaha seperti ini yang, saya kira, dilakukan oleh HMI sebagai organisasi Islam di Indonesia, yakni Islam khas Indonesia.

Islam tidak hanya agama yang diinstitusionalkan dan berlaku untuk umat Muhammad saja. Dalam konteks ini, HMI melakukan diferensiasi antara Islam sebagai lembaga dan Islam secara substansial. Islam menurut HMI --juga Cak Nur-- bersifat universal dan lintas zaman. Pendefinisian Islam secara komprehensif diawali secara etimologis, bahwa Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman yang berati selamat-menyelamatkan. Lebih lanjut, Islam bermakna al-inqiyad wa al-khudu’ (sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan) (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 7). Dengan demikian, definisi terminologis yang dapat disimpulkan adalah bahwa: Islam adalah sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan serta senantiasa selamat bagi dirinya sendiri dan menyelamatkan bagi orang lain. Demikianlah seharusnya muslim --penganut Islam. Hal ini senada dengan diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasulullah adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Tentang universalitas Islam, Cak Nur --yang juga dikutip Azhari Akmal Tarigan-- mengatakan bahwa: Islam itu universal. Pertama-tama Islam sebagai sikap pasrah dan tunduk kepada Allah, Sang Maha Pencipta, adalah pola wujud (mode of existence) seluruh alam semesta. Dalam bahasa yang lebih tegas, seluruh jagad raya adalah satu wujud eksistensi ketundukan dan kepasrahan (ber-Islam) kepada Tuhan, baik yang terjadi secara dengan sendirinya (keterpakasaan) ataupun karena sukarela dan pilihan sadar (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 8). 

Sejauh Islam diartikan sebagai kepasrahan total kepada-Nya, maka nabi-nabi terdahulu berikut syari’atnya merupakan bagian dari Islam. Katakanlah perkataan Nabi Nuh yang “diabadikan” oleh Al-Qur’an dalam surat Yunus ayat 72: “Dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan muslimin. Demikian pula dengan Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang muslim kepadamu (QS. al-Baqarah: 128). Masih banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang merujuk pada makna substansial Islam. Seperti wasiat Nabi Ibrahim dan Ya’kub kepada anak-anaknya (QS. al-Baqarah: 132), perintah Nabi Musa kepada kaumnya (QS. Yunus: 84), do’a Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 101), ikrar keimanan Ratu Saba’ (QS. An-Naml: 44), dan do’a ahli sihir Fir’aun yang telah beriman kepada Nabi Musa (QS. al-A’raf: 126), serta pembicaraan tentang Kitab Taurat (QS. al-Maidah: 44).

Jika Islam masih diartikan sebagai institusi agama yang meliputi ruang dan waktu tertentu, maka kita akan mengalami kesulitan jika dihadapkan pada ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, penggunaan kata “Islam” untuk merujuk pada syari’at nabi-nabi terdahulu hingga Muhammad harus dipahami sebagai sikap kepasrahan total kepada-Nya sekaligus “permainan” kosakata Bahasa Arab saja. Terkait yang kedua, Al-Qur’an berkata: “Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan (bahasa) kaumnya supaya dapat memberikan penjelasan kepada mereka (QS. Ibrahim: 4).   

Tauhid ala HMI

Tauhid berarti mengesahkan sekaligus mempercayai satu Tuhan. Akar katanya adalah wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Islam adalah agama tauhid yang hanya mengakui satu Tuhan. Tauhid dalam Islam merupakan fondasi yang mendasar, yang harus diyakini (sekaligus dipelajari dan diamalkan) oleh muslim. Begitu pula di HMI sebagai organisasi yang membaiat dirinya sebagai organisasi Islam.

Melalui NDP --yang juga sering disebut ideologi HMI-- tauhid mendapat penekanan dan porsi besar dalam dinamika ber-HMI. Sebagaimana yang diucapkan oleh Zezen Zaenal Muttaqien bahwa inti NDP adalah tauhid (Zezen Zaenal Muttaqien, 2008: 94). HMI mempercayai satu Tuhan yang benar-benar Tuhan Yang Sakral dan patut serta pantas disakralkan. Tuhan yang tidak hanya dianggap nyata-ada-benar oleh Islam, yang pada nantinya berujung pada mengkafirkan agama lain. Tuhan yang Satu merupakan muara dari berbagai agama, baik agama samawi atau agama ardhi.

Tuhan yang harus dipercayai dan menjadi tempat bergantung segala sesuatu harus benar-benar Tuhan. Bukan hanya Tuhannya orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dll., tetapi Tuhan mereka semua. Betapa pentingnya mempercayai dan menyembah Tuhan yang benar, sampai HMI dalam NDP-nya menaruh ulasan singkat dalam Bab I paragaraf 1, yaitu:

Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.

