FILSAFAT POLITIK JOHN LOCKE



painted by Godfrey Kneller

INTISARI
 
Karya tulis ini mendeskripsikan tentang gagasan John Locke di bidang filsafat politik. Tujuan karya tulis ini adalah untuk mengungkap faktor-faktor dibalik gagasan filsafat politik Locke, seperti tentang keadaan alamiah manusia, hak milik, kontrak sosial, dan negara serta bentuk sistem pemerintahan ideal. Tidak hanya disingkap, tulisan ini juga mencoba merefleksikan filsafat politik Locke melalui jalan kontekstualisasi. Dengan kata lain, merefleksikan filsafat politik Locke berarti mempertemukan ‘apa yang seharusnya’ dengan ‘apa yang senyatanya’ sebagai jalan mengevaluasi teori sekaligus mendudukkan persoalan dalam ranah praktis. 

Untuk mengungkap filsafat politik Locke, kajian pustaka digunakan sebagai jembatan penghubung antara objek material (John Locke) dan objek formal (Filsafat Politik). Sumber utama dari karya tulis ini adalah karya asli Locke di bidang filsafat politik yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Karya asli tersebut berjudul: Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil dengan A Widyamartaya sebagai penerjemahnya. Selain itu, dihadirkan pula beberapa literatur untuk menopang sekaligus mempermudah memahami karya asli Locke. 

Implikasi dari karya tulis ini, setidaknya, mencakup dua aspek: teoritis dan praktis. Secara teoritis, dalam karya tulis ini, filsafat politik Locke tidak dibiarkan berjalan sendirian, melainkan ditemani oleh teman-temannya yang juga mempunyai gagasan filsafat politik, terutama ajaran kontrak sosial. Hal ini dimaksudkan semata-mata sebagai studi komparatif supaya pembahasan lebih hidup. Secara praktis, filsafat politik Locke hanya berorientasi pada kebaikan: terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam negara. Untuk mencapai orietasi tersebut, banyak jalan yang dapat ditempuh sesuai dengan kondisi sosio-kultural di mana seseorang tinggal. Demikian pula jalan yang ditempuh Locke, karena dia tinggal di Inggris dengan sistem kerajaannya, maka sitem pemerintahan monarki (eksekutif) tetap dipertahankan meskipun, bagi Locke, kedaulatan berada di tangan rakyat (legislatif).
 
Kata kunci: John Locke, Filsafat Politik dan Kontrak Sosial  


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
 
Menempatkan John Locke sebagai salah satu tokoh filsafat politik yang paling berpengaruh bukanlah hal yang berlebihan. Selain mejadi juru bicara liberalisme,  gagasannya tentang the separation of power mengawali teori trias politica-nya Montesquieu  (1689-1755), filsuf Prancis abad pencerahan. Meskipun ajaran kontrak sosialnya (sebagai cikal bakal terbentuknya suatu Negara) diawali oleh Thomas Hobbes (1588 – 1679), seniornya di empirisme modern. 

Terhadap gagasan filsafat politik John Locke, saya dibuat penasaran. Kemudian mendorong saya untuk mempelajari lebih lanjut gagasan itu. Makalah kecil ini merupakan follow up dari rasa penasaran yang  selama ini (mungkin) secara perlahan telah terobati dengan perkenalan-perkenalan lewat beberapa buku yang saya baca.

Ada beberapa alasan yang membuat saya penasaran dan ingin menulis gagasan filsafat politik John Locke dalam makalah kecil ini. Bagi saya, pertama, melalui John Locke, pintu gerbang sistem politik pemerintahan modern-kontemporer dibuka. Gagasannya tentang hak milik dan kebebasan individu mengantarkan kita pada sistem demokrasi yang ditopang oleh liberalisme. Sebagaimana ‘pengadobsian’ oleh Amerika Serikat terhadap filsafat politik John Locke dalam sistem politik-pemerintahannya.

Kedua, berbeda dengan Thomas Hobbes yang memajukan teori absolutisme negara, John Locke membantah absolutisme negara karena sistem demikian merupakan bentuk “pemerkosaan” kebebasan manusia. Perbedaan ini berangkat dari bagaimana kedua filsuf memandang manusia. Bagi Hobbes, keadaan alami manusia adalah jahat. Bahkan manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Konsekuensinya, negara harus mengontrol penuh warga negaranya agar tidak menjadi “serigala”, baik bagi dirinya maupun bagi yang lain. Sedangkan John Locke memandang keadaan alami manusia adalah baik dan damai. Sehingga negara “hanya” bertugas memproteksi keadaan alamiah tersebut.   

