Hukuman Mati dan Pancasila


Frase “hukuman mati” akhir-akhir ini menjadi trending topic di media. Diperbincangkan di acara-acara talk show di televisi, berita di surat kabar dan media online serta jejaring sosial semacam facebook dan twitter tak luput membicarakannya. Frase “hukuman mati” –meminjam istilahnya Syahrini– cetar membahana di Indonesia, bahkan “suaranya” sampai ke Internasional.

Semua ini tidak terlepas dari sikap Presiden Jokowi menolak grasi yang diajukan oleh 17 terpidana mati kasus kejahatan narkotik (Tempo.co, 06/02/2015). Enam diantaranya telah di eksekusi pada gelombang pertama, Januari lalu. Rencananya gelombang kedua pada bulan ini (Februari). Sisanya tinggal menunggu giliran.

Dibalik implementasi hukuman mati, kecaman pun datang dari negara asal terpidana mati. Katakanlah bagaimana “ngototnya” pemerintah Australia meminta Indonesia membatalkan eksekusi mati dua terpidana asal negeri kanguru itu, hingga Tony Abbott, Perdana Menteri Australia, mengungkit kebaikannya membantu Indonesia saat tsunami meluluhlantahkkan Aceh 2004 silam. Ada juga Brasil yang membatalkan undangan duta besar Indonesia di istana negaranya. Kemudian berdampak pada hubungan diplomatis: penarikan duta besar Indonesia.

Selain itu, hukuman mati masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat, meskipun hukuman jenis ini telah diberlakukan sejak zaman kolonial di bumi pertiwi. Bagi masyarakat yang setuju, hukuman mati diyakini akan memberikan efek jera kepada pelaku extra-ordinary crime  yang lain. Hal ini merupakan langkah preventif dalam meminimalisir kejahatan di Indonesia, terutama kejahatan luar biasa. Lebih baik satu mati daripada merugikan dan menyengsarakan banyak orang. Seperti peribahasa “karna nila setitik, rusak susu sebelanga.” Jelasanya, masyarakat yang setuju hendak mengatakan lebih baik “mencegah” nila setitik jatuh ke belanga daripada kemudian susu sebelanga rusak karena nila setitik. Lagi pula, kata mereka, hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain.  

Bagi masyarakat yang kontra, terutama aktivis HAM, hukuman mati termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terutama hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Di mana, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ditambah lagi dengan argumentasi mereka bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Terbukti dengan masih adanya kongkalikong di pengadilan dan jual beli perkara. Bahkan ada rumor “siapa punya uang, dia menang” di pengadilan Indonesia.

Dibalik kontroversi hukuman mati di Indonesia, sebenarnya Pancasila yang dijadikan dasar hukum di Indonesia mempunyai jawabannya. Pancasila merupakan falsafah hidup bagi Indonesia merdeka digali dari dinamika kehidupan masyarakat nusantara ribuan tahun lamanya. Dibangun dengan semangat gotong royong, persaudaraan, dan gotong royong, namun tidak menafikan hak dasar individu, termasuk di dalamnya ada hak hidup. Founding fathers kita menghendaki Indonesia merdeka dibangun atas dasar kekeluargaan yang menjamin hak individu. Hal ini adalah upaya supaya Indonesia tidak terjerumus dalam individualisme di satu sisi, dan di sisi lain ke dalam negara kekeluargaan yang menjelma menjadi negara kekuasaan.

Seperti yang diutarakan Mohammad Hatta dalam sidang BPUPKI tanggal15 Juli 1945 bahwa harus ada jaminan yang lebih tegas atas hak berserikat , berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, demi mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dengan dalih semangat kekeluargaan di kemudian hari.

Lain Mohammad Hatta, lain pula Soepomo. Beliau secara eksplisit menghendaki agar warga negara lebih mengedepankan pemenuhan kewajibannya ketimbang menuntut haknya. “Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya “apakah hak-hak saya”, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini?,” ungkapnya.  Pandangan Soepomo ini, seperti dicatat oleh A.B. Kusuma kemudian dikutip oleh Yudi Latif dalam Negara Paripura, mendahului apa yang kemudian ditekankan oleh John F. Kennedy kepada rakyat Amerika Serikat pada 1961, “Jangan tanyakan apa yang dapat diberikan oleh negara bagi dirimu; tanyalah apa yang dapat diberikan oleh dirimu kepada negara”  (Yudi Latif, 2011: 188).

Soekarno, Bapak Proklamator, dengan terang-terangan mengatakan bahwa semangat dasar negara Indonesia merdeka adalah semangat gotong royong: “Negara Indonesia yang kita dirikan adalah negara gotong royong.” Prinsip kegotong royongan atau kebersamaan tidak lain merupakan jalan peniadaan, atau paling tidak pembatasan egoisme personal atau sektoral. Yang ada hanyalah penyelarasan –bukan pemaksaan– egoisme (baca: kepentingan) personal atau sektoral dengan kepentingan publik dan atau mengedepankan kepentingan publik.

Seperti yang telah ditegaskan oleh Plato, filsuf Yunani, dalam Politeia bahwa polis (negara-bangsa) yang ideal mengharuskan stake holder polis untuk melakukan penyelarasan antara kepentingan pribadi atau kelompok dengan kepentingan negara atau publik. Bahkan dia lebih ekstrim lagi dengan mengharuskan peniadaan barang milik pribadi, termasuk keluarga, supaya polis seluruhnya akan menjadi satu ‘keluarga’ yang besar. Sehingga para pemimpin polis tidak lagi mempunyai kepentingan pribadi. Konsepsi berbangsa dan bernegara demikian yang kini dikenal dengan ‘komunisme’. Meskipun pandangan tersebut saya kira kurang tepat.       

Secara konseptual founding fathers  negara kita telah memberi sinyal ihwal sikap yang –seharusnya– dilakukan terhadap hukuman mati. Bahwa setiap warga negara dituntut untuk memenuhi kewajiban terlebih dahulu daripada meminta haknya. Salah satu pemenuhan kewajiban adalah taat aturan berdasarkan hukum yang berlaku. Jika tidak, hak tidak dapat ditagih. Begitu pula hukuman mati: dijatuhkan kepada pelaku extra-ordinary crime yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, pemberlakuan hukuman mati di Indonesia sah-sah saja selama prosesnya, dari penyelidikan hingga penjatuhan vonis, benar dan adil sesuai kaidah undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, tidak perlu gentar terhadap ancaman apapun selama yang kita yakini dan lakukan itu benar: menegakkan hukum dan melindungi bangsa Indonesia.        

Comments