Suatu Malam di Sarkem

Sarkem adalah akronim dari Pasar Kembang. Sebuah nama jalan di dekat Jalan Malioboro. Bagi pribumi, mahasiswa dan pemerhati Jogja, Pasar Kembang bukanlah nama asing di telinga. Layaknya Malioboro bagi wisatawan, baik lokal dan mancanegara. Lokasinya cukup jelas. Jika kita belok kiri untuk masuk Jalan Malioboro melalui Jalan Abu Bakar Ali, maka Jalan Pasar Kembang tinggal lurus saja. Kendaraan dapat di parkir di Jalan Malioboro, kemudian menuju Pasar Kembang dengan berjalan kaki. Biaya parkir Rp. 2.000,00 untuk kendaraan roda dua. Bisa juga kendaraan di parkir di sepanjang Jalan Pasar Kembang. Biaya parkir di sini lebih mahal, kurang lebih Rp. 3.000,00 untuk sepeda motor. Atau menggunakan alternatif kedua. Yaitu kendaraan diparkir di stasiun tugu di Jalan Margo Utomo (kini Jalan Mangkubumi), selanjutnya berjalan ke arah selatan sedikit menyebrangi rel kereta. Sesampai di perempatan jalan yang mempertemukan Jalan Margo Utomo, Malioboro, Pasar Kembang dan Abu Bakar Ali, belok kanan, maka kita akan bertemu dengan Jalan Pasar Kembang.

Jalan Pasar Kembang begitu “memasyarakat” di Jogja. Bukan karena dekat dengan Malioboro yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan manusia, terutama wisatawan untuk oleh-oleh. Pasar Kembang lebih dikenal dengan “pelayanan prima” yang diberikan oleh manusia kepada manusia lain. Yang --menurut saya-- “pelayanan prima” ini tidak dimiliki oleh pejabat hari ini. Ah, tak perlu berbasa-basi, aku mah orangnya gag suka berbasa-basi. Apalagi dalam urusan “beginian”.

To the point aja deh. Pasar Kembang adalah “Dolly-nya” Jogja. Meskipun saat ini Dolly sudah “dibumihanguskan” oleh Pemkot Surabaya, pimpinan Bu Risma. Atau lebih halusnya --sekaligus sesuai dengan realitas-- Dolly “disuruh” pindah dari prostitusi yang legal menuju prositusi jalanan dan rumahan yang illegal. Ups!! Aku memang asal menebak aja. Heuheu. Ya, Pasar Kembang merupakan tempat prostitusi di Jogja. Katanya legal dan satu-satunya di Jogja, di Kota Pendidikan.

Di sepanjang Jalan Pasar Kembang, kita hanya akan menemui segelintir wanita berparas seksi yang konon disebut PSK (Pekerja Seks Komersial) atau bahasa keseharian kita: pelacur. Hanya ada satu-dua PSK hilir mudik di sepanjang jalan ini. Ada yang duduk di atas sepada motor yang sedang diparkir sembari menunggu pelanggan. Ada juga yang ngangkring di angkringan atau warung lesehan yang tersedia sembari melakukan transaksi. Jika transaksi selesai dan mencapai kata sepakat, bisa langsung cap cus. Kemana? Ah, aku mah polos dalam urusan ini.

Memang di luar tampak sepi, tapi ketika kita masuk Gang Sosrowijayan, maka sisi lain kehidupan Jogja akan terasa. Gangnya sangat sepi. Cukup untuk satu kendaraan roda dua. Lebar gang setara dengan satu becak. Memasuki gang ini, keadaan sekitar mulai berubah. Dari bau parfum yang sangat menyengat , yang berasal dari PSK; penerangan gang agak redup; serta kilatan cahaya lampu diskotik kelap-kelip dengan warna-warninya memancar dari losmen (tempat nginap) yang memanjar di pinggir kanan-kiri gang.

Di lobby losmen, beberapa wanita cantik berpoles make up tebal. Menggunakan pakaian mini se-mini-mininya. Hanya sekedar menutupi bagian paling intim (dan pastinya paling menggoda) dari wanita. Duduk di kursi menyerupai huruf L  dengan kaki kanan bersilang di atas kaki kiri sembari tangan kiri menekan layar smartphone dan tangan kanan memegang sebatang rokok. Aku lihat, mereka begitu menghayati setiap hisapan rokok, lalu menghembuskannya. Tatapan wajahnya selalu mengarah kepada lelaki yang berlalu lalang di jalan gang sempit. Terkadang pula mengumbar senyum.