Ketiga, filsafat politik John Locke tidak dapat dilepaskan dari konteks politik praktis pada waktu itu. Inggris menjadikan monarki absolut sebagai sistem politik pemerintahannya dengan Charles II sebagai raja sekaligus penguasa. Lebih-lebih kekuasaan Charles II ditopang oleh teori doktrinal ala Sir Robert Filmer dengan patriarcha yang mendukung monarki absolut dengan raja sebagai titisan Tuhan (Henry J. Schmandt, 2002: 329).

Berangkat dari ketiga alasan di atas, pada dasarnya, filsafat politik John Locke merupakan refleksi politis atas konsep negara dan format pemerintahan yang representatif. Dalam konteks ini, John Locke berusaha mengarsiteki bangunan negara beserta atribut-atribut pemerintahan di dalamnya dengan keadaan kodrat manusia sebagai pondasinya. pada tahap selanjutnya, filsafat politik John Locke akan dan selalu diwarnai dengan bagaimana kita memandang manusia, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk komunal.

1.2 Rumusan Masalah
    
Merefleksikan secara politis pemikiran filsafat politik John Locke akan mengantarkan kita kepada suatu konsep negara ideal yang berada di jurang dilematis: antara ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang senyatanya’. Pada satu sisi, konsep negara mengidealkan bentuk sesempurna mungkin, namun pada sisi lain terjadi sebaliknya: ‘bahasa teoritis’ tidak dapat diterjemahkan ke dalam ‘bahasa sehari-hari’. Bercermin pada Negara Indonesia yang secara konsepsional nyaris mendekati sempurna, namun dalam kenyataan terjadi sebaliknya: dinamika politik-praktis tak berteori.

1.3 Kerangka Teori

Sebagaimana Thomas Hobbes, pemikiran filsafat politik John Locke dilatarbelakangi oleh pandangannya terhadap manusia. Menurut Locke, manusia adalah makhluk bebas merdeka. Tetapi tidak bertindak semau dan sewenang dirinya lantaran penyematan atribut bebas kepada dirinya. Manusia harus mencintai dirinya dan orang lain dengan jalan tidak merusak diri dan mengganggu orang lain. Oleh karena itu, manusia antara satu dengan yang lain berkedudukan setara, sederajat, dan egaliter.

Keadaan alamiah demikian tidak berdiri sendiri. Ada ‘hukum alam’ yang semata-mata megatur keadaan alamiah untuk memperoleh perdamaian kehidupan dan ketahanan diri (self-preservationi) (Henry J. Schmandt, 2002: 337). Lebih lanjut, Locke mengatakan bahwa ‘hukum alam’ saja tidak cukup. Maka perlu ‘dilembagakan’ (atau istilah lainnya: butuh akan hukum lain). Keberadaan ‘hukum alam’ yang ditopang oleh ‘hukum lain’ dimaksdukan untuk mendukung kebenaran dan menghukum kesalahan. Semisal penjaminan lindungan atas hak milik pribadi.

Selanjutnya, manusia yang bebas-merdeka membuat persetujuan yang oleh Locke disebut “Kontrak Sosial”. Kontrak sosial merupakan penyerahanan secara sukarela otonomi independensi manusia kepada apa yang dinamakan ‘masyarakat politik’. Setelah ‘masyarakat politik’ terbentuk, maka pemerintahan harus dibuat.

Bagi Locke, pemerintahan baik adalah yang menerapkan pembatasan-pembatasan kekuasaan dengan mengimplementasikan the separation of power (pemisahan kekuasaan). Dari sini kemudian dikenal kosakata eksekutif sebagai raja (Indonesia: Presiden), legislatif selaku wakil ‘suara rakyat’ yang menjadi penyeimbang dari fungsi eksekutif, dan federatif sebagai pelaksana diplomasi internasional.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Menuju Kontrak Sosial

Masyarakat --lebih tepatnya disebut ‘manusia’ karena tahap ini masih individualis-- dikatakan memilik sifat kodrati alamiah, yaitu: bebas-merdeka dan hidup damai, tapi masih belum kokoh. Keadaan demikian, sebagaimana dikatakan oleh M. Sastrapatedja dalam pengantar bukunya John Locke edisi Indonesia, Kuasa Itu Milik Rakyat, bahwa: keadaan alamiah manusia (state of nature) adalah keadaan kebebasan (state of liberty), tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya (state of license) (John Locke, 2002:11).

