Gerakan Mahasiswa: Sebuah Refleksi
Dalam beberapa pertemuan, saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman aktivis mahasiswa tentang gerakan mahasiswa masa kini. Baik diskusi yang disengaja atau yang kebetulan berpapasan di jalan kemudian terjadilah bincang-bincang kecil. Dibalik pertemuan tersebut, saya menangkap ekspresi kekhawatiran sekaligus harapan dari wajah mereka terhadap gerakan mahasiswa di bawah rezim reformasi. Begitu pula yang saya rasakan.
Kekhawatiran muncul lantaran beberapa alasan. Pertama, secara kuantitas, gerakan
mahasiswa semakin hari semakin sepi peminat: dari pada “menjadi” aktivis, lebih
baik fokus kuliah, cepat lulus, kerja, kemudian nikah, atau melakukan sesuatu
yang menghasilkan uang, semisal berwirausaha dan berbisnis. Sangat praktis
sekali.
Kedua, secara kualitas, gerakan mahasiswa tidak lagi
menjadi kawah candradimuka bagi kadernya. Intelektualitas sebagai sesuatu yang
selalu diasosiasikan dengan mahasiswa mulai mengelupas. Diskusi tidak lagi
digalakkan, militansi kader dipertanyakan. Gerakan mahasiswa tak ubahnya
sekumpulan orang yang berorientasi pragmatis: berorganisasi untuk memperluas
jaringan demi mempermudah mencari pekerjaan. Walaupun tidak semua aktivis
demikian, namun sudah menjadi kebiasaan umum saat junior “meminta” pekerjaan
kepada seniornya. Tentu senior yang mempunyai kedudukan. Gerakan mahasiswa
tidak lagi murni karena ideologi dan tujuan awal yang ditawarkan. Ia, kini,
lebih dekat dengan sumber-sumber modal dan pusat-pusat kekuasaan.
Kondisi pragmatis dan disorientatif tersebut,
kiranya cukup mudah untuk membuat hipotesa ‘kemunduran gerakan mahasiswa’. Kondisi
tersebut tidak berdiri sendiri, apalagi terjadi dengan sendirinya. Ada
sebab-sebab yang menstimulasi munculnya. Muhammad Al Fayyadl dalam Harian
IndoProgress mengkategorikan 3 (tiga) sebab pemicu ‘kemunduran gerakan
mahasiswa’. Sebab pertama, faktor
budaya: memandang budaya sebagai faktor yang mempengaruhi kehidupan mahasiswa.
Budaya yang dimaksud adalah budaya pop yang, menurut Al Fayyadl, dimotori oleh
teknologi-informasi, hipperrealitas media, dan dunia hiburan. Dibalik itu semua
terselip nilai-nilai (values) budaya
hedonisme Barat: yang menyenangkan itu yang dilakukan. Kata “senang” di sini
diasosiasikan dengan konotasi negatif berupa kesenangan semu: pemenuhan hasrat
duniawi.
Sebab kedua, degradasi
moral. Kiranya pendapat kedua ini hendak mengatakan bahwa kemunduran gerakan mahasiswa berbanding lurus
dengan kemerosotan moralnya. Mahasiswa, sebagai golongan pelajar terdidik,
tidak mencerminkan bagaimana seharusnya seorang berpendidikan bersikap dan
bertindak dalam sehari-harinya. Ia tergerus oleh arus modernisasi dan
globalisasi yang tidak semuanya bernilai positif. Ia “kalah” dalam pertarungan
melawan kehendak jahat (hawa nafsu) dalam dirinya yang berakibat fatal bagi pelemahan
daya filternya. “Kekalahan” inilah sebagai akibat dari kurangnya penanaman
nilai-nilai moral dan agama.
Sebab ketiga,
dimensi eksistensial: hilangnya jati diri dalam menghadapi godaan hidup. Mahasiswa
tidaklah menjadi mahasiswa seutuhnya dengan mahkota ke-“maha”annya. Ia telah
menjelma menjadi orang lain. Ia terpengaruh gonjang-ganjing lingkungan sekitar
di mana ia hidup. Ia tenggelam dalam hiruk pikuk dunia. Kiranya, dalam pendapat
ini, mahasiswa yang diidam-idamkan adalah ia yang teguh pendirian, berpegang
pada prinsip, dan konsisten dalam hidup dalam berpihak pada kebenaran.
Analisis Muhammad Al Fayyadl di atas dimajukan “hanya” atas dasar keadaan subjek yang
dipengaruhi oleh keadaan objek, sehingga memunculkan kekhawatiran atau kata Al
Fayyadl kegundahan di kalangan aktivis mahasiswa. Subjek, dalam hal ini
mahasiswa, seakan-akan tidak berdaya menghadapi objek (lingkungan) yang
sedemikian kompleksnya: ada arus modernisme dan globalisasi. Peran subjek
menjadi pasif dan menerima “nasib” dengan legowo
tanpa mempertanyakan terlebih dahulu: mana
yang baik dan mana yang buruk?
Jika yang dimajukan adalah keaktifan peran subjek
dalam menghadapi perubahan objek yang signifikan, maka perasaan di kalangan
aktivis tentu berbeda. Bukan kekhawatiran dan kegundahan, tetapi harapan. Bahwa
gerakan mahasiswa “masih” ada dan tidak mengalami kemunduran, hanya saja ia
melebur dalam proses pengadabtasian dengan lingkungan baru. Ia mencoba
berkenalan, kemudian saling mengakrabi melalui “peredaman” identitas diri
sebagai gerakan mahasiswa. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa sedang mencari
format baru yang lebih pas dari
politik ‘jalanan’ yang mulai ditinggalkan sebagian mahasiswa ke hal-hal yang
berorientasi pada student needs dan
student interests.
Tentu analisis nomor dua ini terlalu optimis karena
menempatkan gerakan mahasiswa sebagai kualitas komunal “tanpa celah”, yang
setiap dinamikanya –apapun bentuk dan formatnya– dinilai sebagai sesuatu yang
baik atau setidaknya pencarian menuju kebaikan. Analisis demikian berbahaya
sekali bagi masa depan gerakan mahasiswa lantaran mengurangi porsi koreksi diri
dan sifat kehati-hatian dalam bertindak. Padahal kita mengenal adagium “hidup
itu seperti roda yang berputar”: ada kalanya kita di bawah, ada kalanya kita di
atas.
Oleh
karena itu, sintesa kedua analisis
tersebut lebih cocok dan pas digunakan
oleh gerakan mahasiswa sebagai bahan refleksi. Kekhawatiran dan kegundahan
dapat dijadikan momentum koreksi dan evaluasi serta perbaikan diri (apa yang
salah dengan gerakan kita?). Sedangkan harapan (hope) merupakan pil pendongkrak semangat yang sewaktu-waktu dapat
“diminum” di kala “sakit”.[]
Comments
Post a Comment