Dalam ulasan singkat di atas, mempercayai Tuhan yang salah mempunyai konsekuensi yang berbahaya. Dampak yang paling nyata-nampak adalah klaim kebenaran yang membabi buta sehingga dengan mudah mengkafirkan orang yang bukan golongannya. Bahkan memerangi orang atau kelompok di luar mereka merupakan keharusan. Kepercayaan akan Tuhan yang salah berujung pada intoleransi terhadap perbedaan.

Untuk mencegah klaim kebenaran yang membabi buta serta intoleransi terhadap sesama, maka HMI memajukan tauhid yang murni. Tauhid ala HMI (dan juga Islam secara umum) diungkap dalam kalimat La ilaha Illa Allah, tiada tuhan selain Tuhan, tiada god selain God, atau tiada tuhan selain Allah. Ungkapan ini sering disebut dengan negasi (al-nafyu) dan afirmasi (al-isbat) (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 56).

Kemurnian tauhid di atas tereksplisitkan melalui peniadaan (negasi) terlebih dahulu atas tuhan-tuhan yang membelenggu manusia sebelum nantinya mengecualikan (mengafirmasi) keberadaan Tuhan (dengan “T” besar). Tuhan inilah yang kemudian disebut Allah oleh orang Islam, Yahweh oleh orang Yahudi, dan Yesus Kristus oleh Kristiani serta Brahman oleh orang Hindu. Penamaan Tuhan bukan berarti menghilangkan dimensi substansial ke-Tuhan-an, tetapi ini merupakan cara kodefikasi dan identifikasi manusia demi memudahkan aktivitas komunikasi.

Akibat proses peniadaan dan pengecualian ini akan “terungkap” entitas absolut yang dinamakan Tuhan Universal, Tuhan dari semua agama. Pada konteks ini, atas dasar pemahaman yang komprehensif, kita harus mengikuti pemikiran genuine Cak Nur tentang pembedaan aspek esoteris (al-bawathin) dan eksoteris (al-dzawahir) agama. Lebih lanjut, Cak Nur --sebagaimana dikutip oleh Azhari-- mengatakan bahwa yang berbeda di dalam kehidupan keberagamaan adalah pada sisi eksoterisnya (syari’at), sedangkan dari sisi esoterisnya, semua agama mengajarkan monoteisme (tauhid) dan sikap pasrah (Islam) itu sendiri (Azhari Akmal Tarigan, 2007: 48).

Dengan demikian, memahami dimensi esoteris agama adalah mencari kalimah sawa’ (titik persamaan) antar agama yang tidak melulu mempersoalkan perbedaan eksoteris atau syari’at agama (termasuk ritual-ritual keagamaan). Pemahaman terhadap agama seperti ini akan mengantarkan manusia kepada toleransi terhadap perbedaan eksoteris. Karena mereka berpandangan bahwa dimensi eksoteris merupakan cara masing-masing agama menuju entitas tunggal: Tuhan Universal Yang Absolut.

Sebenarnya usaha pembedaan dimensial agama seperti di atas telah dilakukan oleh filsuf Islam abad ke-20. Dia adalah Seyyed Hossein Nasr, dan Nasr --demikianlah dia dikenal. Terlepas dari “agama syi’ah” yang dianutnya --yang saat ini sedang gencar-gencarnya “disesatkan” oleh beberapa golongan Islam di Indonesia-- pemikirannya sangat mempengaruhi Cak Nur, juga memberikan secercah cahaya harapan kepada kita di tengah-tengah gelapnya gerakan Islam radikal yang saya kira telah melakukan pendangkalan terhadap pemahaman keagamaan.

Nasr dikenal dengan filsafat perennial yang melakukan pembedaan antara God dan Conception of God, antara The One dan The Many. Demikianlah komentar Arqom Kuswanjoyo terkait filsafat perennial dalam pengantar buku karya Riki Saputra, Tuhan Semua Agama: Perspektif Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr. Bahwa saat ini manusia terjebak pada “wacana”-nya tentang Tuhan, padahal “wacana” tentang Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Di sini, Tuhan sebagai The One harus dibedakan dengan wacana tentang Tuhan sebagai The Many. Arqom lebih lanjut menjelaskan bahwa: Tuhan sebagai The One adalah Tuhan Tunggal yang tak terbagi dan tak terpisahkan, sementara The Many merupakan Tuhan dalam “serpihan-serpihan” yang tersebar di “wacana” manusia tentangNya. Padahal kita ketahui, manusia, dihadapan Tuhan, adalah entitas terbatas yang mustahil mencapai kesempurnaan “wacana” tentang Tuhan.