Kebebasan manusia mensyaratkan satu hal: tidak adanya dominasi atau monopoli. John Locke mengatakan: Kebebasan kodrati manusia adalah kebebasan dari kekuasaan apapun yang lebih tinggi di dunia, dan keadaan tidak berada dalam kehendak atau wewenang legislatif manusia, tetapi mempunyai hukum Alam sebagai aturannya (John Locke, 2002: 37).

Di sini, Locke menyebut hukum Alam berada ‘di atas’ kebebasan manusia. Karena ia mempercayai akan kebebasan yang disalahgunakan. Yakni aktivitas atau tindakan semena-mena dan “semau gue” dengan dalih kebebasan. Tindakan demikian (state of license) tidak dikehendaki adanya oleh Locke melalui penuturannya tentang hukum Alam. Bagi dia, hukum Alam berfungsi layaknya hakim di pengadilan: membenarkan yang benar dan menghukum yang salah.

Tentang hukum Alam, John Locke berkata: Keadaan Alam Kodrat mempunyai suatu hukum Alam untuk mengaturnya; hukum ini mewajibkan setiap orang, dan akal budi, yakni hukum itu, mengajarkan kepada seluruh bangsa manusia yang sudi mendengarkannya bahwa karena semua orang itu sama-sederajat dan mandiri, tidak ada seorangpun yang boleh merugikan  orang lain dalam hidup, kesehatan, kebebasan, ataupun harta miliknya (John Locke, 2002: 26).

Akan tetapi dalam pengimplentasian hukum Alam, terdapat beberapa kejanggalan yang terjadi. John Locke mengakui hal itu. Setidaknya ada dua (2) kejanggalan. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan akan hukum yang mapan, diketahui, diterima dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi standar benar dan salah, dan tindakan bersama untuk memutuskan pertentangan yang ada. Dan kedua, kebutuhan akan hakim yang jujur, adil, dan berintegritas (Henry J. Schmandt, 2002: 338).

Dua kebutuhan di atas bersentuhan langsung dengan hak-hak dasar manusia. Jika tidak dipenuhi maka dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan hak-hak dasar tersebut. Dengan kata lain, usaha untuk menikmati hak pribadi dan hak milik menjadi tidak aman dan tentram. Kata ‘milik’ di sini berarti: kehidupan, kebebasan, dan estate (tanah milik) (Henry J. Schmandt, 2002: 343). Seperti ditegaskan Locke: yang saya maksudkan dengan hak milik di sini, seperti di tempat-tempat lain, ialah hak milik yang dipunyai orang-orang berkenaan dengan diri pribadi mereka dan juga barang-barang mereka (John Locke, 2002: 134).

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi ketidaktentraman tersebut, dibentuklah apa yang dinamakan ‘masyarakat politik’. Diawali dengan persetujuan bersama antar-individu untuk membentuk ‘masyarakat politik’. Persetujuan ini dinamakan ‘kontrak sosial’. Persetujuan adaah kata lain penyerahan mandat individu yang bebas-merdeka kepada masyarakat bersama untuk kemudian ditindaklanjuti.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah motif John Locke ‘menciptakan’ kontrak sosial di masyarakat. Baginya, kontrak sosial bukan dilatarbelakangi oleh keadaan alamiah manusia untuk berkumpul dan bersekutu sehingga menjadi masyarakat politik, sebagaimana Plato (428 - 348 SM) menyematkan atribut zoiôn politikon (sering diterjemahkan ‘makhluk sosial’) pada manusia. Kontrak sosial menurut John Locke dilandasi atas ketidakmemadainya kondisi alamiah manusia. Kondisi yang dimaksud merujuk pada kejahatan yang ada di sekitar, yang sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman bagi hak pribadi dan hak milik.