Sebagian lagi, ada yang duduk di kursi panjang depan losmen, tepat di kanan-kiri pejalan kaki. Kebanyakan menyendiri. Hanya satu-dua yang berdua bersama laki-laki (yang konon) pelanggannya. Jika sudah duduk berdua, katanya mereka sedang bertransaki, semacam tawar-menawar di pasar tradisional.   

Semakin malam, keadaan semakin ramai. Gang sempit dipenuhi lalu lalang orang-orang berjenis kelamin laki-laki. Sering kali aku harus berjalan bergantian supaya “antrean” dapat kembali mencair. Orang-orang ini, ada yang datang memang untuk mendapatkan “pelayanan prima” dari cewek-cewek berparas cantik. Ada juga sekedar ingin tahu tempat ini saja, semacam aku dan rekan-rekan. Kedatanganku didorong atas rasa penasaran karena hampir setiap guyonan mahasiswa Jogja selalu mengarah ke tempat ini. Juga atas inisiatif dan support satu rekanku yang sudah pernah singgah di tempat ini hanya (lagi-lagi) untuk memenuhi rasa ingin tahu.

Menyusuri gang sempit ini, hanya butuh waktu lima belas menit jika kebutuhannya hanya ingin tahu saja. Apabila “lebih” dari itu, tentu dong membutuhkan waktu lebih lama. Jalan gang tidak satu arah lurus, tapi masih bercabang-cabang. Aku masuk dua kali. Bolak-balik. PP. Yang pertama aku masuk lewat Jalan Sosrowijayan, yang berada di pertigaan pertama Jalan Malioboro. Lalu keluar di Jalan Pasar Kembang. Sementara yang kedua sebaliknya: masuk melalui Jalan Kembang, dan keluar di Jalan Sosrowijayan.

Melihat fenomena seperti ini, aku terhenyak, dadaku bergemuruh-bergetar, dan pikiranku tak tahu arah. Fenomena yang biasa aku jumpai di media, kini ada di depan mata. Dalam kamus hidupku, aku tidak mempunyai life plan untuk kesini. Ke tempat di mana seksualitas bukanlah hal yang tabu.

Selepas keluar dari gang sempit itu, aku bersama rekan-rekan mengemukakan argumentasi dan pendapat. Semacam diskusi kecil-kecil paska praktek kerja lapangan dan pra pembuatan laporan praktikum. Taufiq, cah madura negeri, melihat tatapan sedih, nestapa, dan lesu dari cewek-cewek yang dijumpainya. Sehingga, dia menaruh rasa kasian terhadap mereka. “Seandainya, salah satu dari mereka adalah keluarga kita, bagaimana perasaan kita,” katanya seraya menatap lalu lalang kendaraan bermotor yang meninggalkan Jalan Abu Bakar Ali. Ketika ditanya solusi atas permasalahan seperti ini, dia “hanya” bisa menjawab: prostitusi adalah hal yang kompleks. Butuh pendekatan dari pelbagai sudut pandang. Sudut pandang ekonomi, sosial, politik, kultur, agama, dan lain sebagainya. Tidak hanya pendekatan syari’at (agama), karena syari’at itu hanya secuil dari kehidupan yang megah ini.

Aku sendiri memandang diri kita lebih hina dari mereka yang ada di sana. Dari cewek-cewek yang menjual diri. Dari lelaki hidung belang yang menghamba pada kenikmatan sesaat. Kita --aku-- lebih hina dari mereka. Betapa tidak lebih hina jika kita hanya melihat cewek-cewek seksi tersebut sebagai tontotan. Sebagai jajanan di depan Pasar Bringharjo. Sebagai produk yang dijajakan. Dan kita tidak membelinya. Kita hanya melihat-lihatnya. Katanya untuk pengalaman, untuk ingin tahu saja.

Sementara lelaki hidung belang membeli “jajanan itu”, mencicipinya, menikmatinya demi memuaskan hasrat seksualnya. Bukankah itu lebih baik dari kita. Meraka (lelaki hidung belang) memberi uang sebagai ganti atas “pelayanan prima”. Menghidupi pelacur karena tentunya uang itu digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Bukankah kita lebih hina?

Ah entahlah. Aku masih merasa lebih baik dan bermoral daripada mereka. Pada suatu saat nanti, aku dan rekan-rekan bermimpi ingin ke gang sempit ini, bukan untuk melihat-lihat apalagi mencicipi. Tetapi untuk tujuan lain yang dirahasiakan sesuai dengan apa yang kita miliki sembari melakukan dialog kecil-kecilan dan bersenda gurau.