Melalui perennialisme, Nasr menjelaskan tentang agama sebagai Absolute dan relatively absolute. Pada kata pertama, agama dipandang mempunyai model dasar ideal yang sama, sedangkan pada kata kedua, agama merupakan mutlak secara relatif karena telah menjelma menjadi bagian-bagian terpisah dari eksoterisme.

Terkait perennialisme Nasr, Riki Saputra menganalogikannya dengan cahaya matahari yang ditangkap oleh prisma sehingga dapat memunculkan beraneka warna. Keanekaragaman warna tidak lantas mengklaim diri sebagai cahaya matahari, melainkan sebagai bagian dari cahaya matahari. Sama halnya dengan agama, semua warna dari Yang Satu (cahaya matahari) ketika ditangkap oleh sejarah dan kebudayaan memunculkan berbagai agama yang berbeda. Perbedaan yang ada hanya pada dataran eksoterik, yang sejatinya memiliki kesatuan transedental dalam tataran esoterik (Riki Saputra, 2012: 113).

Sepintas saya merasakan Tuhan Univerasal (God atau The One) sebagai sebenar-benarnya Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan ‘hanya’ “wacana” kita, konsepsi HMI, dan gagasan Nasr, serta pemikiran Cak Nur. Ya, demikianlah manusia yang terbatas mencoba mendekat, mengenali, kemudian ‘mendeskripsikan’ Tuhan yang Maha Tak Tebatas nan Sempurna.

Sampai saat ini, saya masih mempercayai teologi negatif sebagai jalan menuju “definisi” Tuhan. Bahwa Tuhan tidak dapat dideskripsikan dan tidak dapat diutarakan dengan kata-kata. Konsep tentang Tuhan hanya mempersempit keluasaan dan kesempurnaan Tuhan. Sama halnya dengan penyematan sifat-sifat (baik sifat wajib, jaiz dan mustahil) terhadap Tuhan yang dilakukan dalam teologi asy’ariah dan maturudiah seakan-akan membatasi “gerak” Tuhan.

Sebagaimana yang disampaikan Ibnu ‘Araby dengan teologi negatifnya kepada kita, bahwa Tuhan pada diriNya adalah Tuhan yang tidak dapat diketahui (al-ilah al-mahjhul), yang transenden (al-ilah al-munazzah), yang tidak terikat dengan atribut atau identitas apapun. Tuhan merupakan “negativitas” dalam bentuknya yang paling negatif (Muhammad Al-Fayyadl, 2012: 11).

Maka jalan keluar yang dimajukan oleh NDP untuk mengenal Tuhan adalah melalui wahyu yang diturunkan kepada para rasul. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad merupakan pamungkas para nabi dengan risalah Tuhan yang dia terima: Al-Qur’an. Lebih lanjut, NDP mengatakan:

Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.

Lebih eksplisit lagi yakni melalui ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang “mendeskripsikan” Tuhan sebagai Yang Satu, Tunggal, Tidak Berbilang, Yang Maha Mengasihi dan Menyayangi serta “Maha-maha” yang lain.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa wacana atau konsepsi manusia tentang Tuhan tidak dapat “mewakili” secara komprehensif Tuhan itu sendiri. Bagaimana mungkin yang tak terbatas mengetahui dan mengenal yang terbatas? Ya mungkin, yakni melalui wahyu. Itu pun, bagi saya, masih menyisakan ketidakpuasan. Karena wahyu Tuhan telah “diterjemahkan” ke dalam bahasa manusia, sehingga terjadi reduksi arti dan makna yang sedemikian rupa. Bagi saya, Tuhan “hanya boleh” diyakini, dihayati, kemudian dihadirkan dalam kehidupan keseharian.

Last, but not least, tulisan ini adalah --meminjam istilah Nietzsche-- akumulasi dari kekeliruan yang untuk sementara waktu “dibenarkan”.
Akhirul kalam, only the Absolute is absolutely Absolute (hanya yang Mutlak dapat disebut mutlak).

Daftar Rujukan
Al-Fayyadl, Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn ‘Araby: Kritik Metafisika Ketuhanan. Yogyakarta: LKiS.
Muttaqien, Zaenal Zezen. 2008. Sebuah Surat tentang NDP, Tauhid dan Sekularisasi. Dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. (Ed.), All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak Muda. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Saputra, Riki. 2012. Tuhan Semua Agama: Perspektif Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Penerbit Lima.
Tarigan, Akmal Azhari. 2007. Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Jakarta: Kultura.  

Comments