Selain itu, terdapat tiga (3) sifat kontrak sosial John Locke, yang kemudian membedakannya dengan kontrak sosial ala Thomas Hobbes dan Mountesquieu (Henry J. Schmandt, 2002: 339-340). Pertama, dibalik persetujuan atau kesepakatan, yang kemudian mengadakan kontrak sosial, bukanlah rasa ketakutan manusia yang mengharuskannya mencari ‘tempat berlindung’. Bagi Locke, kontrak sosial adalah tindak lanjut dari keinginan manusia untuk menghindari gangguan keadaan alamiah (state of nature). Manusia semata-mata mencari perangkat institusional yang membuat hak-hak yang telah mereka miliki menjadi lebih aman.  


Kedua, manusia secara individu tidak menyerahkan kepada ‘masyarakat politik’ tersebut hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi hanya hak untuk melaksanakan hukum alam. Ketiga, hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh komunitas yang bersepakat (yang berkontrak sosial).  

Dari sifat-sifat kontrak sosial tersebut, maka di sini John Locke semakin mengeksplisitkan tendensi akan apa yang kita namai liberalisme. Dia, dalam konteks kontrak sosial, mengagung-agungkan keadaan alamiah manusia. Lantas bagaimana Negara terbentuk? Menurut John Locke, ketika ‘masyarakat politik’ telah terbentuk, maka mereka harus membentuk pemerintahan. Hal ini dimaksudkan guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Katakanlah penjaminan hak-hak alamiah manusia yang lebih terorganisir dan teratur.

2.2 Kontrak Sosial Locke: Antara Hobbes dan Rousseau
 
Seharusnya ada banyak tokoh atau filsuf pembanding yang dihadirkan dalam makalah ini sebagai komparasi dengan gagasan John Locke tentang kontrak sosial. Tapi apalah daya karena keterbatasan ruang dan waktu, saya hanya membatasi (baca: membandingkan) dengan dua filsuf ‘empunya’ kontrak sosial: Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau. 

“Kehadiran” dua filsuf di atas bukan asal-asalan saja. Setidaknya ada beberapa alasan kuat mengapa saya menjatuhkan pilihan kepada mereka berdua. Pertama, dari segi gagasan, keduanya memiliki perhatian sekaligus penekanan khusus pada ajaran kontrak sosial. Kedua, secara periodik, keduanya hidup pada masa yang berdekatan. Hobbes (1588 – 1679) mengawali Locke yang hidup pada tahun 1632 – 1704), sementara Rousseau (1712 – 1778) “mengakhiri”-nya. John Locke hidup di “tengah-tengah”nya.  

Keadaan yang secara periodik berdekatan tersebut memungkinkan dua bentuk saling-keterpengaruhan, yaitu: keterpengaruhan kontradiktif dan afirmatif. Yang pertama, gagasan/pemikiran dimaksudkan sebagai respon atas ketidaksetujuan pada gagasan sebelumnya sebagaimana kontrak sosial Locke sangat kontradiktif dengan kontak sosial Hobbes. Sementara yang kedua, memperkuat (seakan-akan) gagasan sebelumnya meskipun terdapat tambahan dan bentuk yang berbeda, semisal keadaan alamiah Locke yang hampir menyerupai keadaan alamiah Rousseau.  

Perbedaan gagasan kontrak sosial antara Hobbes, Locke dan Rousseau bersifat sangat mendasar. Bahwa perbedaan antara ketiganya (bahkan juga dengan kontrak sosial versi yang lainnya) terletak pada ‘motif’ melakukan kontrak sosial (F. Budi Hardiman, 2004: 118). ‘Motif’ yang dimaksud di sini ialah bagaimana ketiga filsuf tersebut memandang manusia. Pandangan mereka tentang manusia (keadaan asali dan bagaimana manusia seharusnya) menjadi pondasi awal kontrak sosial, kemudian pemerintah dan negara. Hal ini senada dengan pernyataan Louis O. Kattsoff, “Sesungguhnya, bentuk-bentuk pemerintahan dan pendidikan sangat bergantung pada pandangan kita tentang manusia (Louis O. Kattsoff, 2004: 383).” 

Untuk memperjelas ‘motif’ apa yang melatarbelakangi kontrak sosial yang dimajukan oleh masing-masing filsuf, marilah kita mulai satu per satu secara sistematis. Hobbes memandang keadaan alamiah (the state of nature) manusia adalah ‘keadaan perang’. Manusia adalah makhluk yang pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri, yaitu, untuk memelihara dan mempertahankan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelak rasa sakit (F. Budi Hardiman, 2004: 70).  

Keadaan kodrati manusia yang demikian mengantarkan manusia menyandang atribut ‘anti-sosial’. Hal ini mengacu kepada hasrat kepentingan antarindividu yang saling bertentangan. Setiap orang berhasrat memenuhi kebutuhan dan kepentinganya sendiri tanpa memandang lingkungannya, termasuk orang lain. Bahkan manusia yang secara kodrati egaliter ini ingin selalu mempertahankan kebebasan dirinya dengan menguasai (memperbudak) orang lain (Bertrand Russell, 2007: 723).    

Manusia selalu berada dalam keadaan perang atau meminjam perkataan Hobbes, bellum omnes contra omnia (perang semua melawan semua) atau dalam tataran perorangan, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Perang atau konflik terjadi karena pertentangan kehendak antar-dua orang atau lebih pada satu sisi, dan pada sisi lain, perang merupakan buntut dari kebebasan manusia yang setara nan tanpa batas. Sebagaimana dikatakan oleh Murray Forsyth (1994: 41) bahwa: War, for Hobbes, was the product of a relationship, albeit a negative one, between the wills of two or more persons. A person adopts a posture of war when, in a given situation, his original right and capacity to decide what is good, desirable or reasonable for him comes into fundamental conflict with another person’s identical right and capacity. War springs from the fact that ‘all men are, by nature, equally free’.     

Atas ‘motif’ the state of nature manusia yang demikian, Hobbes menganggap perlu adanya ‘kontrak sosial’ semacam perjanjian atau kesepakatan damai supaya kehidupan sosial dapat terwujud (F. Budi Hardiman, 2004: 71). Setelah Hobbess “menciptakan” kontrak sosial, dia merumuskan absolutisme negara. Melalui ‘leviathan’, Hobbes menghadirkan negara sebagai ‘monster laut’ garang yang harus dan selalu memaksa sekaligus menekan rakyat (warga negara) dengan norma-norma dan hukum-hukum yang berlaku. Karena, menurutnya, kekuasaan absolut adalah jalan satu-satunya untuk pemeliharaan individu. 

Jika Hobbes mengadakan kontrak sosial dengan ‘motif’ keadaan asali manusia yang jahat, kontrak sosial Rousseau dengan ‘motif’ keadaan asali manusia itu baik dan membahagiakan, namun jumlah kendala yang dihadapi manusia lebih banyak daripada jumlah sumber untuk mempertahankan diri (F. Budi Hardiman, 2004: 118). Dengan kata lain, keadaan asali cenderung tidak stabil. Sehingga hubungan-hubungan sosial seharusnya terorganisir sedemikian rupa sehingga tidak menyalahi keadaan asali manusia. Yaitu manusia tetap menjadi tuan atas dirinya sendiri. 

Atas dasar mempertahankan keadaan asali manusia itulah, menurut Rousseau, kontrak sosial diadakan. Kontrak sosial dalam hal ini dimaknai sebagai persekutuan, kesepakatan atau konvensi sosial yang bermotif memproteksi keadaan asali. Lebih lanjut, Rousseau mengatakan: “masing-masing dari kita secara bersama-sama meletakkan kedirian dan seluruh kekuasaan kita di bawah supremasi kehendak umum, dan dalam kapasitas kolektif kita, kita menerima tiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan” (Bertrand Russell, 2007: 909). 

Dari kontrak sosial, kemudian tercipta lembaga moral kolektif yang disebut “Negara” bila pasif, dan “Penguasa” bila aktif, dan “Kekuasaan” bila dalam kaitannya dengan lembaga serupa yang lain (Bertrand Russell, 2007: 909). Sedangkan anggotanya, secara kolektif disebut “rakyat” dan secara individual disebut “warga negara”(F. Budi Hardiman, 2004: 119).  

Setelah lembaga moral –katakanlah Negara– berdiri, maka terjadi perubahan kondisi manusia. Kehendak individu manusia harus tunduk (atau menyelaraskan) dengan ‘kehendak umum’ (volonté generalé). Dengan demikian, tidak ada ‘kebebasan kodrati’ sesudah terjadi kontrak sosial. Yang ada hanyalah ‘kebebasan sipil’. Jika ‘kebebasan kodrati’ dibatasi oleh kekuatan fisik individu, maka dalam ‘kebebasan sipil’ dibatasi oleh ‘kehendak umum’. 

Dalam negara, Rousseau beragumen bahwa negara ideal adalah negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Sebagaimana gagasannya dalam ‘keadaan asali’ manusia, dalam negara kedaulatan rakyat, kebebasan dan kepentingan individu harus menyesuaikan diri dengan ‘kehendak umum’. Karena ajarannya selalu mengedepankan kehendak ‘umum’, Rousseau dianggap membenarkan “tirani mayoritas”, “penindasan atas minoritas”, dan “absolutisme negara demi kedaulatan rakyat”. (F. Budi Hardiman, 2004: 119-120)  

Senada dengan F. Budi Hardiman, Jeremy Jennings mengatakan bahwa ajaran Rousseau ini disebutnya sebagai “modern Leviathan. Pendapat ini mengacu pada negara yang mempunyai otoritas penuh atas rakyatnya dengan dalih ‘kehendak umum’. Jerremy Jennings (1994: 115) secara eksplisit berpendapat bahwa: Rousseau came to be seen not only as a contract theorist but also as the prophet of popular sovereignty, as the patron of a modern Leviathan that had swept awal all before it. 

Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengambil hipotesis bahwa ‘motif’ lah yang membedakan ajaran kontrak sosial antara satu filsuf/tokoh dengan filsuf/tokoh lainnya. Tidak hanya berhenti di situ, perbedaan berlanjut saat mengkonsepsikan negara dan bagaimana seharusnya negara bersikap dan bertindak.

2.3 Masyarakat Politik, Negara dan Pemerintahan
 
Masyarakat paska-kontrak sosial hidup dalam Negara. Dalam menjalankan Negara (baca: pemerintahan) harus ada batasan-batasan demi mencegah absolutisme negara. Bagi John Locke, pembatasan adalah keadaan di mana penerima mandat kekuasaan dari rakyat (selanjutnya disebut legislatif) dan warga negara itu sendiri tunduk dan patuh terhadap hukum. Pemerintah menjalankan fungsi kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku. Begitu pula yang harus dilakukan oleh rakyat: mematuhi aturan hukum.  

Pemerintahan yang terbatas bertautan erat dengan tujuan pemerintahan. Dalam tujuan pemerintahan tidak ada tujuan ekonomis-politis yang kita pahami pada pemerintahan saat ini. Bagi Locke, tujuan pemerintahan adalah melindungi hak milik dan hak asali. Lagi-lagi, tujuan ini digali melalui postulat state of nature-nya manusia secara individu sebelum terjalinnya kontrak sosial.  

Selain melindungi hak milik, negara sebagai ‘ladang’ kekuasaan harus: (1) melakukan apa saja yang dianggapnya baik untuk menjaga kelestarian dirinya dan segenap manusia yang lain, dan (2) kekuasaan untuk menghukum yang salah dan menghargai (reward) yang benar. (John Locke, 2002: 102-103)    

Untuk menggapai tujuan pemerintahan, maka perlu dibentuk organisasi pemerintahan. Tentang hal ini, John Locke melakukan pemisahan –sekaligus dimaksudkan sebagai pembatasan— kekuasaan dalam Negara. Konsep organisasi in dikenal dengan nama the separation of power.  

Ada tiga (3) organisasi dalam Negara. Pertama, kekuasaan legislatif sebagai pemegang kekuasaan tertinggi karena representatif dari rakyat. Kedua, kekuasaan eksekutif dipegang oleh raja yang bertugas menjalankan roda pemerintahan. Tentang kedua organisasi kekuasaan Negara ini, Locke tidak menjelaskan perbedaan yang berarti. Dia hanya mengungkapkan bahwa fungsi keduanya adalah kontrol atas kekuasaan satu sama lain. Karena, bagi Locke, kelemahan manusia adalah kecenderungan orang-orang yang berkuasa untuk meraih kekuasaan yang lebih besar. Sementara yang ketiga adalah kekuasaan federatif sebagai badan diplomasi dengan Negara lain.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan: Sebuah Refleksi Politis
 
Secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa gagasan filsafat politik John Locke berangkat dari pandangannya terhadap manusia, terutama keadaan alamiahnya. Dari postulat ini, lahirlah gagasannya tentang kontrak sosial, tujuan Negara, dan the separation of power dalam Negara.  

Terkait filsafat politik John Locke, ada beberapa catatan –semacam refleksi politis— yang akan saya sampaikan dalam kesimpulan ini. Setelah dipaparkan panjang lebar tentang ‘apa yang seharusnya’, kemudian diulas serta direspon sedikit demi sedikit dengan mempertemukan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang senyatanya’. Dalam kesimpulan ini, saya mencoba mengeksplisitkan ulasan dan respon tersebut.  

Pertama, meskipun filsafat politik John Locke merupakan ‘anti-tesis’ terhadap sistem politik-pemerintahan monarki Inggris pada waktu itu, tetapi ‘anti-tesis’ yang dimajukan masih mempertahankan sistem monarki Inggris. Hal ini terbukti dengan kekuasaan eksekutif dipimpin oleh seorang raja. Dengan kata lain, John Locke masih memperhatikan keamanan diri dan keberlangsungan (diterimanya) filsafat politiknya.  

Kedua, John Locke “menyerahkan” kekuasaan tertinggi pada legislatif sebagai wujud dari representasi kedaulatan rakyat. Dalam menjalankan fungsinya, legislatif membuat undang-undang (hukum) sekaligus mengawasi kinerja eksekutif. Undang-undang yang telah dibuat kemudian dilaksanakan oleh eksekutif. Yang tidak diperhatikan oleh Locke adalah siapakah yang mengawasi legislatif. Karena kekuasaan (kursi) legislatif diisi oleh manusia yang Locke juga meyakini akan kebebasan yang disalahgunakan. Bagaimana jika legislator menyalahgunakan kebebasannya (wewenangnya)? Dalam hal ini sudah tidak ada hukum Alam, karena hukum Alam sendiri telah dialihtangankan ke dalam undang-undang (hukum) yang dibuat oleh legislatif dan “dieksekusi” oleh eksekutif.  

Ketiga,hukum seharusnya dan senyatanya tidak berada di bawah kekuasaan legislatif atau eksekutif. Dalam filsafat politik John Locke, kehakiman (yudikatif) berada dalam otoritas eksekutif. Penempatan yang seperti ini, bagi saya kurang tepat, karena hukum akan mudah disalahgunakan oleh pihak yang berkepentingan. Jika eksekutif mempunyai otoritas kehakiman, penunjukan hakim dan perangkat kehakiman (yudikatif) lainnya akan disesuaikan dengan kepentingan eksekutif.  

Keempat (terakhir), seandainya John Locke mengakui kebenaran (walaupun sebagian) kodrat alamiah manusia menurut Hobbes (layaknya aufgehoben dalam dialektika Hegel) dan tidak mempertentangkannya secara radikal, ada kemungkinan the separation of power tidak hanya menjalankan fungsi masing-masing, tetapi juga mengemban fungsi kontrol antarbidang kekuasaan. Dengan demikian, saling curiga diterjemahkan secara positif.      



DAFTAR PUSTAKA
Forsyth, Murray. 1994. “Hobbes’s contractarianisme: A comparative analysis” dalam David Boucher and Paul Kelly [peny.]. The Social Contract From Hobbes To Rawls. London: Routledge.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jennings, Jeremy. 1994. “Rousseau, social contract and the modern Leviathan” dalam David Boucher and Paul Kelly [peny.]. The Social Contract From Hobbes To Rawls. London: Routledge
Kattsoff, Louis O. 2004 [cet. ke-9]. Pengantar Filsafat. [penerj. Soejono Soemargono]. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Locke, John. 2002. Kuasa Itu Milik Rakyat: Esai Mengenai Asal Mula Sesungguhnya, Ruang Lingkup, dan Maksud Tujuan Pemerintahan Sipil. [penerj. A Widyamartaya]. Yogyakarta: Kanisius.
Russell, Bertrand. 2007 [cet. ke-3]. Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang. [penerj. Sigit Jatmiko, dkk.]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schmandt, Henry J. 2002. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. [penerj. Ahmad Baidlowi, dkk]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
          
 

Comments